Journalight

UI Journalism Studies

Research

Dilema Personal Branding Mahasiswa Ilmu Komunikasi UI di LinkedIn: Antara Ideal dan Autentik

Haura Zahra Zhafira, Jovanka Everlyn Valencia, Muhammad Ziya Ulhaq, Vania Galis Prasuma Hadi, Zhafirah Farsya. Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

ABSTRAK

LinkedIn menjadi platform strategis bagi para informan yang merupakan mahasiswa Ilmu
Komunikasi Universitas Indonesia dalam membangun citra profesional dan branding di
tengah persaingan kerja yang semakin ketat. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi
pengalaman mahasiswa dalam mempresentasikan diri di LinkedIn serta mendeskripsikan
strategi personal branding yang mereka gunakan. Dengan menggunakan pendekatan
kualitatif dan metode fenomenologis, data diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap
mahasiswa aktif yang telah konsisten menggunakan LinkedIn. Hasil penelitian menunjukkan
adanya pergeseran motivasi dan faktor eksternal seperti tuntutan akademik dan Fear of
Missing Out (FOMO). Mahasiswa memanfaatkan fitur seperti job search, analytics, dan
pengelolaan profil secara strategis untuk meningkatkan visibilitas. Namun, mereka juga
menghadapi tekanan sosial dalam menampilkan versi terbaik diri yang belum tentu
mencerminkan realitasnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa personal branding melalui
LinkedIn bukan hanya soal tampil profesional, tetapi juga proses negosiasi antara keaslian
diri dan ekspektasi publik. Implikasinya, informan perlu mengelola identitas digital secara
sadar dan berkelanjutan sebagai bagian dari kesiapan menghadapi dunia kerja.
Kata Kunci: Personal branding, self-presentation, pencarian kerja, media sosial, LinkedIn,
mahasiswa


PENDAHULUAN
LinkedIn: Kunci Sukses Gen Z di Tengah Badai Pencarian Kerja?
Pada era digital saat ini, media sosial tidak lagi menjadi sekedar tempat berbagi momen atau
menjalin pertemanan. Jauh lebih dari itu, platform digital kini menjelma sebagai panggung
strategis untuk membangun citra diri, atau yang kita kenal dengan istilah personal branding.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan cara tradisional, media sosial memungkinkan kita untuk
merancang dan menyajikan profil diri secara lebih leluasa serta dapat menjangkau audiens
yang lebih luas. Di antara beraneka ragam platform media sosial yang ada, LinkedIn
menonjol sebagai arena para profesional unjuk gigi. Berbeda halnya dengan Instagram, X,
dan TikTok yang lebih santai, LinkedIn dirancang secara khusus untuk karir dan
pengembangan profesional. Maka dari itu, tidak heran jika selama lebih dari satu dekade,

LinkedIn telah menjadi alat krusial bagi para perekrut dan pencari kerja di seluruh dunia
(Weiss & Glück, 2024). Generasi Z–generasi yang tumbuh di besar di hiruk pikuk teknologi digital–memiliki keunggulan tersendiri dalam menavigasi dunia maya. Mereka adalah “digital natives” sejati
yang secara alami memahami dinamika komunikasi digital, tidak terkecuali seni membangun
citra diri di platform seperti LinkedIn. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia
angkatan 2021–2023 merupakan contoh nyata dari Gen Z yang sangat akrab dengan
penggunaan teknologi dalam kesehariannya. Mereka berupaya untuk menampilkan diri secara
autentik di media sosial, termasuk dalam membangun personal branding yang berdampak
langsung pada peluang kerja (Trang et al., 2024). Konsistensi dalam komunikasi, baik lisan,
tulisan, maupun virtual, menjadi kunci untuk memperkuat citra daring dan memperbesar
peluang karir.


Namun, medan pertempuran kerja bagi gen Z saat ini tidak mudah. Survei Populix
pada Juni 2024 terhadap 1.330 pencari kerja menunjukkan bahwa sebesar 69% Gen Z di
Indonesia kesulitan mendapatkan pekerjaan, salah satunya disebabkan oleh tingginya
persyaratan pengalaman yang seringkali belum mereka miliki. Ditambah lagi dengan
perkembangan teknologi dan globalisasi pasar tenaga kerja yang semakin memperketat
persaingan tersebut. Di sinilah peran personal branding melalui LinkedIn menjadi penting.
Dengan membangun citra diri yang kuat dan profesional, bukan hal yang mustahil bagi Gen
Z untuk bisa menonjol di tengah kerumunan, memperlihatkan keterampilan, pengalaman
magang, proyek, hingga keterlibatan dalam komunitas profesional. Semua hal ini bertujuan
untuk meningkatkan visibilitas dan kredibilitas mereka di mata perekrut.
Meskipun demikian, masih ada tantangan tersendiri yang dihadapi dalam membangun
citra profesional di LinkedIn. Pengguna seringkali merasa tertekan untuk selalu menampilkan
versi terbaik dirinya, baik itu dalam hal pencapaian akademik maupun non-akademik. Hal ini
terkadang menciptakan citra yang mungkin berbeda dari realitas sebenarnya. Padahal,
penelitian oleh Trang et al. (2024) justru menunjukkan bahwa citra daring yang “tidak
sempurna” atau autentik lebih efektif bagi Gen Z. Mereka cenderung ingin menggabungkan
promosi diri dengan menunjukkan sisi asli mereka. Lantas, bagaimana sebenarnya mahasiswa
Ilmu Komunikasi UI memanfaatkan LinkedIn sebagai platform untuk membangun personal
branding mereka? Yuk, simak hasil penelitian kelompok kami!


Apa Itu Self-Presentation dan Personal Branding?
Teori self-presentation membahas bagaimana individu membentuk citra diri melalui isyarat
verbal dan nonverbal (Bahar, 2024) dan pertama kali dikenalkan oleh Goffman (1959) yang
mencakup konsep frontstage dan backstage. Di era digital, media sosial seperti LinkedIn
menjadi ruang baru untuk melakukan self-presentation secara strategis. Ruang digital ini
memungkinkan pengguna mengatur kesan melalui konten yang dapat dikurasi, sesuai dengan
konsep exhibition Hogan (2010). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengguna
LinkedIn menggunakan teknik self-presentation dan impression management untuk menarik
perhatian recruiter (Weisi & Hajizadeh, 2025; Wu & Carroll, 2024). Selain itu, Van Dijck
(2013) menekankan bahwa desain LinkedIn mendorong promosi diri, sementara Weiss &
Glück (2024) menunjukkan adanya ketegangan antara keinginan tampil autentik dan ideal.
Sementara itu, personal branding sebagai konsep yang pertama kali diperkenalkan
oleh Kotler dan Levy (1969) merujuk kepada aktivitas manusia normal yang dilakukan
sebagai sarana untuk memberi kesan kepada orang lain. Saat ini, banyak orang yang
menggunakan personal branding untuk memasuki pasar kerja, mereka berlomba-lomba
menciptakan profil yang positif, khususnya dengan mengomunikasikan harapan, tujuan, dan
nilai-nilai (Ollington et al., 2013). Personal branding dapat digunakan oleh seseorang sebagai
aset untuk mencapai karir yang diinginkan, personal branding yang baik akan membantu seseorang lebih mudah mendapatkan karir yang cemerlang. Oleh karena itu, sudahkan kalian membangun personal branding yang baik?


Mendengarkan Langsung dari Mahasiswa Ilmu Komunikasi UI!
Untuk memahami lebih dalam bagaimana mahasiswa Ilmu Komunikasi UI membentuk
personal branding mereka di LinkedIn, penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif
melalui metode fenomenologi. Pendekatan ini dipilih agar kami sebagai peneliti bisa
benar-benar menyelami pengalaman dari para informan, bukan hanya melihat dari luar, tetapi
memahami makna di balik strategi mereka membangun citra profesional secara digital.
Siapa saja yang menjadi narasumber? Kami sengaja memilih informan dengan metode
purposive sampling, yang artinya kami tidak memilih sembarang mahasiswa. Hanya
mahasiswa Ilmu Komunikasi UI angkatan 2021, 2022, dan 2023 yang aktif menggunakan
LinkedIn dan rutin mengunggah konten dalam tiga bulan terakhir. Kenapa? Karena mereka
sedang berada dalam fase penting, yaitu mulai mempersiapkan diri masuk ke dunia kerja, dan
tentu saja, sedang gencar membentuk personal branding!

Wawancaranya sendiri dilakukan secara mendalam atau in-depth interview. Dalam
proses ini, kami menggali cerita, strategi, hingga tantangan yang mereka hadapi dalam
mempresentasikan diri di LinkedIn. Hasil wawancara kemudian dianalisis menggunakan
teknik analisis tematik. Tujuannya adalah untuk menemukan pola, tema, dan makna yang
berulang dari tiap cerita yang dibagikan oleh para informan. Melalui pendekatan ini, kami
dapat menangkap lebih dari sekadar apa yang mereka tampilkan di profil LinkedIn, kami juga
dapat memahami alasan di balik setiap pilihan kata, gaya penyampaian, hingga dilema yang
mereka rasakan antara tampil ideal dan tetap menjadi diri sendiri. Menarik, ‘kan?


HASIL DAN DISKUSI
Dari FOMO ke Kesadaran Profesional
Menariknya, penelitian yang kelompok kami lakukan menemukan bahwa terdapat pergeseran
motivasi yang signifikan di balik penggunaan LinkedIn oleh beberapa informan. Awalnya,
mereka menggunakan platform ini karena faktor-faktor eksternal, seperti tugas kuliah hingga
fenomena yang akrab disebut dengan Fear of Missing Out (FOMO). Mereka tidak ingin
ketinggalan dari teman-temannya yang sudah terlebih dulu aktif di LinkedIn. Berikut ini
beberapa jawaban mereka saat kami menggali motivasi awal dalam penggunaan platform
LinkedIn.

Kalimat-kalimat di atas menunjukkan bagaimana awal mula para informan
berinteraksi dengan LinkedIn karena faktor eksternal, seperti dorongan praktis dari kampus
terkait mata kuliah dan perasaan tidak mau tertinggal, menunjukkan adanya tekanan sosial di kalangan teman sebaya untuk memiliki kehadiran di LinkedIn. Hal ini menunjukkan bahwa
motivasi awal mereka dalam penggunaan LinkedIn bukan berasal dari kesadaran pribadi
terhadap manfaatnya. Namun, seiring berjalannya waktu, motivasi tersebut pun ikut berubah.
Penggunaan LinkedIn beralih dari sekadar tuntutan menjadi sebuah kesadaran profesional
yang mendalam. Para informan mulai memahami pentingnya LinkedIn sebagai alat strategis
untuk membangun jaringan dan mengembangkan karier. “Kemudian bergeser menjadi lebih
rasional bahwa oke ini memang kebutuhan atau tuntutan pekerja profesional tuh memang
harus punya aplikasi ini,” jelas salah satu informan. Evolusi cara pandang ini menegaskan
bahwa pengalaman berinteraksi dengan LinkedIn secara bertahap menciptakan pemahaman
internal terkait nilai sebenarnya dari platform tersebut dalam dunia kerja.
Temuan ini selaras dengan penelitian Trang et al. (2024) yang menyebutkan bahwa
Gen Z seringkali membangun personal branding sebagai respons terhadap tekanan faktor
eksternal seperti persaingan kerja yang ketat. Namun, yang menarik dari temuan kami adalah
bagaimana tekanan awal ini berubah menjadi kesadaran pribadi terhadap pentingnya
proaktivitas dalam membangun karier di masa mendatang. Oleh karena itu, penggunaan
LinkedIn bagi mereka bukan lagi sekadar ikut-ikutan, tetapi menjadi langkah strategis untuk
mencapai tujuan profesional yang jelas.


Fitur LinkedIn untuk Personal Branding: Apa Saja yang Digunakan?
Pernah bertanya-tanya fitur LinkedIn apa saja yang digunakan untuk membangun personal
branding? Penelitian kami mengungkap bahwa para informan memanfaatkan berbagai fitur
dengan tujuan utama yang sama: meningkatkan visibilitas mereka di pasar kerja yang
kompetitif. Salah satu fitur utama yang digunakan adalah profil LinkedIn, yang terbagi
menjadi beberapa kolom, mulai dari nama, headline, about, activities, experience, volunteer,
dan kolom lainnya. Melalui profil, informan dapat memperkenalkan siapa mereka, apa yang
telah mereka capai, dan keahlian yang mereka miliki agar menarik perhatian para recruiter
dan perusahaan. Desain profil yang terstruktur dan pemanfaatannya sejalan dengan temuan
Van Dijck (2013), yang menjelaskan bahwa interface LinkedIn mendorong pengguna untuk
melakukan promosi diri secara strategis.

Masih dalam fitur profil, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan visibilitas
di LinkedIn adalah melalui keywords yang akan mempermudah perusahaan, recruiter,
maupun pengguna lainnya untuk menemukan kita. Contohnya, informan dalam penelitian
kami sering menggunakan kata-kata yang relevan dengan jenis pekerjaan yang dituju.

Fitur lainnya yang digunakan adalah job search. Perusahaan apa sih yang sedang open
recruitment? Posisi apa sih yang banyak dicari? Informan dalam penelitian kami
menyebutkan bahwa ia menggunakan fitur job search untuk mencari lowongan pekerjaan dari
perusahaan yang diminati. Dari hasil pencarian tersebut, mereka dapat menyesuaikan profil
mereka agar lebih mudah ditemukan dan memperluas peluang karier serta jaringan
profesional.

Terakhir, fitur analytics. Fitur analytics digunakan untuk memantau performa akun dan
tingkat engagement suatu unggahan. Menurut informan, terdapat perbedaan engagement
konten yang diunggah sendiri dengan konten repost. Ia memantau metrik impression,
komentar, dan likes, untuk menilai efektivitas konten dan visibilitas akun yang digunakan
untuk membangun personal branding.

Ketiga fitur yang digunakan berhubungan dengan teori Edmiston (2014) tentang langkah
penting untuk membangun personal branding profesional melalui media sosial. Para
informan membangun identitas online melalui fitur profil, melengkapi deskripsi dari
komponen-komponen yang ada di dalamnya. Mereka juga memantau dan mengukur merek
(brand) online melalui fitur job search dan fitur analytics, sekaligus berjejaring dan terlibat
dengan audiens melalui fitur analytics.


Ketika Personal Branding Bertemu Kejujuran Diri
Personal branding bukan lagi sekadar milik para profesional. Mahasiswa kini semakin sadar
pentingnya membangun citra diri yang kuat, terutama di platform LinkedIn. Menariknya, cara
mereka membentuk citra diri bukan dengan menjadi orang lain, tetapi dengan menyesuaikan
bahasa dan gaya komunikasi tanpa harus meninggalkan keaslian. Ada usaha besar untuk tetap
menjadi diri sendiri, walau harus tampil dengan gaya bahasa yang lebih rapi dan profesional.

Dari serangkaian wawancara yang dilakukan dalam penelitian kualitatif ini, terlihat
pola yang konsisten, yakni informan menyusun profil LinkedIn mereka dengan sangat sadar
dan strategis. Ditemukan bahwa informan menyusun profil mereka dengan cermat: dari
pilihan kata, nada bicara, sampai cara mereka menjelaskan pengalaman. Bahasa mereka
dirapikan agar terdengar profesional, tetapi tetap mencerminkan diri yang sebenarnya.
Konsep ini selaras dengan teori self-presentation oleh Erving Goffman (1959). LinkedIn
menjadi ‘panggung depan’ di mana mahasiswa harus tampil meyakinkan, sedangkan sisi
pribadi tetap dijaga di balik layar. Mereka menampilkan diri sesuai ekspektasi industri,
dengan tetap berusaha jujur dan autentik.

Konsistensi juga menjadi kunci. Seperti dijelaskan Dolan (2017), komunikasi yang
selaras baik verbal, tulisan, maupun digital dapat membangun kredibilitas. Informan pun
memahami bahwa personal branding bukan hanya soal isi, tetapi juga cara menyampaikan
pesan. Hal ini sejalan dengan prinsip Montoya (2002), personal branding yang kuat berasal
dari nilai diri, pesan yang jelas, dan penyampaian yang konsisten. Dari temuan ini, satu hal
yang jelas adalah membentuk citra profesional bukan soal menjadi orang lain. Ini soal jadi
versi terbaik dari diri sendiri yang rapi, tetapi tetap asli.


Tekanan Untuk Tampil Ideal, Tapi Kok Nggak Jadi Diri Sendiri?
Tidak semua proses membangun personal branding di LinkedIn berjalan mulus. Dalam
penelitian kami, muncul satu benang merah yang cukup kuat, yaitu tekanan sosial. Beberapa
informan mengaku bahwa mereka merasa terbebani ketika melihat pencapaian teman-teman
lainnya yang tampak lebih mentereng. Alhasil, muncul rasa minder, cemas, bahkan tidak
percaya diri.

Perasaan ini menciptakan dorongan untuk menampilkan versi ideal dari diri mereka
yang sayangnya, tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Beberapa bahkan mengakui sempat
‘menaikkan’ sedikit informasi seputar kemampuan agar terlihat lebih profesional. Di sinilah
muncul dilema, yaitu ingin tampil autentik, tetapi juga ingin dianggap layak di mata audiens,
termasuk para perekrut.


Tekanan semacam ini sebetulnya bukan hal baru. Goffman, seorang sosiolog, pernah
menggambarkan bahwa dalam kehidupan sosial, kita seperti sedang berada di ‘panggung
teater’. Di LinkedIn, panggung itu menjadi sangat nyata, mahasiswa tampil “rapi”, percaya
diri, dan kompeten, walaupun mungkin di balik layar mereka masih merasa belum cukup.
Menariknya, fenomena ini bertolak belakang dengan harapan banyak Gen Z itu
sendiri. Studi oleh Trang et al. (2024) justru menunjukkan bahwa generasi ini cenderung
menyukai personal branding yang apa adanya, tidak melulu sempurna, dan memperlihatkan
proses jatuh-bangun dalam perjalanan karier. Namun, dalam konteks kampus yang kompetitif
seperti Ilmu Komunikasi UI, ekspektasi tinggi dan budaya performatif membuat informan
sering kali merasa harus tampil maksimal di ruang digital.

Cari Kerja Lewat LinkedIn? Siapa Takut?

Kamu masih semester awal kuliah dan belum punya pengalaman kerja? Bingung mulainya
dari mana? Tenang, kamu masih punya banyak waktu untuk membangun masa depan kamu
melalui LinkedIn. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyak mahasiswa yang terbantu
dengan kehadiran Linkedin, platform profesional satu ini ternyata bukan hanya ditujukan bagi
orang-orang kantoran atau pencari kerja saja, tetapi juga buat kamu yang sedang mencari arah
karier untuk masa depan.

Tidak hanya itu, LinkedIn juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk membangun
networking. Di LinkedIn, kamu bisa saja bertemu dengan kakak tingkat, alumni, atau
orang-orang yang sudah berpengalaman di dunia profesional. Hal ini dapat meningkatkan
peluang kamu untuk mendapatkan magang atau pekerjaan di perusahaan yang kamu
inginkan. Ini juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh salah satu informan kami,
“LinkedIn itu penting karena kita bisa banyak ketemu kakak-kakak alumni kita. Mau itu dari
sudah tahun lalu yang sudah berkecimpung di dunia professional ya, dimanapun itu, di
industri manapun”. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa untuk mencapai keberhasilan
itu semua, personal branding yang kamu bangun di LinkedIn harus sesuai realita, bukan
fatamorgana.


KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini, kita dapat memahami bahwa para informan yang merupakan mahasiswa
Ilmu Komunikasi UI menggunakan LinkedIn untuk menunjukkan siapa diri mereka dan apa
yang mereka bisa lakukan. Awalnya mungkin hanya ikut-ikutan teman atau dipaksa tugas
kuliah, tetapi lama-lama mereka sadar, LinkedIn adalah platform penting untuk menunjang
karier mereka nantinya. Informan juga memanfaatkan fitur-fitur LinkedIn, mulai dari mencari
lowongan kerja, mengukur seberapa banyak orang yang melihat profil mereka, hingga
memilih kata-kata yang tepat agar mudah dicari oleh perusahaan. Namun, ada juga tekanan
untuk terlihat “sempurna” di LinkedIn. Hal ini membuat mereka ingin menampilkan sisi
terbaiknya, meskipun terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Di balik itu semua, LinkedIn
tetap membantu para informan. Mereka mendapatkan kesempatan magang, berjejaring
dengan orang-orang penting, dan menjadi lebih percaya diri dalam membangun karier. Jadi,
untuk mereka, LinkedIn sudah seperti senjata rahasia untuk masuk ke dunia kerja.
Oleh karena itu, disarankan agar mahasiswa Ilmu Komunikasi UI lebih proaktif dalam
membangun dan mengelola personal branding di LinkedIn dengan pendekatan yang
seimbang antara profesionalisme dan keaslian diri. Fitur-fitur yang tersedia sebaiknya
dimanfaatkan dengan baik untuk menampilkan narasi diri yang relevan dengan bidang
keahlian yang diminati. Penting pula untuk meningkatkan kesadaran terhadap tekanan sosial
yang dapat timbul karena perbandingan dengan pengguna lain dan menjadikannya sebagai
motivasi untuk refleksi diri. Selain itu, institusi pendidikan, yang dalam konteks penelitian ini
adalah Departemen Ilmu Komunikasi UI, dapat memberikan pelatihan tentang optimalisasi
LinkedIn agar mahasiswa memiliki bekal yang kuat dalam mempersiapkan diri menghadapi
dunia kerja secara digital dan profesional.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *