Journalight

UI Journalism Studies

Feature

Merakyat Lewat Digital: Kenapa Politisi Semakin Gencar Kampanye Melalui Sosial Media?

JAKARTA, (05/06/2025) — Tak lagi sebatas banyak-banyakan spanduk di jalan raya ataupun pidato di televisi. Politisi kini semakin gencar mencari sorotan melalui media sosial, mulai dari konten ngobrol bareng warga ala Dedi Mulyadi hingga video ceramah versi modernnya Lawrence Wong. Apa, sih, yang membuat media sosial begitu “menggoda” bagi para politisi di berbagai belahan dunia?

Video kompilasi perbedaan pendekatan konten media sosial dari tiga politisi dari Indonesia, Singapura, dan India.
Visual: Unsplash dan Instagram @dedimulyadi71@lawrencewongst dan @narendramodi

Lanskap politik dalam negeri baru-baru ini dihebohkan dengan aktivitas digital Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, yang dijuluki “gubernur konten”. Berkat konten-konten sosial medianya, KDM kini berhasil meraup 4.6 juta pengikut dengan rata-rata puluhan ribu likespada setiap postingannya di Instagram. Konten-kontennya ini berhasil menangkap perhatian dan sorotan dari tak hanya masyarakat Jawa Barat, tetapi juga masyarakat lintas daerah.

Namun, fenomena politisi yang ‘social media savvy’ tidak hanya terjadi di Indonesia. Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong, memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan kebijakan pemmerintah dan memperkuat hubungan antara masyarakat dan pemerintah pusat. Dengan angle kamera yang sinematik, penyuntingan video yang dinamis, serta gaya bicara yang lugas, Lawrence mencuri perhatian dan simpati masyarakat Singapura, bahkan dipuji oleh masyarakat negara tetangga.

India pun tidak ketinggalan dalam tren ini. Perdana Menteri Narendra Modi, dengan 95.9 juta pengikut di Instagram, memiliki kehadiran digital yang luar biasa. Melalui feed-nya, ia membagikan cuplikan perbincangan di podcast, konten ceramah, hingga aktivitas sehari-hari yang dikemas secara menarik. Setiap unggahannya mampu meraup jutaan likesdan memiliki engagementtinggi untuk seorang politisi.

Infografik insights media sosial tiga politisi internasional.
Foto: ANTARA

KDM, Lawrence Wong, hingga Narendra Modi adalah tiga dari sekian banyaknya politisi internasional yang gencar menggunakan sosial media. Well, keputusan mereka ini bukan sebatas karena ingin saja, tetapi karena memang sistem politik kini sangat dipengaruhi dan disesuaikan dengan demand dari media massa selayaknya yang diungkapkan oleh Hjarvard (2008) dalam Croteau & Hoynes (2019). Fenomena ini kerap disebut dengan the mediatization of politicsatau mediatisasi politik.

Pengaruh media terhadap dunia politik ini secara jelasnya bisa kita lihat melalui bagaimana para politisi melakukan kampanye di sosial media maupun memimpin daerahnya dengan bantuan media. Politisi yang semakin terdorong untuk jago ngonten dan tampil santai di depan kamera juga balik lagi, karena efek mediatisasi politik itu sendiri.

Aktivitas sosial media politisi tidak lepas dari campur tangan tim konten, sosial media, ataupun hubungan masyarakat mereka. Melansir Tempo(04/16/2025), KDM memiliki tim kontennya sendiri yang terdiri dari 7 orang videografer yang bertugas untuk mendokumentasikan kegiatan Dedi dari berbagai sisi.

Konten media sosial berperan penting dalam lanskap politik modern, terutama karena pertimbangan individu dalam menentukan pilihan politik telah berubah. Croteau & Hoynes (2019) dalam buku Media/Society mengungkapkan bahwa pergeseran ini terjadi ketika pola pemilihan yang sebelumnya didasarkan pada afiliasi partai kini justru lebih berdasarkan kepribadian sang kandidat.

Penggunaan sosial media memberikan keuntungan signifikan bagi politisi. Alih-alih bergantung pada media berita untuk menyebarkan informasi kampanye atau pesan komunikasi mereka, media sosial memungkinkan politisi memproduksi dan mendistribusikan konten secara mandiri. Dengan itu, mereka memiliki kendali penuh atas pesan yang ingin disampaikan. Tak hanya itu, konten di media sosial pun lebih berpotensi untuk viral karena mudah dibagikan antar masyarakat sehingga memperluas jangkauan pesan yang secara sekilas tampak, organik dan otentik.

Namun, benarkah konten media sosial politisi itu organik dan otentik? Ya, selayaknya iklan, konten media sosial politisi sebenarnya merupakan hasil orkestrasi tim yang telah dirancang secara cermat. Konten-konten ini tentunya sudah dikalkulasi sedemikian rupa untuk mencapai tujuan dari sang politisi, entah itu mengkomunikasikan kebijakan, mempengaruhi pilihan politik, dan sebagainya.

Kami bertanya kepada masyarakat Jawa Barat terkait tanggapan mereka terhadap aktivitas digital KDM. Bagaimana pandangan mereka terhadap fenomena ini dan terhadap julukan “gubernur konten” yang disematkan kepada Dedi Mulyadi?

Turns out, mereka cukup pro dan kontra, lho. Misalnya, Dimas Muhammad Diariefaundra, kerap disapa dengan nama Dimas, mengungkapkan kalau ia cukup senang karena setidaknya ia bisa mengetahui seluk beluk kegiatan yang dilakukan seorang pejabat publik di Jawa Barat. Menurutnya, fair enough, kok, kalo KDM disebut-sebut sebagai “gubernur konten” karena memang ia sudah ngontenjauh sebelum mencalonkan diri sebagai gubernur. “KDM itu menurut gue memang sosok gubernur yang cocok sama karakteristik masyarakat Jawa Barat, dari mulai ia pakai bahasa pengantar Sunda, suka dialog sama rakyat, dan ya jadi lebih deket sama masyarakatnya,” ujar Dimas.

Lain hal dengan Rafi Firmansyah. Sebagai seorang mahasiswa berusia 21 tahun yang seumur hidupnya tinggal di Jawa Barat, Rafi sudah banyak mendengar tentang KDM. Di satu sisi, ia mendengar dari sesama warga Jawa Barat lainnya bahwa konten KDM membuatnya terasa dekat dengan masyarakat. Namun, di sisi lain, ia menganggap semua konten KDM tidak lebih dari sekedar pencitraan. “Bukan berarti gue bilang cara yang dia pake ini jelek, tapi ada kekhawatiran bahwa manuver politik ini sebatas cari dukungan untuk maju ke pemilihan aja, jadi gue skeptis dan merasa lebih baik untuk terus mengkritisi aksi KDM,” ungkapnya.

Ketika Rafi melihat konten ini sebagai pencitraan, Naila Sitti Khalisha atau Naila menyebutnya sebagai gimik. “Kalau dari aku sendiri ngeliatnya kayak he’s full of gimmicks jadi i can’t take him seriously. Menurut aku, seorang gubernur Jawa Barat itu gak seharusnya tampil di publik dengan citra seperti ini,” ujar Naila. Naila tak menampis bahwa memang ini sebuah taktik untuk lebih relevan dan dekat dengan masyarakat, tetapi, ia melihat bahwa konten seperti ini sangat dibalut dengan sensasi dramatis layaknya sinetron. Terlebih, Naila mengungkit klaim netizen bahwa salah satu konten KDM itu settingan.Ini yang mendorong Naila untuk cenderung mendiskreditkan konten yang dibuat KDM dan melihatnya sebagai sesuatu yang dibuat-buat dan bukan benar-benar yang terjadi di lapangan.

Nah, oleh karena itu, apa, sih, sebenarnya yang perlu kamu awasi dan kamu lakukan jika ketemu konten-konten media sosial politisi? Secara umumnya, tak ada yang salah kok dengan politisi yang melek media sosial. Justru, itu bisa jadi salah satu cara bagi kita untuk mengenal para politisi yang bertanggung jawab atas kesejahteraan hidup masyarakat suatu daerah. Jadi, tenang saja, konten-konten tersebut tak perlu kamu jauhi, tapi jangan pula ditelan mentah-mentah, ya.

Melainkan, coba untuk lebih kritis terhadap konten-konten tersebut. Take it with a grain of saltalias terima informasi dan pesannya dengan hati-hati. Tonton dengan kesadaran bahwa konten yang dipublikasikan itu merupakan hasil rancangan dan penyusunan yang terkalkulasi oleh sang politisi dan timnya. Cek kembali fakta yang disampaikan oleh sang politisi dan tentukan pilihan politikmu jangan hanya berdasarkan kepribadian mereka yang kamu lihat di sosial media, tapi, yuk telusuri kembali seluk beluk dan kebijakan yang mereka canangkan!

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *