Ngomong Salah, Diam Serba Salah? Menguak Adaptasi Komunikasi Mahasiswa Rantau di FISIP Universitas Indonesia

Abstrak
Mahasiswa rantau di FISIP UI menghadapi tantangan komunikasi yang nggak ringan, bukan cuma soal logat atau aksen, tapi soal bagaimana mereka bisa nyambung dan diterima di lingkungan kampus yang komunikasinya cepat, lugas, dan penuh dinamika. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan strategi studi kasus tunggal, untuk menggali lebih dalam bagaimana mahasiswa rantau beradaptasi secara komunikatif. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan tiga mahasiswa rantau angkatan 2024 dari luar Jabodetabek, dan dianalisis menggunakan metode analisis tematik (Braun & Clarke, 2006), serta dikaitkan dengan Communication Accommodation Theory (Giles, 1973). Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi adaptasi komunikasi mahasiswa rantau tidak bersifat tunggal atau linier. Mereka melakukan konvergensi secara verbal dan emosional, namun juga mempertahankan gaya komunikasi asal (divergensi) dalam konteks sosial yang aman. Proses adaptasi ini sangat dipengaruhi oleh latar budaya, gender, serta pengalaman personal. Adaptasi bukan sekadar soal meniru gaya orang lain, tapi tentang bagaimana mahasiswa tetap bisa jadi diri sendiri di tengah tekanan sosial kampus.
Kata Kunci: mahasiswa rantau, adaptasi komunikasi, FISIP UI, Communication Accommodation Theory
Kenapa Merantau Bukan Cuma Sekadar Pindah Domisili?
Buat mahasiswa dari luar Jabodetabek, kuliah di UI, khususnya di FISIP, bukan sekadar pindah domisili. Mereka harus menyesuaikan gaya komunikasi, membangun ulang relasi sosial, bahkan menghadapi ekspektasi baru yang tidak selalu ramah. Di FISIP UI, komunikasi cepat, lugas, dan percaya diri jadi standar tak tertulis. Buat mahasiswa dari daerah yang terbiasa dengan gaya yang lebih halus, ini bisa jadi tantangan: minder, takut salah gaya, bahkan memilih diam.
Masalahnya bukan cuma soal logat. Mahasiswa rantau sering merasa harus tampil “mahasiswa UI banget” yang cerdas, tanggap, kritis, sampai akhirnya tertekan karena harus mengejar akademik sekaligus berjuang agar diterima secara sosial. Artinya, adaptasi mereka nggak cuma soal pribadi, tapi juga soal komunikasi lintas budaya di lingkungan kampus yang sangat beragam.
Penelitian ini fokus pada bagaimana mahasiswa rantau menyesuaikan komunikasi mereka di FISIP UI. Bukan hanya dengan siapa mereka berteman, tapi bagaimana cara mereka berusaha nyambung tanpa kehilangan diri. Teori Communication Accommodation dari Giles (1973) digunakan untuk melihat strategi konvergensi (menyesuaikan diri) dan divergensi (mempertahankan identitas) yang mereka jalani.
Apa yang Sebenarnya Menjadi Masalah?
Buat mahasiswa rantau, masuk ke dunia kampus bukan cuma soal belajar di kelas atau mengejar IPK. Di balik itu semua, ada perjuangan yang lebih sunyi, yaitu bagaimana caranya merasa nyaman saat ngobrol, berteman, atau sekadar nongkrong bareng teman-teman baru yang latar belakangnya sangat berbeda.

Jadi, tantangan yang dihadapi mahasiswa rantau bukan cuma tantangan personal. Ini soal tekanan sosial dan budaya yang membuat proses adaptasi mereka jadi lebih rumit. Mereka harus belajar menyesuaikan diri agar tidak hanya untuk dipahami, tapi juga agar diterima.
Penelitian Ini Mau Ngebahas Apa, Sih?
Penelitian ini berfokus untuk memahami bagaimana mahasiswa rantau mengakomodasi perbedaan komunikasi dalam proses adaptasi sosial di lingkungan kampus FISIP UI. Secara khusus, penelitian ini ingin menganalisis strategi komunikasi yang digunakan mahasiswa rantau untuk membangun relasi sosial, baik dengan mahasiswa maupun dengan sesama mahasiswa rantau, di tengah perbedaan budaya dan gaya komunikasi.
Berdasarkan fokus tersebut, penelitian ini dirancang untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana mahasiswa rantau dapat mengakomodasi perbedaan komunikasi untuk beradaptasi di lingkungan kampus serta membangun relasi dengan mahasiswa kampus FISIP UI?”.
Terus, Teori Apa yang Dipakai untuk Membaca Fenomena Ini?
Untuk memahami dinamika komunikasi mahasiswa rantau di FISIP UI, penelitian ini menggunakan Communication Accommodation Theory (CAT) yang dikenalkan oleh Howard Giles sejak tahun 1973. Lewat teori ini, kita bisa melihat bagaimana seseorang cenderung menyesuaikan cara bicaranya (konvergensi) atau justru mempertahankan ciri khas komunikasinya (divergensi) ketika berinteraksi dengan orang lain. Tujuannya bisa macam-macam, mulai dari ingin diterima dalam kelompok sosial, sampai menjaga identitas diri atau budaya asalnya.

Selain teori utama, penelitian ini juga didukung oleh konsep komunikasi antarbudaya. Konsep ini menyoroti pentingnya kemampuan untuk memahami dan menyesuaikan diri terhadap perbedaan nilai, norma, dan gaya komunikasi dari berbagai latar belakang. Di lingkungan kampus yang seheterogen FISIP UI, kemampuan ini jadi kunci untuk bisa membangun relasi sosial yang sehat dan bermakna.
Gimana Cara Penelitian Ini Dilakukan?
Penelitian ini pakai pendekatan kualitatif deskriptif dengan strategi studi kasus tunggal. Tujuannya bukan nyari angka, tapi memahami pengalaman komunikasi mahasiswa rantau secara mendalam, gimana mereka beradaptasi di lingkungan kampus yang komunikasinya cepat, lugas, dan “kota banget,” khas FISIP UI. Pendekatan ini dipilih karena, seperti kata Yin (2014), studi kasus tunggal cocok banget buat ngelihat fenomena unik dalam konteks sosial yang kompleks.
Untuk informannya adalah mahasiswa rantau FISIP UI angkatan 2024 dari luar Jabodetabek, yang pernah ngerasa kesulitan beradaptasi dalam hal komunikasi. Mereka dipilih pakai teknik purposive sampling, lalu dilanjutkan snowball sampling, jadi tiap informan bisa ngerekomendasiin teman lain yang punya pengalaman serupa.
Data dikumpulin lewat wawancara mendalam semi-terstruktur, biar obrolan ngalir tapi tetap fokus. Semua rekaman diwawancara ditranskrip dan dianalisis pakai analisis tematik (Braun & Clarke, 2006), buat nemuin pola dan tema dari cerita mereka. Hasil temuan lalu dikaitkan dengan teori konvergensi dan divergensi dari Communication Accommodation Theory(Giles, 1973).
Apa yang bikin beda? Penelitian ini ngangkat sisi cerita nyata dan strategi komunikasi, bukan sekadar ngukur pakai survei atau statistik. Fokusnya bukan cuma “apa yang mereka rasain,” tapi juga “gimana mereka nyari cara buat tetap nyambung tanpa kehilangan diri mereka sendiri.”.
Nah Ini Nih, Cerita Adaptasi Mahasiswa Rantau: Dari Kata ke Rasa
Dari hasil ngobrol panjang dengan para informan, muncul tiga benang merah yang saling terkait dan membantu menjawab pertanyaan utama dalam penelitian ini. Fokus utamanya adalah menggali bagaimana mahasiswa rantau berusaha menyesuaikan gaya komunikasi mereka agar bisa merasa nyaman dan nyambung di dunia kampus. Tiga tema besar yang ditemukan: penyesuaian cara bicara (komunikasi verbal), adaptasi emosional saat bersosialisasi, dan upaya menjaga identitas budaya dari daerah asal mereka.
Ketiga tema ini saling mendukung dalam menjelaskan proses adaptasi mahasiswa rantau di lingkungan yang serba baru. Pertama, soal bagaimana mereka mengubah gaya berbicara supaya lebih cocok dengan norma komunikasi kampus. Kedua, soal pergulatan emosional yang mereka alami saat mencoba membangun hubungan sosial di kampus yang serba cepat dan penuh dinamika. Ketiga, tentang keputusan sadar untuk tetap mempertahankan logat dan cara ngomong dari daerah masing-masing, terutama ketika mereka merasa berada di lingkungan yang aman secara budaya.
Di keseharian kampus, mahasiswa rantau ternyata punya berbagai cara dan trik untuk menyesuaikan gaya komunikasi mereka. Banyak dari mereka secara aktif mencoba “menyelaraskan frekuensi” dengan budaya komunikasi khas FISIP UI.

Misalnya, mereka mulai memakai sapaan “lu–gue,” menahan logat daerah, atau lebih hati-hati dalam memilih kata yang “terdengar FISIP banget.” Contohnya, Informan B dari Garut belajar dari hasil mengamati orang lain lalu mencoba menirukannya supaya lebih mudah diterima. Informan C dari Aceh malah rajin membaca dan berdiskusi biar terbiasa dengan bahasa akademik. Tapi proses adaptasi ini tentu saja nggak semulus itu. Beberapa mahasiswa, seperti Informan A dari Pematang Siantar, merasa aneh dengan gaya ngomong “orang kampus,” dan lebih nyaman tetap pakai gaya bicara asalnya. Selain soal kata-kata, mereka juga berhadapan dengan tantangan emosional. Beda budaya dan ekspektasi sosial bikin sebagian dari mereka jadi minder, canggung, bahkan merasa terasing.

Contohnya, Informan C bilang dia takut dinilai terlalu “maskulin” gara-gara logat Acehnya. Ada juga yang merasa kampus terlalu individualistis dibanding suasana akrab di kampung halaman. Tapi, nggak semuanya negatif. Lama-lama mereka belajar melihat perbedaan sebagai sesuatu yang wajar, bukan halangan. Malah, banyak yang akhirnya lebih santai dan nggak gampang tersinggung. Beberapa dari mereka merasa bisa diterima justru karena tampil apa adanya, tanpa dibuat-buat.

Menariknya, ada juga yang tetap mempertahankan gaya komunikasi daerahnya sebagai bentuk mempertahankan jati diri. Contohnya, Informan B dan mahasiswa dari Pematang Siantar tetap nyaman pakai “aku–kamu” karena itu terasa lebih jujur dan sesuai dengan siapa mereka sebenarnya. Mereka nggak merasa harus berubah total, apalagi kalau berada di lingkungan teman-teman sesama perantau, yang dianggap lebih “aman secara budaya.”
Bahkan ketika mereka mencoba menyesuaikan diri, tetap ada usaha sadar buat menjaga identitas asal. Contohnya, Informan C mengaku logat Acehnya sering muncul otomatis saat ia sedang berpikir dalam bahasa daerahnya. Tapi hal itu juga bikin dia dilema, logat tersebut dianggap terlalu kuat dan membuatnya gagal menunjukkan sisi feminin yang ia inginkan.
Jadi, adaptasi mahasiswa rantau di FISIP UI bukan proses yang mulus. Mereka terus menyeimbangkan antara diterima dan jadi diri sendiri, nggak cuma soal gaya ngomong, tapi juga soal mengelola rasa percaya diri dan ekspektasi sosial. Adaptasi bukan sekadar meniru, tapi soal berani jadi diri sendiri di tengah keberagaman.
So, Ngomong Aja Nggak Cukup karena Adaptasi Itu Butuh Strategi!
Proses adaptasi mahasiswa rantau di FISIP UI tidak sesederhana menyesuaikan tempat tinggal atau lingkungan fisik semata. Penyesuaian yang mereka alami justru lebih banyak terjadi dalam ruang komunikasi, baik secara verbal, emosional, maupun identitas. Berdasarkan temuan penelitian, tiga pola utama muncul: penyesuaian cara bicara, adaptasi emosional dalam relasi sosial, dan upaya mempertahankan gaya komunikasi daerah asal. Ketiga hal ini bisa dibaca sebagai praktik konvergensi dan divergensi, sebagaimana dijelaskan dalam Communication Accommodation Theory (Giles, 1973).

Bentuk konvergensi paling kelihatan waktu mahasiswa rantau nyoba menyesuaikan gaya bicara mereka biar bisa diterima di lingkungan kampus. Tapi, cara mereka menyesuaikannya beda-beda.
Informan A, perempuan asal Pematang Siantar, misalnya, datang dari lingkungan yang komunikasinya ekspresif, cepat, dan cenderung berintonasi tinggi. Pas kuliah di FISIP UI, dia sadar gaya bicaranya beda sendiri, jadi dia mulai nyoba-nyoba pakai “gue-lu”, ikut gaya ngobrol teman-temannya, dan terbuka kalau ada yang koreksi. Dia merasa feedback seperti itu justru ngebantu banget buat bikin proses adaptasinya lebih lancar.
Beda lagi sama informan B, cewek dari Garut, yang tumbuh di lingkungan Sunda yang lembut dan penuh tata krama. Dia nggak langsung nimbrung pakai gaya ngomong teman-temannya. Dia lebih milih ngamatin dulu, nyari tahu pola interaksi, baru pelan-pelan ikut alurnya. Buat dia, gaya bicara yang blak-blakan dan satir itu agak mengagetkan, jadi dia adaptasi secara pelan dan hati-hati.
Kalau informan C, cewek dari Aceh, tumbuh dengan gaya bicara yang tegas, langsung, dan penuh tekanan suara, sesuai dengan budaya tempat asalnya. Tapi saat masuk ke lingkungan FISIP UI yang komunikasinya lebih santai dan halus, dia merasa khawatir kalau caranya ngomong bakal bikin orang lain salah paham. Karena itu, dia jadi lebih hati-hati dan cenderung menghindari tanya langsung. Kalau ada istilah yang asing atau nggak ngerti konteks obrolan, dia lebih nyaman googling sendiri.
Jadi, meskipun ketiganya berusaha menyesuaikan diri, ternyata caranya beda-beda banget. Ada yang langsung nyoba dan terima masukan, ada yang lebih observatif dan pelan-pelan ikut, dan ada juga yang adaptasinya lewat riset mandiri. Tapi semuanya sama-sama nunjukin bahwa mereka lagi ngelakuin strategi konvergensi dalam komunikasi.

Tapi adaptasi itu nggak cuma soal gaya ngomong aja, perasaan juga ikut main peran. Banyak mahasiswa rantau yang ngerasa canggung, minder, atau bingung waktu masuk ke lingkungan sosial yang beda. Ini jadi bagian dari adaptasi emosional.
Informan C merasa gaya bicara dari kampung halamannya yang keras dan lugas, bikin dia kelihatan dominan, apalagi karena dia perempuan. Di FISIP UI, mayoritas cewek ngomongnya lebih lembut dan ekspresif, ditambah lagi dengan teman-temannya yang mayoritas berasal dari Jawa yang cara bicaranya halus. Hal ini bikin dia jadi sering overthinking: “Terlalu galak nggak, ya?” Lama-lama dia mulai nurunin intonasi, milih kata-kata yang lebih kalem, dan ngerem gaya tegasnya.
Informan A juga sempat ngerasa terlalu “heboh” pas awal-awal kuliah. Dia terbiasa ngobrol spontan dan ekspresif, tapi sadar kalau itu nggak selalu cocok di lingkungan baru yang lebih kalem dan diplomatis. Akhirnya dia mulai menyesuaikan volume dan cara menyampaikan pendapat biar nggak disalahpahami.
Sementara informan B lebih tenang karena gaya bicaranya yang sejak awal memang sopan dan pelan. Tapi tetap aja, dia butuh waktu buat ngerti irama interaksi yang lebih cepat dan langsung to the pointkhas anak-anak FISIP UI.
Ini semua nunjukin bahwa adaptasi itu bukan cuma soal mengubah kata-kata, tapi juga soal mengatur kenyamanan diri dan menjaga hubungan sosial biar tetap nyambung.

Nah, menariknya, meskipun udah berusaha menyesuaikan diri, ternyata mereka juga tetap milih untuk mempertahankan gaya komunikasi daerahnya di momen-momen tertentu. Ini masuk ke strategi divergensi.
Informan A bilang dia lebih nyaman pakai “aku-kamu” ketimbang “gue-lu”, karena itu lebih nyatu sama identitasnya. Dia tetap pakai “gue-lu” kalau lagi diskusi kelompok atau ngobrol sama teman yang biasa pakai itu, tapi balik ke “aku-kamu” kalau lagi santai atau ngobrol sama teman dekat.
Informan B cerita kalau dia masih sering pakai bahasa Sunda, terutama kalau lagi bareng teman-teman sesama orang Garut. Di ruang itu, dia ngerasa lebih aman, lebih bisa jadi diri sendiri, dan lebih bebas berekspresi tanpa takut dinilai aneh.
Kalau informan C, logat Acehnya sering banget muncul secara nggak sadar, apalagi waktu dia mikir keras atau ngobrol tanpa mikir. Bahkan ketika dia udah mencoba menyesuaikan diri, logat itu tetap muncul, dan buat dia itu bukan kesalahan, tapi bagian dari dirinya yang nggak bisa ditinggalin.
Konvergensi dan divergensi nggak selalu hadir bergantian, kadang keduanya muncul bersamaan, tergantung konteks. Di kelas, mereka menyesuaikan diri, tapi di ruang yang lebih personal, mereka tetap jadi diri sendiri. Adaptasi mahasiswa rantau bukan proses linier, tapi negosiasi terus-menerus antara ingin diterima dan menjaga identitas, dipengaruhi oleh budaya, gender, dan pengalaman sosial. Intinya, bukan sekadar meniru gaya orang lain, tapi tetap autentik di tengah dinamika kampus.

Nah, Dari Sini Akhirnya Kita Tahu, Kalau…
Buat mahasiswa rantau di FISIP UI, urusan komunikasi itu bukan sekadar ngomong, tapi soal bertahan, menyesuaikan, dan kadang juga memilih untuk tetap jadi diri sendiri. Perbedaan logat, gaya bicara, dan norma sosial di lingkungan kampus membuat mereka berada di posisi yang serba tanggung: antara ingin diterima, tapi juga nggak mau kehilangan jati diri.

Tentu aja, penelitian ini punya keterbatasan. Jumlah informan yang direncanakan lima orang ternyata nggak tercapai, dan kedalaman cerita yang disampaikan juga bervariasi. Makanya, buat penelitian lanjutan, partisipannya bisa diperluas, misalnya dengan melibatkan mahasiswa dari berbagai angkatan, jurusan, dan daerah asal, biar hasilnya makin kaya dan representatif.
Nggak kalah penting, seru juga kalau ke depan kita telusuri peran komunitas mahasiswa daerah, apakah mereka bisa jadi ruang aman dan support system dalam proses adaptasi? Atau misalnya, memperhatikan aspek komunikasi nonverbal kayak gestur, ekspresi wajah, sampai gaya berpakaian, yang juga bisa berperan dalam proses menyesuaikan diri.
Kalau kamu tertarik mengembangkan penelitian ini, ada dua teori tambahan yang bisa kamu pakai. Pertama, Anxiety/Uncertainty Management Theory (Gudykunst, 2005), buat melihat sisi kecemasan dan ketidakpastian saat berinteraksi lintas budaya. Kedua, Identity Negotiation Theory (Ting-Toomey, 1993), buat memahami cara mahasiswa menegosiasikan identitas pribadi dan sosial di lingkungan kampus yang majemuk.
Penelitian jangka panjang bisa mengungkap proses adaptasi yang lebih mendalam, termasuk bagaimana mahasiswa menyeimbangkan antara menyesuaikan diri dan tetap jadi diri sendiri. Karena adaptasi komunikasi bukan hal instan, prosesnya dinamis, kontekstual, dan sangat personal.
Daftar Pustaka
Braun, V., & Clarke, V. (2006). Using thematic analysis in psychology. Qualitative Research in Psychology, 3(2), 77–101. https://doi.org/10.1191/1478088706qp063oa.
Danendra, A. A., Wahyutama, D. R., & Salsabila, T. (2024). Hambatan komunikasi bagi mahasiswa rantau di Universitas Negeri Surabaya. Seminar Nasional Universitas Negeri Surabaya. https://proceeding.unesa.ac.id/index.php/sniis/article/download/3894/1145/17141.
Giles, Howard. (1987). Speech Accommodation Theory: The First Decade and Beyond. ResearchGate.https://www.researchgate.net/publication/242371336_Speech_Accommodation_Theory_The_First_Decade_and_Beyond.
Keishaaurak. (2024, Maret 30). Tantangan kesehatan mental bagi mahasiswa di perantauan. Kompasiana. https://www.kompasiana.com/keishaaurak/6609276cc57afb42d4638d52/tantangan-kesehatan-mental-bagi-mahasiswa-di-perantauan.
Kurnia, S. (2023). Strategi coping mahasiswa perantauan dalam menghadapi stres akademik (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). UIN Jakarta Repository. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/71285/1/SINTA%20KURNIA.FISIP.pdf.
Lestari, A., & Hernawan, A. (2023). Komunikasi antarbudaya mahasiswa rantau di Universitas Jenderal Soedirman: Studi fenomenologi terhadap mahasiswa Kalimantan di Purwokerto. Jurnal Studi Komunikasi dan Media, 27(1), 1–12.
Mardiyati, M. (2021). Akomodasi komunikasi antar budaya pada penyesuaian diri mahasiswa perantauan asal Sumatra di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
Nggadas, J. M. A. (2022). Strategi komunikasi mahasiswa etnis Manggarai dalam membangun relasi sosial di Universitas Nusa Cendana Kupang. Jurnal Komunikasi Universitas Esa Unggul, 8(2), 115–128.
Syaputra, R. (2021). Strategi komunikasi mahasiswa NTT dalam membangun hubungan sosial di lingkungan kampus Universitas Muhammadiyah Kupang. Jurnal Ilmu Komunikasi Acta Diurna, 17(2), 110–122.
Ummah, A. K., & Murdiana, S. (2024). Gaya Kelekatan dan Kesepian pada Mahasiswa Perantau. Psikobuletin. https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/Psikobuletin/article/download/23314/10262.
Yin, R. K. (2014). Case Study Research: Design and Methods (5th ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.



