Journalight

UI Journalism Studies

Feature Lifestyle

Ibadah Standar TikTok: Kontroversi di Balik Gaya Kajian Kekinian

Bogor (04/06/25)—Media sosial tak hanya mengubah cara anak muda berkomunikasi, tapi juga mempengaruhi cara mereka menjalani kehidupan beragama. Kajian yang dulunya dikenal sebagai ruang memperdalam nilai keislaman, kini berkembang menjadi bagian dari gaya hidup digital anak muda. Istilah “Ibadah Standar TikTok” pun mencuat sebagai gambaran bagaimana spiritualitas kini ikut dibentuk oleh tren dan pola konsumsi konten daring.

Fenomena Kajian Kekinian yang Semakin Populer

Perkembangan media sosial membuka ruang baru bagi anak muda untuk menjadikan aktivitas kajian sebagai bagian dari identitas sosial mereka. Kehadiran media sosial mendorong kajian tampil lebih dinamis, menarik, dan mudah dijangkau oleh siapa saja.

Dalam konteks ini, sejumlah tokoh agama muda mulai mendapatkan perhatian luas berkat pendekatan mereka yang dianggap lebih dekat dengan kehidupan anak muda.

Salah satunya adalah Ustadz Hanan Attaki (UHA), dai muda asal Aceh yang dikenal dengan gaya dakwah yang santai serta membahas topik-topik yang relevan bagi anak muda, seperti cinta, pergaulan, dan kesehatan mental.

Ia sering menggelar kajian bertajuk “Sharing Time” yang diselenggarakan oleh event organizer Ayah Amanah. Acara ini rutin diadakan di ballroom hotel-hotel besar dan berhasil menarik ribuan peserta di berbagai kota.

Kajian juga kerap dihadiri oleh artis dan influencer muda seperti Syifa Hadju dan Febby Rastanti.
(sumber: unggahan akun Instagram official @ayahamanah)

Apa Itu Ibadah Standar Tiktok?

Istilah “Ibadah Standar TikTok” muncul sebagai sindiran terhadap tren sebagian peserta kajian yang lebih memanfaatkan momen tersebut untuk menunjukkan eksistensi di media sosial dibandingkan mendalami isi kajian.

Fenomena ini terlihat dari banyaknya unggahan yang menampilkan busana syar’i, suasana acara, hingga cuplikan ceramah dengan sentuhan estetika ala TikTok, seperti video “OOTD Kajian” atau klip motivasional berbalut backsound sendu yang viral dan sering dibagikan ulang ribuan kali.

Kondisi ini memicu beragam tanggapan dari warganet, yang mengkritik tren tersebut karena berpotensi mengurangi makna ritual keagamaan menjadi sekadar konten konsumsi.

Contoh sindiran warganet soal “ibadah standar TikTok”.
(Sumber: dokumentasi pribadi, diambil dari unggahan akun TikTok @dartreith dan @hendyhilzan)

Kajian Kekinian: Kajian atau Ajang Sosial?

Fenomena kajian kekinian yang dikemas dengan visual yang modern dan menarik tidak lepas dari sorotan publik. Meski berhasil menarik minat anak muda, sebagian pihak mulai mempertanyakan apakah semangat menuntut ilmu masih menjadi tujuan utama.

Kumpulan tudingan dan kritik warganet terhadap kajian kekinian.
(Sumber: Tangkapan layar pribadi & Kompasiana.co)

Tak sedikit warganet yang menilai bahwa sebagian peserta hanya datang untuk tampil maksimal dengan pakaian terbaik, mencari pasangan, atau hanya ikut-ikutan karena tren di media sosial.

Tak hanya itu, akun Instagram @ayahamanah, yang menjadi kanal promosi utama kajian ini, juga turut menjadi sorotan karena sering menampilkan foto-foto candid peserta perempuan dengan penampilan menarik.

Namun di balik kritik tersebut, ada juga suara yang menyatakan pengalaman spiritual tidak bisa diukur hanya dari visual dan kemasan luar.

Sebagai salah satu peserta kajian yang pernah hadir sebanyak dua kali, Khalisa justru menyayangkan berbagai kritik yang muncul. Baginya, tidak ada salahnya jika seseorang mengikuti kajian karena tren, sebab pada dasarnya hal itu merupakan hal positif.

“Menurutku gaada salahnya untuk FOMO dalam hal kebaikan. Kajiannya juga gak cuma bahas cinta-cintaan aja, kok. Apalagi soal outfit, mungkin itu memang ikhtiar atau usaha jamaah untuk memakai baju terbaiknya. bingung juga sih salahnya dimana…,” Ujar Khalisah saat ditemui pada (30/05/25).

Ia juga menambahkan bahwa meskipun sebagian peserta merekam kajian, suasana kajian tetap kondusif karena rekaman yang dilakukan peserta hanya berlangsung sesaat di awal, sehingga fokus dan ketenangan acara tetap terjaga.

Dituding Dangkal dan Komersil

Kritik berikutnya datang dari topik dan kedalaman materi kajian. Sebagian menilai isi kajian terkesan terlalu ringan karena sering mengangkat tema cinta dan jodoh, sementara sebagian lainnya mempertanyakan alasan di balik format kajian yang berbayar.

Penulis M. Afiqul Adib, dalam artikel di Mojok.co mengungkapkan:

“Saya cukup asing dengan kajian agama yang berbayar. Di desa saya, pengajian itu gratis, meskipun dengan konsumsi seadanya.” tulisnya dalam opini yang diterbitkan Mojok.co, (06/10/24).

Di sisi lain, pengguna TikTok @lsmailldris melalui unggahannya pada (20/05/25) menyuarakan kekhawatiran terhadap aspek komersialisasi dan visualisasi dalam kajian semacam ini. 

Ia menilai bahwa panitia kerap menaikkan harga tiket secara berlebihan, menghadirkan influencer dakwah yang belum matang secara keilmuan sebagai wajah promosi, serta mengemas dakwah menjadi event eksklusif yang lebih menjual sensasi daripada nilai-nilai Islam.

“Yang dijual bukanlah ilmu, melainkan gaya hidup religius yang instan dan sedang tren di kalangan muda,” tulis @lsmailldris melalui unggahan di TikTok, (04/05/25).

Kritik-kritik ini membuka diskusi lebih luas tentang apakah dakwah modern perlu dikemas layaknya produk hiburan agar menarik perhatian generasi muda, ataukah justru harus menjaga esensi keagamaan yang lebih mendalam dan sakral.

Ustadz Hanan Attaki: Fokus pada Kehidupan Sehari-hari

Menanggapi kritik terhadap topik kajian yang dinilai terlalu ringan dan bertema cinta-cintaan, Ustadz Hanan Attaki memberikan penjelasan lewat sebuah video yang diunggah oleh EO resmi penyelenggara kajian, Ayah Amanah. Ia menjelaskan bahwa setiap dai memiliki pendekatan dakwah yang berbeda, disesuaikan dengan karakter serta kebutuhan jamaah.

Cuplikan tanggapan Ustadz Hanaan Attaki terkait tudingan kajian bertema cinta yang kontoversial. 
(Sumber: Tiktok @am.event Instagram @ayah_amanah)

Kajian Berbayar: Sekadar Komersialisasi atau Kebutuhan Operasional?

Meski ada stigma negatif terhadap kajian berbayar, tidak semua pihak memandangnya secara negatif. Ustadz Khalid Basalamah, Lc., M.A, dalam kanal YouTube Muslim Creative Media menjelaskan bahwa kajian berbayar dapat dibenarkan jika untuk menutup kebutuhan operasional.

“Kalau kajian di masjid kita sepakat gratis, tapi dalam beberapa kondisi seperti dauroh atau seminar yang memerlukan biaya sewa hotel atau ballroom, biaya berbayar itu diperuntukkan untuk hal tersebut. Hal ini diperbolehkan karena tujuannya untuk syiar dan bersifat positif.” ujar Ustadz Khalid Basalamah melalui video di kanal YouTube Muslim Creative Media, (10/02/25).

Lebih lanjut, Saat dikonfirmasi pada Jumat (23/05/25), Ayah Amanah, penyelenggara resmi kajian terkait, menjelaskan bahwa tiket yang dijual sudah termasuk fasilitas seperti akses kajian di ballroom, e-sertifikat, blok note, pulpen, dan air mineral.

Bukan Satu-satunya Jalan, Tapi Bisa Jadi Gerbang Awal

Bagi banyak orang, justru kajian semacam inilah yang menjadi titik tolak untuk mengenal Islam lebih jauh. Akbar Rayhan Sulaeman, salah satu konten kreator Muslim di TikTok, mengakui bahwa proses hijrahnya dimulai dari mengikuti kajian populer yang berbayar.

“Kalau saat itu saya tidak memulainya, mungkin sampai hari ini saya belum menginjakkan kaki untuk mengenal Islam lebih jauh, mengenal sunnah, bahkan benar-benar keliru,” tulis Akbar melalui unggahannya di Tiktok pada (02/03/25).

Dukungan dari Tokoh Agama

Tak hanya itu, dukungan pun datang dari berbagai tokoh agama. Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU), KH Abdullah Syamsul Arifin (Gus Aab), mengapresiasi potensi dakwah yang menyasar kalangan muda. 

“Saya melihat Ustadz Hanan Attaki sangat potensial sebagai dai yang memiliki banyak pengikut di media sosial, dan dakwah beliau menyasar kalangan milenial yang cukup banyak meminati.” ujar Gus Aab kepada Republika.co.id, (13/05/2023).

Sementara itu, Ustadz Mahardika, pembina Gerakan Dakwah Muda Bogor, menyatakan bahwa proses hijrah adalah perjalanan yang bertahap dan pendekatan yang ringan memang dibutuhkan bagi mereka yang baru mulai belajar tentang islam.

“Pendekatan yang ringan memang dibutuhkan untuk kalangan yang baru mulai belajar. Dakwah itu bertahap. Kita tidak bisa paksa semua orang langsung terjun ke materi akidah yang berat. Yang penting semangatnya terus tumbuh,” ujar Ustadz Mahardika, dalam wawancara pada (02/06/23).

Dari Estetika Menuju Esensi

Fenomena kajian kekinian dan tren “Ibadah Standar TikTok” menunjukkan bahwa spiritualitas kini berjalan seiring dengan budaya digital. 

Di satu sisi, pendekatan visual dan gaya kekinian mampu menjangkau audiens baru dan membuka pintu untuk pemahaman Islam yang lebih dalam. Di sisi lain, kekhawatiran soal komersialisasi dan dangkalnya substansi menjadi pengingat pentingnya menjaga keseimbangan antara kemasan dan esensi.

Pada akhirnya, keberagamaan di era digital tidak bisa dinilai dari tampilan luar semata. Setiap individu memiliki proses spiritualnya masing-masing. Alih-alih saling menyalahkan, kini saatnya kita mulai membuka ruang untuk saling memahami.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *