Journalight

UI Journalism Studies

Research

Kata Siapa Mahasiswa Komunikasi Selalu Aktif? Yuk, Kenali Fenomena Ketidakaktifan dalam Kelas pada Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi FISIP UI!

Kelas mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia saat berlangsungnya Ujian Akhir Semester (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Abstrak
Penelitian ini mengkaji fenomena ketidakaktifan dalam kelas pada mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UI yang secara stereotip diasosiasikan sebagai individu yang “seharusnya” komunikatif. Menggunakan pendekatan fenomenologi dalam kerangka post-positivistdan teori Communication Apprehension (McCroskey, 1977) sebagai landasan teoritis, penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana kecemasan komunikasi membentuk pengalaman diam mahasiswa di ruang kelas. Data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara semi-terstruktur melalui purposive sampling.Temuan menunjukan bahwa ketidakaktifan bukan semata-mata persoalan motivasi ataupun kemampuan berbicara, melainkan merupakan hasil yang kompleks antara kondisi pribadi, interaksi sosial, audiens, dan sistem serta situasi kelas. Keempat dimensi teori yaitu trait, context-based, audience-based,dan situational,berkontribusi dalam membentuk keputusan mahasiswa untuk tidak aktif di dalam kelas. Penelitian ini menyoroti pentingnya menciptakan ruang diskusi yang aman, inklusif, dan responsif sehingga tercipta pengalaman komunikasi yang nyaman bagi mahasiswa.

Pendahuluan

Partisipasi aktif dalam kelas menjadi tolak ukur kemampuan berpikir kritis dan berkomunikasi dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Tidak hanya itu, keaktifan mahasiswa dapat membangun suasana diskusi yang lebih dinamis dan mendukung pemahaman materi secara lebih mendalam (Mai, Ngoc, & Thao, 2024). Namun, kenyataannya, partisipasi itu tidak selalu ada. Termasuk di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UI, lingkungan yang sering diasosiasikan dengan mahasiswa yang lantang berbicara dan ekspresif. Justru, fenomena ketidakaktifan dalam diskusi kelas masih sering terjadi. 

Berbagai metode pengajaran sebenarnya sudah diterapkan oleh para dosen. Tapi faktanya, banyak mahasiswa masih enggan berbicara di kelas (Abdullah, Bakar, & Mahbob, 2012). Diam di kelas bukan berarti tidak paham, banyak dari mereka justru paham, hanya saja memilih tidak bersuara. Fenomena ini bukan semata soal akademik. Communication Apprehension Theoryatau kecemasan komunikasi, seperti yang dijelaskan McCroskey (1977), menggambarkan perasaan cemas saat harus berbicara di depan orang lain. Perasaan itu dipantik oleh banyak hal, seperti gaya mengajar dosen, suasana kelas yang terlalu formal, atau reaksi teman sebaya (Severe dkk., 2024). Dalam situasi tertentu, mahasiswa bisa jadi menimbang terlalu banyak hal sebelum memutuskan untuk angkat tangan dan berbicara.

Berdasarkan permasalahan, tulisan ini akan menjawab sebuah pertanyaan tentang bagaimana kecemasan komunikasi dalam pengalaman mahasiswa di dalam diskusi kelas berkontribusi terhadap ketidakaktifan mereka. Khususnya, di kalangan mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia yang seringkali dianggap terbiasa “jago bicara”. Dengan menggali pengalaman mereka, tulisan ini berupaya menunjukkan bahwa keaktifan di kelas bukan cuma soal kemampuan bicara, tapi juga soal situasi, audiens, suasana kelas, dan persepsi personal. Harapannya, tulisan ini bisa membuka ruang refleksi, mendorong mahasiswa lebih kritis terhadap situasi pembelajaran, dan meningkatkan kesadaran mahasiswa terhadap partisipasi akademik. Serta, mengembangkan studi terdahulu tentang partisipasi mahasiswa dalam perspektif komunikasi. 

Diamnya Mahasiswa, Apa Kata Penelitian Sebelumnya? 

Studi sebelumnya telah mengeksplorasi berbagai alasan di balik ketidakaktifan mahasiswa dalam berpartisipasi di dalam kelas. Penelitian “Student’s Participation in Classroom: What Motivates Them to Speak Up?” menemukan bahwa kepribadian mahasiswa, karakteristik pengajar, lingkungan kelas, dan teman sebaya berperan dalam keterlibatan mahasiswa dalam diskusi kelas (Abdullah, Bakar, & Mahbob, 2012). Faktor seperti rasa malu, takut salah, serta kecemasan sosial juga dikaitkan dengan kecenderungan mahasiswa untuk tidak berbicara di kelas. Selain itu, lingkungan kelas, termasuk ukuran kelas yang besar dan metode mengajar dosen yang lebih pasif, dapat membuat mahasiswa merasa kurang terdorong untuk berpartisipasi (Malik, Sang, & Li, 2017). Studi lain, “To Participate or Not to Participate? A Qualitative Investigation of Students’ Complex Motivations for Verbal Classroom Participation”, menunjukkan bahwa mahasiswa mempertimbangkan interaksi dengan dosen, dinamika sosial dengan teman sekelas, serta relevansi dan tingkat kesulitan materi sebelum memutuskan untuk berbicara di kelas. Mereka merasa lebih nyaman berpartisipasi dalam lingkungan yang terbuka atau ketika dosen memberikan umpan balik positif dan mendorong diskusi (Severe et al., 2024).

Penelitian sebelumnya lebih banyak menggunakan perspektif psikologi dalam menjelaskan partisipasi mahasiswa. Penjelasan fenomena dari perspektif komunikasi masih terbatas. Padahal, selain kondisi diri mahasiswa, masih ada peran elemen lain. Lain hal juga, masih minim yang menyoroti mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam fenomena ketidakaktifan ini. 

Communication Apprehension Theory

McCroskey (1977) dalam studi yang dilakukan oleh Alamaria, Salam, & Abdullah (2016) mendefinisikan communication apprehension sebagai tingkat rasa takut atau cemas yang dimiliki individu terkait komunikasi nyata maupun yang diantisipasi dengan orang lain. Kecemasan komunikasi dapat menjadi hambatan bagi seseorang untuk terlibat dalam interaksi verbal, khususnya dalam konteks komunikasi publik. Selain itu, individu dengan tingkat communication apprehensionyang tinggi cenderung menghindari kesempatan berbicara di depan publik, terlepas dari pengetahuan atau keterampilan yang mereka miliki. 

Studi yang dilakukan oleh Alamaria, Salam, & Abdullah (2016) menyoroti bahwa unsur-unsur seperti rasa takut salah bicara, persepsi terhadap audiens, dan pengalaman negatif sebelumnya dapat memperkuat rasa cemas seseorang saat berbicara di depan umum. Mahasiswa Komunikasi FISIP UI yang kerap berhadapan dengan situasi yang menuntut keterampilan berbicara di depan umum, mungkin tidak selalu merasa nyaman atau percaya diri ketika harus menyampaikan pendapatnya di depan banyak orang. 

Communication apprehensiondapat menunjukkan bahwa kecemasan komunikasi yang mengarah pada ketidakaktifan bersifat kompleks dan bergantung pada berbagai keadaan. Terbagi ke empat tipe, yaitu: (1) trait apprehension yang bersifat menetap dalam kepribadian individu, (2) context-based apprehension yang muncul dalam konteks komunikasi tertentu, (3) audience-based apprehension yang berkaitan dengan penerima informasi, dan (4) situational apprehension yang bersifat temporer dan tergantung pada situasi spesifik. 

Metodologi Penelitian

Dalam rangka menelusuri cara berpikir, motivasi, serta makna yang dibentuk individu terhadap fenomena ketidakaktifan dalam ruang kelas secara lebih mendalam, penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi dalam kerangka post-positivis. Dimensi teori Communication Apprehension (McCroskey, 1977) menjadi pijakan utama, meliputi trait, context-based, audience-based, dan situational apprehension. Alih-alih pendekatan kuantitatif, dimensi ini diterjemahkan ke dalam pertanyaan wawancara untuk mengeksplorasi pengalaman personal para informan.

Sehubungan dengan asosiasi keterampilan berbicara pada mahasiswa Ilmu Komunikasi, pengumpulan data akan dilakukan pada mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi FISIP UI. Melalui observasi awal, terdapat pengumpulan informan dengan teknik purposive sampling yang jarang atau tidak pernah berpartisipasi dalam diskusi kelas.  Adapun, kriteria informan yaitu (1) mahasiswa S1 Program Ilmu Komunikasi FISIP UI, (2) menempuh minimal lima semester agar memiliki pengalaman yang cukup dalam berbagai kelas, (3) memiliki kecenderungan tidak atau sangat jarang bertanya atau menjawab pertanyaan dalam diskusi kelas, dan (4) sedang mengikuti minimal dua kelas yang sama dengan peneliti pada semester enam ini, agar dapat diobservasi secara langsung. Metode wawancara semi-terstruktur akan memberi ruang bagi informan untuk bercerita secara terbuka dan memungkinkan munculnya temuan baru. Strategi fenomena menjadi relevan karena mahasiswa yang tidak aktif kerap memiliki alasan dan makna personal yang tidak selalu bisa dipahami dari observasi eksternal semata. 

Selanjutnya, data akan dianalisis menggunakan metode tematik (Braun & Clarke, 2006) melalui beberapa tahap utama, yaitu membaca ulang transkrip, memberikan label, mengelompokkan kode, memastikan koherensi dengan pernyataan penelitian, dan melakukan analisis melalui teori Communication Apprehension. Metode ini memungkinkan  identifikasi pola dalam data kualitatif secara sistematis, koheren, dan fleksibel.

Temuan: Cerita Informan Di Balik Diam

Dari wawancara tiga informan, yaitu Informan 1 (S, 20 tahun), Informan 2 (D, 20 tahun), dan Informan 3 (F, 20 tahun), ditemukan beberapa temuan yang mencerminkan pengalaman mahasiswa dalam merespons komunikasi di ruang serta diskusi kelas.

Tekanan Sosial

Ditemukan bahwa tekanan sosial dari teman sebaya memainkan peran besar dalam membentuk kecemasan komunikasi yang menghambat partisipasi. Ketiga informan menunjukkan bahwa keaktifan atau dominasi teman sekelas dapat memunculkan rasa takut, minder, hingga ragu untuk berbicara. Tekanan tidak hanya dari verbal, tetapi juga nonverbal. Lebih jauh, kekhawatiran akan penilaian negatif mendorong mahasiswa untuk mencari validasi sebelum bicara. 

Berdasarkan observasi kami, kehadiran mahasiswa dominan dalam kelas seringkali membuat informan merasa bahwa diskusi akan tetap berjalan tanpa kontribusi mereka, sehingga mereka memilih untuk tidak memberi tanggapan.

Respon dan Gaya Mengajar Dosen

Umpan balik yang diberikan dosen sebagai audiens dapat memperkuat sekaligus meredam kecemasan informan dalam diskusi di kelas. Sikap dosen yang tidak menghakimi akan membuat informan lebih nyaman, sebaliknya terlalu menekan partisipasi tanpa konteks aturan perkuliahan dapat meningkatkan rasa cemas. Temuan ini menunjukkan bahwa peran dosen bukan sekadar fasilitator diskusi, tetapi juga aktor penting dalam menciptakan iklim psikologis yang mendukung atau menghambat kecemasan informan dalam komunikasi.

Berdasarkan hasil observasi kami, ketidakaktifan yang dialami informan dalam diskusi kelas tidak lepas dari pengalaman mereka berinteraksi dengan dosen. Dalam beberapa kasus, informan mengungkapkan bahwa ketertarikan terhadap mata kuliah tertentu tidak serta-merta mendorong mereka untuk terlibat aktif. Ketika suasana kelas atau pendekatan yang dibangun dosen tidak dirasakan mendukung, informan cenderung memilih untuk tetap pasif meskipun memiliki minat terhadap materi yang dibahas.

Ruang Kelas

Baik daring maupun luring, kondisi ini berperan dalam kecemasan dan kenyamanan informan ketika menyampaikan pendapat. Ada yang merasa lebih nyaman saat daring karena tidak bertemu dengan audiens secara langsung. Sebaliknya, ada juga yang menilai kelas daring membawa suasana yang lebih sunyi sehingga lebih enggan untuk berbicara pertama.

Berdasarkan observasi kami, informan cenderung merasa kurang cemas saat mengikuti kelas daring. Namun, karena merasa terlalu bebas, mereka justru menjadi kurang aktif dalam berpartisipasi, misalnya dengan tidak menyalakan kamera atau jarang bertanya dan menjawab selama diskusi berlangsung

Konteks Kelas dan Diskusi

Bentuk pertanyaan, sistem diskusi, dan sensitivitas topik turut berperan dalam kecemasan komunikasi. Topik yang sensitif kerap dihindari karena takut salah ucap. Sebaliknya, sistem diskusi berbasis penilaian bisa jadi pendorong partisipasi, meski tidak berlaku bagi semua karena merasa nilai bukan satu-satunya bobot. Ketika diskusi terlalu dipaksakan, informan bisa merasa tertekan. Namun jika terlalu bebas, mereka bisa enggan bicara, terutama jika orang lain sudah lebih dulu menyampaikan pendapat. Secara umum, mereka akan merasa lebih nyaman apabila berpendapat bersama teman kelompok saat sesi presentasi. 

Berdasarkan observasi kami, ditemukan bahwa mata kuliah berperan dalam keaktifan informan. Jika berbentuk project-based, maka informan memiliki kecenderungan aktif yang lebih besar dibandingkan pembelajaran teoritis. Jenis mata kuliah wajib dan peminatan juga menjadi alasan informan untuk bersikap aktif dan tidak aktif dalam kelas. Kebanyakan informan lebih aktif saat mata kuliah peminatan karena mencerminkan hal yang disukai.

Kondisi Internal Mahasiswa

Kepercayaan diri, fokus, dan kesiapan mental menjadi linear dengan keberanian untuk bicara. Ketika informan merasa tidak mampu mengekspresikan pikirannya dengan baik, rasa cemas tersebut berubah menjadi keputusan untuk diam.

Berdasarkan observasi, Informan 3 yang introvertterlihat pasif dan enggan memulai interaksi. Hal ini turut berperan dalam kecemasannya di diskusi kelas. Menariknya, baik Informan 1 dan Informan 2 justru tampak aktif saat berbicara dengan teman-teman di luar konteks diskusi kelas. Sehingga, konteks pribadi tidak selalu relevan dalam menentukan perilaku komunikasi. Lingkungan dan situasi juga memegang peran penting.

Melalui analisis tematik terhadap wawancara tiga informan, ditemukan beberapa tema utama yang membentuk pengalaman mereka, yakni: peran audiens, kondisi kelas, konteks diskusi, tekanan akademik, serta kondisi pribadi seperti rasa tidak percaya diri, kecemasan, dan ketakutan akan penilaian negatif. 

Diskusi: Peran Communication Apprehension Theory dalam Pengalaman Ketidakaktifan Mahasiswa

Sistem kelas dengan layoutduduk melingkar di salah satu mata kuliah Program Studi Ilmu Komunikasi (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Teori Communication Apprehension (McCroskey, 1977) menjelaskan bahwa kecemasan dalam berbicara dapat menghambat seseorang untuk terlibat dalam komunikasi publik, termasuk dalam diskusi kelas. Dengan menggunakan empat dimensi teori yaitu trait apprehension, context-based apprehension, audience-based apprehension,dan situational apprehension. Penelitian ini menemukan bahwa kecemasan komunikasi  bergantung pada kondisi individu, konteks kelas dan diskusi, karakteristik audiens, serta situasi yang sedang berlangsung.

Trait apprehension merujuk pada karakteristik kepribadian yang tetap dan adanya hambatan internal sehingga membuat individu merasa tidak nyaman atau cemas ketika berdiskusi di kelas, hingga menghindar untuk berbicara. Ketidakpercayaan diri, rasa malu yang konstan, serta kecenderungan untuk overthinking bahkan dalam situasi yang netral menandai keberadaan trait apprehension. Meskipun memahami pentingnya partisipasi, mahasiswa tetap terhambat oleh kecemasan pribadi saat harus berbicara di ruang publik. Selain itu, konteks pribadi seperti introvertjuga berperan, tapi tidak menutup kemungkinan mahasiswa extrovertenggan untuk berdiskusi.

Sementara itu,context-based apprehension muncul ketika mahasiswa berada dalam konteks komunikasi tertentu, seperti topik sensitif, interaksi satu arah, atau ketika dosen menggunakan metode pengajaran yang “otoriter”. Dalam konteks seperti ini, diskusi tidak membangun rasa aman, melainkan menciptakan tekanan. Sistem kelas yang menilai keaktifan, atau gaya mengajar yang kaku dapat memperburuk ketegangan. Mahasiswa yang siap berpartisipasi pun menjadi ragu karena bentuk komunikasi yang kurang fleksibel. Di sisi lain, konteks kelas dengan kewajiban diskusi saat presentasi–bersama teman sekelompok–bisa membangun dorongan bagi mahasiswa untuk berpartisipasi.

Dimensi ketiga,audience-based apprehension, berakar pada persepsi mahasiswa terhadap siapa yang mendengarkan mereka saat berbicara. Ketika mahasiswa merasa bahwa dosen maupun teman sekelas, bersikap menilai, menghakimi, atau terlalu kompetitif, kecemasan komunikasi meningkat. Beberapa mahasiswa dalam penelitian ini merasa enggan menyuarakan pendapat karena takut dianggap “salah” atau “kurang cerdas”. Ketegangan juga muncul dari ekspresi nonverbal yang mengintimidasi dan komentar tidak langsung yang menyiratkan adanya standar dalam menyampaikan pendapat.

Adapunsituational apprehension bersifat temporer dan dipicu oleh kondisi tertentu yang terjadi secara spontan. Mahasiswa yang umumnya tidak memiliki kecemasan berlebih bisa mengalami hambatan bicara ketika dihadapkan pada situasi spesifik, seperti ditunjuk mendadak, merasa tidak fokus, atau ketika topik diskusi dirasa sensitif. Dalam kondisi ini, ketidaksiapan emosional menyebabkan mahasiswa menunda atau membatalkan niat untuk berbicara. Artinya, kecemasan tidak selalu melekat pada kepribadian atau audiens, tetapi bisa muncul sesaat karena hal yang terjadi kelas yang sedang berlangsung. Perlu digarisbawahi, hal ini tidak bertentangan dengan trait apprehension,melainkan menunjukkan bahwa tidak semua bentuk kecemasan bersifat tetap, karena teori ini sendiri mengakui adanya bentuk kecemasan yang bersifat situasional.

Keempat dimensi dalam teori Communication Apprehension tidak semerta-merta tentang ukuran besaran kecemasan, tetapi memiliki makna yang lebih dalam atas pengalaman masing-masing individu. McCroskey (2006) menekankan bahwa Communication Apprehension bersifat multidimensional yang mencerminkan bahwa tiap dimensi dalam pengalaman informan tidak berdiri secara terpisah. Satu dimensi dapat memperkuat maupun melemahkan dimensi lainnya, dan dalam konteks tertentu, batas antar dimensi dapat menjadi tumpang tindih. Temuan ini sejalan dengan pemahaman dalam teori kecemasan komunikasi yang menekankan bahwa pengalaman komunikasi bersifat kompleks dan berlapis, di mana elemen-elemen kecemasan komunikasi saling berinteraksi secara dinamis dalam membentuk ketidakaktifan. Misalnya, kecemasan terhadap respons audiens dapat diperkuat dengan adanya kondisi situasi yang terjadi di sekitar kelas. Sebaliknya, kecemasan dalam diri (trait) dapat melemah saat audiens memberikan respons yang suportif.

Akhir Kata

Penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman mahasiswa dalam ruang kelas tidak dapat dilepaskan dari pengalaman sosial dan akademik yang mereka alami. Ketidakaktifan bukan semata-mata berasal dari individu, melainkan terbentuk melalui interaksi mereka dengan lingkungan belajar yang kompleks. Kecemasan komunikasi yang muncul bukan hanya soal kondisi psikologis pribadi, melainkan tumbuh dari cara mahasiswa memaknai berbagai elemen dalam proses pembelajaran di kelas. Bahkan, mahasiswa yang tidak memiliki kecenderungan kecemasan tinggi pun bisa memilih diam jika suasana diskusi tidak terasa aman atau mendukung. Dalam hal ini, keaktifan tidak bisa dibangun hanya dengan memotivasi mahasiswa secara individu, tetapi diperlukan ruang belajar yang membuat mereka merasa dilibatkan. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan bukan hanya keberanian berbicara, tetapi juga bagaimana pengalaman belajar dirancang agar benar-benar membuka peluang keterlibatan di kelas secara aktif. 

Referensi
Abdullah, M. Y., Bakar, N. R. A., & Mahbob, M. H. (2012). Student’s Participation in Classroom: What Motivates Them to Speak Up? Elsevier, 51(2012).
Alamaria, A., Salam, A. R., & Abdullah, T. (2016). A qualitative Exploration of Oral Communication Apprehension among Libyan EFL Learners. Medwell Journals, 11(23), 5796-5802.
Braun, V., & Clarke, V. (2006). Using thematic analysis in psychology. Qualitative Research in Psychology, 3(2), 77–101. https://doi.org/10.1191/1478088706qp063oa
Klara Sedova & Jana Navratilova (2020): Silent students and the patterns of their participation in classroom talk, Journal of the Learning Sciences, DOI: 10.1080/10508406.2020.1794878
Kompasiana.com. (2022, May 26). Mahasiswa Berperilaku Pasif di Kelas meningkat, Siapa Yang Salah?. KOMPASIANA. https://www.kompasiana.com/muhamadiqbalalhilal2301/628f69c2bb448614e808cb02/mahasiswa-berperilaku-pasif-di-kelas-meningkat-siapa-yang-salah
Malik, M. A. (2017). Students’ oral involvement in the Chinese university classroom: A comparison between classes of Chinese and international students.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *