
Sebagai penikmat film, pernahkah Anda merasa tidak nyaman ketika sedang menonton film yang menunjukan unsur-unsur ketidaksetaraan gender? Atau mungkin Anda lebih tertarik pada film yang memberdayakan perempuan dan mendobrak konstruksi sosial yang ada di masyarakat? Nah, pada artikel ini kami meneliti bagaimana mahasiswa feminis Ilmu Komunikasi UI menghadapi representasi gender dalam film. Serta, bagaimana konsep Selective Attention menjadi filtermereka dalam menyeleksi konten-konten yang relevan dengan prinsip-prinsip feminis yang mereka anut.
Mahasiswa Feminis Lebih Selektif dalam Memilih Film
Feminisme telah menjadi isu yang relevan sejak lama. Sebagai gerakan yang bertujuan melawan ketidakadilan gender dan memperjuangkan hak-hak perempuan, feminisme berupaya membuka identitas yang sering kali tertutupi oleh dominasi patriarki. Banyak tokoh perempuan telah berjuang untuk mencapai kesetaraan gender, sebuah perjuangan yang terus berlanjut hingga hari ini. Namun, kesetaraan gender tidak hanya menjadi kebutuhan bagi perempuan, karena budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan juga membuat mereka merasa terbatas.
Kini pada era persebaran dan perputaran informasi yang terjadi secara cepat, perhatian terhadap feminisme semakin meningkat, terutama di kalangan mahasiswa, yang tecermin dari meningkatnya jumlah diskusi, seminar, dan gerakan feminisme di kampus-kampus. Kesadaran feminisme ini didorong oleh berbagai faktor, seperti akses informasi yang semakin mudah melalui internet dan media sosial, serta gerakan feminisme global yang semakin vokal dalam memperjuangkan kesetaraan gender.
Mahasiswa yang terlibat dalam gerakan feminisme tersebut membawa pandangan baru terhadap dunia, termasuk dunia hiburan, khususnya film. Mereka menyadari pentingnya memilih konten yang mendukung nilai-nilai feminisme dan menantang stereotip gender. Fenomena inilah yang menjadi rumusan masalah penelitian yang kami lakukan, kami mencoba menelusuri bagaimana preferensi mahasiswa terkhusus subjek kami yaitu mahasiswa feminis Ilmu Komunikasi UI dalam menonton film? Serta, apa saja faktor yang memengaruhi preferensi mahasiswa feminis Ilmu Komunikasi UI dalam menonton film ? Kami berharap Penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada pemahaman tentang bagaimana teknologi digital mempengaruhi gerakan feminis di Indonesia
Selective Attention: Tidak Asal Pilih! Begini Cara Mahasiswa Feminis Memilih Film.
Apakah kalian tahu bahwa ada konsep komunikasi sekaligus psikologi dalam pemilihan film yang dilakukan mahasiswa yang menganut paham feminisme? Jika belum, mari kita breakdown! Jadi, menurut Lane dan Pearson (1982), Selective Attention itu seperti kemampuan kita untuk fokus hanya pada informasi yang menurut kita penting dan mengabaikan yang tidak penting. Analoginya, seperti seakan menjadi filter yang membantu kita menangkap apa yang relevan di tengah-tengah kebisingan informasi yang terus meningkat dalam kehidupan sehari-hari kita. Kemampuan Ini membantu kita memilah dan memilih apa yang perlu diperhatikan dalam berbagai situasi, lho!
Kemudian, disetujui juga oleh Treisman (1969), yang berpendapat bahwa Selective Attention adalah proses kognitif yang memungkinkan kita untuk fokus pada informasi tertentu sambil mengabaikan informasi lainnya. Jadi, ini adalah bagian penting dari cara kita memahami dunia, membantu kita menyaring hal yang tidak penting dan fokus pada yang relevan. Analoginya, seperti memilah-milah gandum dari sekam, memungkinkan kita untuk menemukan inti dari apa yang benar-benar penting di tengah-tengah banjir informasi yang tak kenal lelah.
Wah, ternyata tidak sampai di situ saja teman-teman! Johnston dan Dark (1986) juga menjelaskan bahwa Selective Attention adalah proses memilih atau mengumpulkan informasi yang dianggap penting, sementara informasi yang nggak penting diabaikan. Analoginya, seperti kita secara alami memilih apa yang perlu kita perhatikan untuk mengurangi kebingungan dan memperlancar proses pengambilan keputusan. Sampai sini, tentunya sudah paham ya makna dari Selective Attention.
Kalau kalian bertanya “tujuan dari selective attention itu apa ya selain mengabaikan informasi/hal yang tidak penting?”. Tujuannya tentu saja adalah untuk mengurangi jumlah informasi yang harus diproses, sehingga tidak bikin kita bingung saat membuat keputusan atau menghadapi situasi dengan banyak informasi. Para ahli juga menjelaskan bahwa ada dua cara Selective Attentionbekerja:
- Proses Semantik: Memilih informasi berdasarkan isi yang dianggap penting.
- Proses Spasial: Memilih informasi berdasarkan lokasi yang dianggap penting.
Dalam konteks ini, Selective Attention membantu menjelaskan bagaimana mahasiswa feminis memilih konten yang relevan dan mengabaikan konten yang nggak sesuai dengan nilai-nilai mereka. Ternyata betul saja! Nyatanya mereka cenderung memilih film atau serial yang memperkuat atau mencerminkan pandangan feminis, baik dari segi cerita, representasi gender, atau pesan yang disampaikan. Selective Attention juga menjelaskan bagaimana mereka mengelola informasi di platform streaming. Mereka lebih cenderung mengabaikan konten yang dianggap tidak mendukung pandangan mereka, dan fokus pada konten yang memperkuat identitas dan nilai-nilai feminis mereka. Jadi bagaimana? Coba renungkan apakah secara alami kalian juga cenderung mengabaikan hal tidak relevan agar fokus saat dihadapkan dengan suatu pilihan? Tentu saja! Sebagai manusia, kita secara alami cenderung menggunakan Selective Attention dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, saat kita memilih makanan di restoran, kita fokus pada menu yang sesuai dengan selera kita, sementara mengabaikan opsi yang tidak menarik. Hal ini juga berlaku saat berbelanja online atau memilih program acara di platform streaming.
Selain itu, Selective Attention juga bisa terjadi tanpa kita sadari. Misalnya, ketika kita membaca buku di kafe, kita otomatis mengabaikan suara bising di sekitar dan fokus sepenuhnya pada bacaan kita. Ini menunjukkan betapa pentingnya Selective Attention dalam memproses informasi dengan efisien dalam situasi sehari-hari.
Dengan pemahaman ini, kita bisa melihat bahwa Selective Attention bukan hanya konsep psikologis yang kompleks, tapi juga alat yang berguna dalam kehidupan kita. Dengan memahami cara kerjanya, kita bisa lebih sadar tentang bagaimana kita memilih, memproses, dan merespons informasi di sekitar kita.
Dalam konteks penelitian, pemahaman tentang selective attention juga memberikan wawasan tentang cara mahasiswa feminis memilih konten media. Hal ini membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut tentang bagaimana Selective Attention memengaruhi perilaku konsumen dalam pemilihan media dan hiburan. Dengan demikian, penelitian selanjutnya bisa memperkaya pemahaman kita tentang hubungan antara Selective Attention, preferensi media, dan nilai-nilai budaya.
Pandangan Mahasiswa Feminis Menarik untuk Ditelusuri Lebih Lanjut
Pada penelitian ini, kami berupaya mengeksplorasi pandangan mahasiswa feminis terhadap isu-isu gender yang dihadirkan dalam sebuah film. Pendekatan utama yang kami adopsi adalah melalui metode etnografi digital, yang memungkinkan kami untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai dampak feminisme terhadap preferensi film di kalangan mahasiswa feminis.
Untuk mengumpulkan data, kami mengimplementasikan dua teknik utama: wawancara dan video re-enactment. Pertama, kami melakukan wawancara dengan para partisipan penelitian, yang akan dilakukan dua kali: pertama-tama pada awal penelitian untuk mendapatkan pemahaman awal tentang pandangan mereka terhadap isu-isu gender dalam film, dan kedua pada akhir penelitian untuk mengevaluasi perubahan persepsi dan pemikiran mereka setelah melalui proses analisis yang lebih mendalam.
Selain itu, kami juga menggunakan teknik video re-enactment. Melalui simulasi, kami bertujuan untuk merekonstruksi proses seleksi yang dilakukan oleh informan sebelum mereka memutuskan untuk menonton sebuah film. Ini akan memberikan kami wawasan yang lebih jelas tentang bagaimana pandangan mereka tentang isu-isu gender memengaruhi preferensi mereka dalam memilih film untuk ditonton.
Para subjek penelitian kami adalah mahasiswa feminis dari Program Studi Ilmu Komunikasi UI. Kami secara khusus memilih empat mahasiswa dari dua angkatan yang berbeda, yakni angkatan 2021 dan 2022. Pemilihan subjek ini didasarkan pada pertimbangan untuk mendapatkan keragaman latar belakang dan pengalaman feminis dari masing-masing informan. Hal ini bertujuan agar kami dapat menggali berbagai sudut pandang yang beragam terkait isu-isu gender dalam film.
Contoh pertanyaan wawancara yang akan diajukan cenderung sederhana namun penting. Sebagai contoh: “Apa saja faktor yang memengaruhi keputusan Anda dalam memilih film?” atau “Apakah konteks kesetaraan gender memengaruhi preferensi Anda dalam memilih film?” Dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, kami berharap dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana pandangan mahasiswa feminis terhadap isu-isu gender dalam film dan apakah hal tersebut memengaruhi preferensi mereka dalam memilih film untuk ditonton.
Jenis Feminisme dan Preferensi Film Ternyata Berkaitan, Lho!
Jika kalian mengetahui feminisme hanya ada satu jenis, maka kalian salah besar. Feminisme sendiri terbagi menjadi beberapa jenis dimana memiliki fokus terhadap isu yang berbeda. Salah satu informan yang kami jumpai memiliki jenis feminisme yang mungkin jarang pembaca dengar. Informan tersebut berinisial AF (mahasiswa Ilmu Komunikasi UI angkatan 2021) menganut feminisme interseksional.
“Secara teoritis aku menganut Feminisme Interseksional. Utamanya memang sama-sama menganut feminisme itu kesetaraan gender, tapi feminisme aku melihat kesetaraan gender itu gabisa terjadi kalau semuanya ga setara (e.g. secara rasial perempuan yg berkulit hitam ga mendapat keadilan dibanding perempuan kulit putih maka dalam paham feminisme aku di situ feminisme sudah gagal). Jadi utamanya memang film yang aku suka memang pastinya yang mendukung ideologi aku sebagai feminisme interseksional.”
AF (20 tahun), Mahasiswa Ilmu Komunikasi UI angkatan 2021
Secara Selective Attention, tipe film apa yang akan menjadi perhatiannya pertama kali adalah sebuah tahapan pertama dari konsep tersebut. Tahap pertama dalam proses pemilihan film feminis dimulai ketika informan memiliki stimulus yang sama sebagai seorang feminis (dengan jenis yang berbeda tentunya), yaitu sebagai pendukung kesetaraan gender. Karena itu, mereka cenderung menjadi lebih tertarik pada film-film yang secara eksplisit mengangkat isu-isu kesetaraan gender, seperti yang diidentifikasi melalui headline di media massa. Film-film yang diketahui membahas tema-tema ini biasanya melewati tahap awal seleksi informan.
Proses Selektivitas Informan Memiliki Kesamaan yaitu Sama-Sama Menonton Review di TikTok. Siapa Disini yang Sama seperti Keempat Informan?
TikTok memang banyak memengaruhi kehidupan orang dewasa ini. Munculnya influencer yang membahas topik film turut memengaruhi keputusan penikmat setia film dalam memilih tontonannya. Penulis mendapati keempat informan yang memiliki kesamaan yaitu menonton review film sebelum benar-benar masuk lebih dalam untuk menontonnya. Alasannya simple, di tengah kesibukan kuliah yang padat, tentu informan tidak ingin membuang waktunya untuk menonton film yang tidak sesuai dengan minatnya.
Salah satu informan kami berinisial MZ (mahasiswa Ilmu Komunikasi UI angkatan 2021) mengakui bahwa dirinya dapat menghabiskan waktu lama untuk mencari film yang mau ditonton melalui review TikTok.
“Gue bisa menghabiskan waktu 30-45 menit cari film yang mau gue tonton. Biasanya gue lihat review atau kalau enggak yang lagi happening filmnya, atau yang lagi banyak dibicarain. Gue biasanya nonton dari TikTok.”
MZ (21 tahun), Mahasiswa Ilmu Komunikasi UI angkatan 2021
Secara Selective Attention, para informan masuk ke dalam tahap kedua, yakni informan menggunakan media massa sebagai sarana untuk menyaring kembali pilihan mereka. Mereka tidak hanya melihat apakah plot dan alur cerita film sesuai dengan kepercayaan mereka tentang feminisme, tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti produser, sinematografi, serta suasana hati, dan dorongan eksternal pada saat itu. Kriteria pemilihan mereka menjadi semakin khusus sesuai dengan preferensi pribadi dan pandangan feminis yang mereka anut.
Kamu Tim Mana, Mengkritisi Film yang Mengeksploitasi Gender atau Langsung Menghentikan Tontonan?
Ternyata tingkat penerimaan orang terhadap film-film yang mengandung unsur kekerasan ataupun eksploitasi terhadap salah satu gender itu beragam, lho. Ada memang yang dapat menerima dengan adegan tersebut. Namun, ada juga yang tidak kuat hingga keluar dari filmnya. Tidak ada yang salah dari dua kutub tersebut, sejatinya setiap orang memiliki preferensinya tersendiri. Dua narasumber penelitian ini yakni MZ (mahasiswa Ilmu Komunikasi UI angkatan 2021) dan CZ (mahasiswi Ilmu Komunikasi UI angkatan 2022) memiliki kesamaan yakni akan mengakhiri film jika membuat dirinya merasa tidak nyaman dengan adegan ketidaksetaraan gender.
Sementara kedua informan lainnya dalam penelitian ini yakni AF (mahasiswa Ilmu Komunikasi UI angkatan 2021) dan NC (mahasiswi Ilmu Komunikasi UI angkatan 2022) memiliki ketahanan yang lebih tinggi dimana mereka mungkin tidak akan sampai menghentikan film, namun akan mengkritisi film tersebut. Namun untuk AF sendiri memang jika sedari awal merasa tidak bisa menonton film tersebut berdasarkan hasil review, maka dirinya memilih untuk tidak menonton sama sekali.
“Tapi gue intinya kalo ada yang kayak gitu (tentang ketidaksetaraan gender) gue misuh-misuh sendiri. Gue emang nggak nyetop, tapi gue ngedumel sendiri. Gue kayak kesel dan mengkritik sendiri kenapa dibuat kayak gitu.”
NC (19 tahun), Mahasiswi Ilmu Komunikasi UI angkatan 2022
“Although aku emang suka nonton queer based film tapi aku masih bisa menonton film yang ada feminismenya tapi di saat yang bersamaan tidak in line dengan feminisme. Misalkan di series Euphoria di mana ada perempuan trans namanya Jules, tapi series itu membuat karakter dia terkena child groom dan pedofilia. Itu kan sebenarnya bukan representasi feminisme yg ideal padahal karakter-karakter di film itu sudah beragam dan merepresentasikan karakter feminisme banget. Di situ aku masih bisa menonton, tapi dengan 1 catatan, aku pasti mengkritisi sistem feminisme di film itu kyk harusnya nggak gini nih. Harusnya nggak dilakukan grooming dan pedofilia karena tidak in line dengan feminisme di mana jules adalah seorang trans.”
AF (20 tahun), Mahasiswa Ilmu Komunikasi UI angkatan 2021
Secara Selective Attention, para informan masuk ke dalam tahap ketiga, dimana informan mengevaluasi dan menilai stimulus tersebut secara keseluruhan. Jika film tersebut dianggap sesuai dengan pandangan feminis mereka dan berhasil memenuhi harapan, mereka akan melanjutkan menonton hingga selesai. Namun, jika informan merasa bahwa film tersebut tidak sesuai dengan keyakinan feminis mereka atau membuat mereka merasa tidak nyaman, mereka akan berhenti menonton dan mencari alternatif lain yang lebih sesuai dengan nilai-nilai dan pandangan mereka tentang kesetaraan gender.
Pemilihan Film : Feminisme Liberal vs Feminisme Interseksional. Kalian lebih Ke Arah yang Mana?
Ternyata, pemilihan menonton film feminis sangat dipengaruhi oleh jenis feminisme yang dianut. Ada perbedaan yang cukup mencolok lho, antara feminisme interseksional dan feminisme liberal, meskipun keduanya sama-sama mengutamakan kesetaraan gender. Jangan sampai salah ya!
Jika, feminisme liberal menekankan pentingnya kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, feminisme interseksional memperluas konsep kesetaraan ini, yakni menekankan bahwa kesetaraan juga harus berlaku antar ras dan status interseksional, bukan cuma antar gender. Perbedaan ini memengaruhi cara para penganut feminisme memilih dan menonton film.
Selain jenis feminisme, Faktor lain yang memengaruhi pemilihan film juga bisa beragam, seperti; genre, ulasan di media sosial, rekomendasi teman, hingga isi konten dari film atau serial itu sendiri. Platform streaming seperti Netflix dan Disney+ serta media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube juga ternyata memainkan peran penting dalam menyoroti isu kesetaraan gender dan feminisme, yang akhirnya memengaruhi pilihan para penganut feminisme dalam memilih film feminis.
Jadi, hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa orang memilih film feminis berdasarkan jenis feminisme yang mereka dukung, seperti Feminisme Liberal atau Interseksional. Tapi, apa artinya ini untuk penelitian selanjutnya? Tentunya dengan mengetahui perbedaan ini, kita bisa lebih mengerti mengapa orang cenderung menyukai film tertentu yang sesuai dengan pandangan mereka. Meskipun begitu, tentunya penelitian masih memiliki rekomendasi untuk penelitian selanjutnya! Yakni, membandingksn dengan perbandingan lintas budaya yang nantinya bisa memberikan wawasan baru tentang bagaimana preferensi film feminis berbeda-beda di berbagai budaya. Dengan mempertimbangkan implikasi dan rekomendasi ini, penelitian berikutnya diharapkan bisa memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana penganut feminisme memilih film feminis sebagai tontonannya.jou