Abstraksi
Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana civitas akademik FISIP UI memaknai, menerima, atau menolak kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di lingkungan kampus. Meskipun UI telah menetapkan kebijakan tersebut demi menciptakan lingkungan yang sehat, pelanggaran terhadap aturan KTR masih kerap terjadi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivis dan pendekatan fenomenologi. Data dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur dan observasi partisipatif terhadap perilaku civitas dalam mematuhi atau melanggar kebijakan KTR. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketidakpatuhan tidak hanya berasal dari kurangnya sosialisasi, melainkan juga dari konsensus sosial (kesepakatan bersama) yang kurang selaras dengan kebijakan kawasan tanpa rokok dan kedisiplinan masing masing individu . Proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi norma belum berjalan optimal. Penelitian ini menawarkan rekomendasi strategis berbasis konstruksi sosial untuk meningkatkan kepatuhan terhadap kebijakan KTR.
Kata Kunci: Konstruksi Sosial, Kawasan Tanpa Rokok, Civitas Akademik, FISIP UI, Kepatuhan Sosial, Konsensus Sosial, Kedisiplinan
Pendahuluan
Larangan merokok di tempat umum merupakan bagian dari upaya menciptakan lingkungan sehat. Namun, dalam praktiknya, implementasi kebijakan ini tidak selalu berjalan lancar. Di FISIP UI, kawasan tanpa rokok (KTR) kerap dilanggar, baik oleh mahasiswa, dosen, maupun tenaga kependidikan. Tidak jarang ditemukan perokok yang tetap merokok di area bebas rokok, bahkan merusak tanda larangan merokok. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan formal dan norma sosial yang hidup di lapangan.
Kebijakan KTR sebenarnya telah didukung oleh infrastruktur seperti smoking area (SMOKAR), namun keberadaan SMOKAR tidak mampu mengurangi pelanggaran secara signifikan. Pelanggaran ini bukan hanya persoalan ketidaktaatan personal, tetapi juga konstruksi sosial yang mengakar dalam komunitas kampus. Norma yang seharusnya terbentuk melalui sosialisasi, keteladanan, dan penerimaan kolektif, justru mengalami hambatan karena pengaruh tokoh-tokoh kampus yang tidak memberi contoh baik.
Penelitian ini juga ada untuk melihat fenomena apa saja yang memengaruhi Civitas Akademik FISIP UI dalam tindakan mereka yang melanggar Kawasan Tanpa Rokok.
Penelitian ini mencoba memahami fenomena tersebut melalui teori konstruksi sosial dari Berger dan Luckmann (1966), yang menjelaskan bahwa realitas sosial dibentuk melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Kegagalan proses-proses tersebut menyebabkan norma formal tidak mampu menjelma menjadi norma sosial yang diterima dan dipatuhi. Penelitian ini penting untuk mengevaluasi kebijakan KTR dan merumuskan pendekatan komunikasi yang lebih efektif dalam membentuk perilaku sehat di kampus.
Tinjauan Literatur
Teori Utama : Konstruksi Sosial
Berger dan Luckmann (1966) menyatakan bahwa realitas sosial dibentuk melalui tiga tahap: eksternalisasi (penciptaan norma melalui interaksi), objektivasi (penerimaan norma sebagai kenyataan bersama), dan internalisasi (penyerapan norma dalam diri individu).
Konsep pendukung : Faktor Sosial dan Keteladanan
Penelitian dari Gergen (1999) dan Collins (2016) menyoroti pentingnya interaksi sosial dalam membentuk norma kolektif. Ketika tokoh kampus seperti dosen atau staf melanggar aturan, mereka secara tidak langsung membentuk norma permisif di lingkungan sosialnya. Tuomela (2003) menekankan bahwa keberhasilan norma sangat bergantung pada penerimaan kolektif dalam masyarakat.
Konsep pendukung : Kedisiplinan
Fishbach et al. (2009) menekankan bahwa self-regulation atau pengaturan diri adalah proses dinamis yang melibatkan pilihan tindakan berdasarkan representasi tujuan yang dimiliki seseorang. Terdapat dua kecenderungan dalam regulasi diri:
- Komitmen: Ketika seseorang menilai tindakannya sebagai bentuk komitmen terhadap tujuan tertentu, mereka cenderung highlight atau memperkuat konsistensi tindakan ke arah yang sama.
- Progres: Sebaliknya, ketika seseorang merasa telah cukup membuat kemajuan, mereka cenderung melakukan balancing, yaitu memberi ruang bagi tujuan lain, yang bisa berarti berhenti mematuhi norma tertentu.
Implikasi dari teori ini adalah bahwa kedisiplinan diri dalam konteks larangan merokok sangat bergantung pada bagaimana individu memaknai tindakannya, apakah sebagai bukti komitmen terhadap lingkungan sehat atau justru sebagai sinyal bahwa mereka “sudah cukup baik” dan bisa santai. Jika civitas akademik merasa bahwa mereka sesekali tidak merokok di area larangan sudah cukup untuk menunjukkan kesadaran, maka mereka mungkin merasa “boleh” merokok di waktu lain (balancing). Ini menjelaskan mengapa perilaku pelanggaran KTR masih terjadi meskipun sudah ada fasilitas seperti SMOKAR.
Kawasan Tanpa Rokok UI (KTR – UI)
Kawasan Tanpa Rokok di UI adalah area yang secara resmi ditentukan oleh pihak kampus sebagai ruang bebas rokok, untuk memastikan kenyamanan dan kesehatan bagi seluruh civitas akademika, termasuk mahasiswa, dosen, dan staf. FISIP UI sebagai salah satu fakultas di Universitas Indonesia juga menerapkan kebijakan ini di seluruh ruang publiknya. Kawasan Tanpa Rokok bertujuan untuk mengurangi risiko kesehatan akibat paparan asap rokok serta menciptakan lingkungan kampus yang lebih bersih dan sehat.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data meliputi wawancara mendalam (semi-terstruktur) dan observasi partisipatif. Informan dipilih menggunakan purposive samplingdengan kriteria: civitas akademik aktif FISIP UI, memiliki pengalaman dengan kebijakan KTR, dan berasal dari latar belakang beragam.
Analisis data dilakukan melalui narrative analysis dengan teknik triangulasi untuk menggabungkan data wawancara dan observasi. Fokus analisis mencakup konflik antara perilaku individu dan norma kampus, pengaruh sosial dalam keputusan merokok, serta proses internalisasi terhadap kebijakan KTR.
Etika Penelitian
Penelitian ini menjamin informed consent, anonimitas partisipan, serta memperoleh izin institusional dari dosen pengampu dan Departemen Ilmu Komunikasi.
Hasil
Peneliti menemukan bahwa proses sosialisasi mengenai peraturan ini sudah dilakukan melalui spanduk dan tanda larangan, tetapi dinilai belum maksimal. Tanda-tanda larangan merokok sering kali rusak dan tidak diperbarui, sehingga civitas akademik kurang memahami batasan wilayah merokok. Informan HR menyampaikan,
“Sosialisasinya kurang maksimal, spanduk ada, tapi kadang sudah compang-camping. Harus ada tanda-tanda yang lebih jelas di tempat merokok…”
Penerimaan peraturan yang berhasil tercermin pada sebagian civitas akademik yang memahami dan menerima aturan sebagai kesadaran pribadi. ME, misalnya, menyatakan,
“Saya mematuhi karena paham norma di kampus yang melarang dan paham dampaknya untuk yang tidak merokok.”
Namun, sebagian civitas akademik lainnya tetap melanggar karena pengaruh kebiasaan dan lingkungan sosial. Mereka tahu peraturannya, tetapi penerimaan aturan ini belum sepenuhnya menjadi bagian dari kesadaran diri.
Peneliti juga menemukan meskipun peraturan KTR sudah diatur melalui SK Rektor dan SK Dekan, implementasinya di lapangan tidak berjalan baik. Tempat merokok tidak ditandai dengan jelas, dan pembatasan tidak ditegakkan secara tegas. Informan SK mengatakan,
“Saya melihatnya tidak diterima… Kalau misalnya di hari-hari biasa yang ga ada acara, orang merokok di tempat yang benar-benar, yaudah di Smokar, ujung-ujung ke sana.”.
Kemudian, ME juga menuturkan bahwa ada beberapa tempat merokok yang disetujui secara konsensus bersama seperti sebagian dari wilayah takor atau yang erat disebut dengan “Takor Atas” dan tempat merokok dosen di belakang gedung F.
Lingkungan sosial juga sangat memengaruhi perilaku civitas akademik dalam menaati atau melanggar peraturan. Beberapa informan mengaku keputusan untuk merokok atau tidak sangat bergantung pada keberadaan teman-teman mereka. Seperti yang dikatakan SK,
“Saya melanggar karena nggak ada tempat yang nyaman buat merokok di kampus. Kalau ada temen-temen gue yang ngerokok, gue ikut ngerokok juga…”
Sementara itu, informan seperti ME patuh terhadap aturan karena menjunjung norma kampus dan memahami pentingnya menjaga kenyamanan bersama. Di sisi lain, civitas akademik yang lain merasa bersalah saat melanggar, namun tetap merokok karena tidak ada pilihan lain.
HR menyampaikan,
“Kadang gue merasa guilty, karena tahu kalau ada aturan yang melarang merokok di luar tempat yang disediakan. Tapi kadang gue merasa nggak ada pilihan lain…”
Faktor lain yang mendorong pelanggaran adalah kurangnya disiplin dan keterbatasan fasilitas. HR dan SK mengatakan mereka merokok karena kebiasaan dan tidak tersedia tempat merokok yang nyaman. HR mengatakan,
“Saya melanggar karena nggak ada tempat yang nyaman buat merokok di kampus. Kalau ada temen-temen gue yang ngerokok, gue ikut ngerokok juga, kalau nggak ada yang ngerokok ya gue nggak ngerokok gitu sih.”
Hal ini menunjukkan bahwa perilaku mereka sangat tergantung pada situasi sosial dan kenyamanan yang tersedia.
SK juga mengungkapkan bahwa ia cenderung mengikuti teman-temannya,
“Kalau saya melihat teman-teman saya merokok, saya ikut merokok juga, karena situasinya mendukung dan nggak ada yang melarang. Tapi kalau saya merasa nggak ada teman-teman saya yang merokok, saya nggak merokok.”
Akhirnya, ketidakteraturan dalam penerapan peraturan juga menjadi penyebab utama pelanggaran. Meskipun aturan sudah ada, minimnya pengawasan dan tidak jelasnya area yang diperbolehkan untuk merokok menyebabkan mahasiswa merokok sembarangan.
ME mengatakan,
“Kalau saya melihat orang melanggar, saya tegur. Tapi masalahnya, banyak yang nggak tahu di mana sebenarnya tempat yang boleh merokok, karena tanda yang ada juga tidak jelas.”
Diskusi
Dalam konteks Social Construct of Reality yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, realitas sosial terbentuk melalui proses interaksi manusia yang melibatkan eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses-proses ini menciptakan kenyataan sosial yang dianggap sebagai norma dan dipertahankan melalui interaksi sosial di dalam masyarakat. Dalam kasus peraturan kawasan tanpa rokok (KTR) di FISIP UI, peraturan ini tidak hanya dipengaruhi oleh teks formal seperti SK Dekan dan SK Rektor, tetapi juga oleh konsensus sosial yang terbentuk melalui interaksi civitas akademika dan kesadaran diri sendiri.
Eksternalisasi peraturan KTR terjadi ketika aturan tersebut pertama kali dikenalkan kepada masyarakat FISIP UI melalui media sosial, spanduk, dan pengumuman resmi. Namun, meskipun aturan tersebut ada, penyebaran dan sosialisasinya masih terbatas. Seperti yang ditemukan dalam wawancara, informan mengungkapkan bahwa banyak tanda yang tidak terlihat jelas atau bahkan sudah rusak, sehingga peraturan ini menjadi tidak cukup efektif untuk membentuk realitas sosial yang diterima secara luas. Peraturan yang tidak tersosialisasi dengan baik menciptakan ketidakjelasan mengenai area yang boleh atau tidak boleh digunakan untuk merokok, yang berkontribusi pada kebingungan di kalangan civitas akademika.

(Banner yang sudah usang)
sumber dokumentasi pribadi Cyrill Haykal
Hal lain yang mempengaruhi juga adalah hal yang disebut “budaya” oleh sebagian orang di FISIP yang secara tidak langsung membebaskan orang untuk merokok jika ada Event di FISIP UI, dalam konteks ini event yang dimaksud adalah eventnon formal seperti misalnya (Event Olahraga dan Seni). Hal ini juga membuat banyak orang yang masih mewajarkan perilaku merokok di luar KTR yang terkesan longgar


Event yang ada di FISIP UI
sumber dokumentasi pribadi Cyrill Haykal
Objektivasi dari peraturan ini terlihat ketika peraturan tersebut mulai dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, meskipun sudah ada pengetahuan tentang peraturan ini, perilaku yang sesuai dengan peraturan tidak selalu dijalankan. Area merokok non tertulis, yaitu area merokok yang telah disetujui secara sosial melalui musyawarah saat pembuatan KTR fisip, sesuai dengan informasi dari informan ME (seperti Takor Atas, Samping Gedung H, Garasi Gekom, TV UI contohnya), lebih diterima dan diikuti daripada peraturan resmi yang ditetapkan oleh pihak kampus. Hal ini menggambarkan bahwa dalam realitas sosial, norma yang diterima oleh kelompok lebih menguat dibandingkan dengan aturan formal yang tidak sepenuhnya dipahami atau diterima. Sebagai contoh, meskipun ada aturan yang melarang merokok di luar area tertentu, banyak mahasiswa yang tetap melanggar aturan ini karena mereka merasa kesepakatan bersama yang terbentuk di antara teman-teman mereka lebih menguntungkan.

Kawasan Merokok FISIP UI
sumber dokumentasi pribadi Fathi Muftian
Internalisasi peraturan terjadi ketika individu mulai menganggap peraturan tersebut sebagai bagian dari norma yang berlaku dalam kelompok sosial mereka. Namun, meskipun ada pemahaman bahwa peraturan ini penting untuk menjaga kesehatan dan kenyamanan bersama, banyak informan yang masih melanggar peraturan tersebut karena kebiasaan sosial dan pengaruh lingkungan sosial mereka. Ketika seseorang melihat teman-teman atau rekan-rekannya melanggar aturan, mereka lebih cenderung untuk mengikuti perilaku tersebut, yang menunjukkan bahwa realitas sosial ini dipertahankan melalui interaksi kelompok. Walaupun peraturan ini telah diinternalisasi oleh sebagian orang, proses ini tidak selalu berlaku secara universal di seluruh kelompok.

(Merokok di atas sign dilarang merokok)
sumber dokumentasi pribadi Fathi Muftian
Perbedaan sikap terhadap dalam melihat peraturan KTR antara informan yang mematuhi dan yang melanggar menunjukkan bahwa kesadaran terhadap peraturan sangat bergantung pada lingkungan sosial. Informan seperti ME menunjukkan kesadaran yang lebih tinggi tentang pentingnya peraturan ini dan menegakkan norma sosial yang berlaku di kampus, sedangkan informan lain seperti HR dan SK mengakui bahwa meskipun mereka tahu peraturan tersebut, pengaruh teman-teman dan kurangnya fasilitas yang memadai membuat mereka lebih cenderung untuk melanggar. Hal ini menggambarkan bahwa dalam social construct of reality, norma-norma sosial dibentuk oleh interaksi antara individu dalam kelompok, dan hal ini mempengaruhi bagaimana individu memaknai dan merespons peraturan.
Dalam hal tekanan sosial, dapat dilihat bahwa beberapa perokok, melanggar peraturan karena mereka merasa terbawa oleh kelompok sosial mereka yang juga melanggar peraturan. Misalnya, Informan HR mengungkapkan bahwa ia melanggar aturan karena ia berada dalam kelompok yang juga merokok, menunjukkan bahwa kebiasaan sosial kelompok memiliki dampak yang besar pada perilaku individu. Di sisi lain, sebagian informan yang mematuhi peraturan ini merasa bahwa mereka melakukannya karena kesadaran akan norma sosial yang lebih besar dan karena mereka tidak ingin merusak kenyamanan orang lain.
Penerimaan sosial terhadap peraturan ini juga mencerminkan bagaimana realitas sosial terbentuk di antara civitas akademika FISIP UI. Dalam hal ini, meskipun peraturan KTR ada, peraturan ini belum sepenuhnya diterima sebagai norma sosial yang kuat. Sebagian besar civitas akademika merasa bahwa aturan ini tidak mengganggu mereka, tetapi masih ada sebagian kelompok yang merasa bahwa peraturan ini menghalangi kebiasaan pribadi mereka, seperti yang diungkapkan oleh beberapa perokok.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di FISIP UI belum sepenuhnya berhasil diinternalisasi oleh civitas akademik sebagai norma sosial yang mengikat. Meskipun secara formal telah dikeluarkan SK Rektor dan SK Dekan serta adanya fasilitas seperti SMOKAR, pelanggaran terhadap peraturan KTR masih marak terjadi karena lemahnya sosialisasi, minimnya pengawasan, kesadaran individu yang rendah, serta konsensus yang mewajarkan merokok di beberapa tempat dan kesempatan didalam wilayah KTR.

Melalui teori konstruksi sosial, ditemukan bahwa proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi terhadap peraturan KTR tidak berjalan optimal. Norma informal yang muncul dari konsensus bersama, seperti Takor Atas atau tempat tertentu di belakang gedung, justru menjadi Konstruksi sosial yang bersifat Antitesisdari konstruksi yang diharapkan terbentuk oleh peraturan kawasan tanpa rokok. Penelitian ini juga menemukan dengan adanya banyak event, yang tidak menekankan regulasi kawasan tanpa rokok, di kawasan FISIP UI juga menjadi salah satu faktor mengapa eksternalisasi belum berjalan dengan baik. Kawasan merokok hasil Konsensus bersama lebih dipatuhi karena dianggap lebih sesuai dengan realitas keseharian civitas akademik.
Selain itu, pengaruh lingkungan sosial, kebiasaan merokok sejak lama, serta ketiadaan ruang yang nyaman bagi perokok turut membentuk perilaku permisif terhadap pelanggaran aturan. Tekanan sosial juga memegang peran penting, di mana individu cenderung mengikuti perilaku kelompoknya, baik untuk mematuhi maupun melanggar aturan.
Daftar Pustaka
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Anchor Books.
Collins, H. (2016). The social construction of reality. Human Studies, 39(1), 161-165. https://doi.org/10.1007/s10746-016-9388-2
Fishbach, A., Zhang, Y., & Koo, M. (2009). The dynamics of self-regulation. European Review of Social Psychology, 20(1), 315–344. https://doi.org/10.1080/10463280903275375
Gergen, K. J. (1999). An invitation to social construction. Sage Publications.
Knoblauch, H., & Wilke, R. (2016). The common denominator: The reception and impact of Berger and Luckmann’s The Social Construction of Reality. Human Studies, 39(1), 51-69.https://doi.org/10.1007/s10746-016-9387-3
Qu, J. (2020). Case studies towards the analysis of total social construction. Chinese Journal of Sociology, 6(3), 457-493. https://doi.org/10.1177/2057150X20942969
Tuomela, R. (2003). Collective acceptance, social institutions, and social reality. The American Journal of Economics and Sociology, 62(1), 123-165. https://doi.org/10.1111/1468-0335.00236



