
Blok M kini telah menjadi salah satu destinasi wisata paling populer di kalangan anak muda khususnya Gen Z.Popularitas ini tentu terjadi bukan tanpa alasan. Semenjak revitalisasi, Blok M tidak lagi dikenal sebagai pusat perbelanjaan lama Jakarta, melainkan telah bertransformasi menjadi ruang berkumpul yang “hits”bagi anak muda alias Gen Z.
Blok M mampu menawarkan kombinasi yang sulit untuk diabaikan. Akses transportasi yang mudah dari berbagai daerah, berbagai pilihan tempat nongkrong, tempat kuliner yang berdekatan dan bahkan bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Kulinernya, mulai dari makanan berat, minuman kekinian, hingga dessertviral, semuanya hadir dalam satu kawasan yang sama dan terus bertambah. Hal ini membuat orang-orang yang datang ke Blok M untuk satu tujuan saja seringkali berakhir pada beberapa tujuan pemberhentian lainnya.
Dengan itu, timbul suatu pertanyaan menarik, apakah uang Rp100.000 yang sebenarnya merupakan nominal cukup besar, akan terasa cepat habis jika berkunjung ke Blok M? Lalu, bagaimana sebenarnya nilai uang Rp100.000 digunakan oleh Gen Z saat berkunjung ke Blok M?
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok usia 40–44 tahun memiliki rata-rata pendapatan tertinggi, yaitu sekitar Rp3.700.000 per bulan. Sementara itu, pendapatan terendah terdapat pada kelompok Gen Z usia 15–19 tahun dengan rata-rata pendapatan sekitar Rp2.300.000 per bulan. Kelompok dengan pendapatan terendah kedua juga masih berasal dari Gen Z, yakni rentang usia 20–24 tahun dengan pendapatan sekitar Rp2.900.000 per bulan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saat ini Gen Z merupakan kelompok generasi dengan tingkat pendapatan paling rendahdibandingkan kelompok usia lainnya.
Berangkat dari data tersebut, tim kemudian melakukan wawancara bersama dengan 4 Gen Z yang aktif mengunjungi Blok M untuk memahami lebih jauh berapa pendapatan bulanan mereka dan bagaimana uang tersebut dihabiskan saat berkunjung ke Blok M.

Narasumber S ketika ditanyakan terkait kunjungannya berapa kali dalam sebulan ke Blok M.
“Sebulan tuh sebenarnya tergantung, kalo liburan, tuh biasanya aku bisa tiga sampai empat kali, bahkan pernah waktu itu aku ke Blok M lima kali dalam sebulan. Tapi kalau misalnya kayak hari-hari udah masuk kuliah gitu minimal sebulan tuh kayak sekali atau dua kali gitu.”
Dari hasil keempat wawancara menunjukkan bahwa Blok M bukan sekadar destinasi sesekali. Mereka bisa datang ke Blok M sebanyak 2-4 kali dalam sebulan.

Narasumber S dan S ketika ditanyakan terkait pemasukannya dalam sebulan.
“Kalau rangenya sih Rp1.500.000 sampai Rp2.000.000/bulan, dan dari uang jajan itu pengeluaran dalam sebulan sekitar kayaknya bisa satu jutaan lah ya.”
“Rp3.000.000, pengeluaran sama”
Dari sisi pemasukan, narasumber rata-rata memiliki pendapatan sekitar Rp3.000.000 per bulan.

Narasumber C dan R ketika ditanyakan terkait berapa uang jajan yang dihabiskan sekali berkunjung ke Blok M.
“Biasanya nyiapin minimal Rp500.000, sih, tapi itu udah kayak mencakup semuanya, kayak transportasi, dan emergency, dan lain lain.”
“Rp300.000 buat aman bcos me a muncher, dan biasanya kakak-kakak pada nitip makanan”
Dalam satu kunjungan ke Blok M, mereka rata-rata menghabiskan Rp200.000 hingga Rp300.000.
Jika dikalkulasikan, dengan intensitas kunjungan 2–4 kali per bulan, total pengeluaran mereka di Blok M bisa mencapai Rp600.000 hingga Rp1.200.000 per bulan. Artinya, hampir setengah dari pendapatan bulanan mereka habis hanya untuk aktivitas di Blok M. Berdasarkan pengakuan narasumber, pengeluaran tersebut belum termasuk kebutuhan harian lain seperti transportasi, makan sehari-hari, hingga pengeluaran rutin lainnya
Temuan ini menunjukkan bahwa pengeluaran Gen Z di Blok M tergolong cukup besar, bahkan melampaui uang Rp100.000 yang dibahas pada awal artikel ini. Di tengah pendapatan mereka yang relatif terbatas, Blok M tetap menjadi magnet yang sulit ditinggalkan. Lalu, apa sebenarnya yang membuat Gen Z terus datang, berkali-kali, dan rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit di kawasan ini?
Salah satu faktor utama yang menjelaskan tingginya minat Gen Z terhadap Blok M adalah kemudahan akses transportasi umum. Kawasan ini terhubung dengan berbagai moda transportasi, menjadikannya mudah dijangkaudari banyak titik di wilayah Jabodetabek.
Berdasarkan visualisasi rute menuju Blok M, terlihat bahwa kawasan ini menawarkan beragam pilihan transportasi dari berbagai wilayah, mulai dari Bogor, Alam Sutera, hingga Rangkasbitung. Moda yang tersedia pun beragam, seperti TransJakarta, KRL, MRT, hingga JakLingko. Dari seluruh opsi tersebut, TransJakarta menjadi moda yang paling banyak rutenya, dengan total 23 rute yang mengarah ke Blok M.
Kemudahan akses ini semakin diperkuat oleh tata kawasan yang mendukung mobilitas pejalan kaki. Jarak antara titik pemberhentian transportasi, seperti stasiun, halte, dan terminal, dengan area kuliner di sekitar Blok M relatif dekat. Kondisi ini membuat Blok M terasa ramah bagi pejalan kaki dan memudahkan pengunjunguntuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa perlu membawa kendaraan.

Salah satu narasumber mengungkapkan bahwa Blok M menjadi pilihannya karena kemudahan akses transportasi umum, terutama MRT. Faktor inilah yang menjadi daya tarik utama dan mendorongnya untuk terus kembali ke Blok M.
Selain kemudahan akses transportasi, daya tarik lain yang membuat kawasan Blok M terus ramai dikunjungi adalah beragamnya pilihan kuliner. Visualisasi peta diatas menunjukkan persebaran tempat kuliner di Blok M. Terdapat 52 titik kuliner yang jaraknya sangat berdekatan, dengan jarak antar lokasi rata-rata hanya sekitar 200 hingga 400 meter. Jarak yang relatif dekat ini membuat kawasan Blok M terasa sangat ramah bagi pejalan kaki.

Narasumber C ketika ditanyakan terkait alasan pergi ke Blok M
“Sebenernya kayak karena udah kenal aja sih sama tempatnya, dan dia juga kayak banyak spot, gak cuma satu gitu spot buat nongkrong, ngumpul-ngumpul gitu, jadi kayak lebih betah aja sih di.. Blok.. M, dan dia juga ada ditengah gitu, kayak dijaksel, jadi kadang tuh titik yang paling tengah itu Blok M”
Banyaknya tempat yang dapat dikunjungi secara berdekatan menjadi salah satu alasan utama narasumber untuk datang ke Blok M. Deretan tempat makan viralyang terus bertambah membuat pengunjung tidak akan pernah kehabisan pilihan.Tanpa disadari, aktivitas berjalan sambil “melihat-lihat” mendorong orang-orang yang datang untuk mencoba berbagai tempat yang dilihat. Pola inilah yang secara perlahan membuat pengunjung menghabiskan lebih banyak uang setiap kali berkunjung ke Blok M.

Keempat narasumber juga menyebutkan memiliki setidaknya tiga tempat favorit yang mereka kunjungi setiap kali datang ke Blok M, sehingga kecil kemungkinan mereka hanya singgah di satu tempat tiap ke Blok M.
Jika dilihat dari data di atas, kisaran harga yang paling umum di Blok M berada di rentang Rp50.000 hingga Rp75.000 per menu. Dengan standar harga tersebut, tidak mengherankan jika para narasumber dapat menghabiskan lebih dari Rp100.000 hanya untuk jajan di tiga tempat berbeda. Dalam konteks ini, uang sebesar Rp100.000 rasanya akan cepat habis saat berkunjung ke Blok M. Untuk standar makanan harian di DKI Jakarta, angka tersebut jelas tergolong cukup tinggi karena bagi sebagian orang bisa setara dengan biaya makan untuk beberapa hari.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pengeluaran makanan per bulan di DKI Jakarta tercatat sekitar Rp1.100.000, atau setara dengan kurang lebih Rp36.000 per hari. Jika angka ini dijadikan acuan, satu kali kunjungan ke Blok M saja sudah dapat menghabiskan jatah makan harian tersebut. Bahkan, ketika pengunjung mencoba lebih dari satu tempat, total pengeluaran tentu akan jauh lebih besar.
Namun, tingginya harga makanan di Blok M tidak semata-mata disebabkan oleh pola konsumsi Gen Z. Faktor struktural seperti inflasi juga turut berperan.
Berdasarkan grafik di atas yang merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi bahan makanan di Indonesia pada periode November 2024 hingga November 2025 berada di kisaran 4%. Kenaikan ini secara langsung memengaruhi harga bahan pangan.
Peningkatan harga bahan pangan tersebut turut memengaruhi pelaku usaha kuliner, termasuk pelaku usaha kuliner di Blok M. Untuk menjaga keberlangsungan usaha mereka, para pelaku usaha harus menyesuaikan harga jual kepada konsumen.
Inflasi menjadi salah satu faktor kunci yang mendorong kenaikan harga makanan dari waktu ke waktu. Di sisi lain, gaya konsumsi Gen Z yang gemar mencoba banyak tempat dalam satu kunjungan turut memperbesar total pengeluaran saat berada di Blok M.
Lantas, apakah uang Rp100.000 terasa cepat habis di Blok M? Jawabannya: ya. Cukup dengan satu kunjungan saja mampu menghabiskan dua hingga tiga kali lipat dari nominal tersebut. Temuan ini menunjukkan bahwa Rp100.000 bukan lagi jumlah yang besar saat berkunjung ke kawasan Blok M, yang kini telah bertransformasi menjadi destinasi pilihan tiap akhir pekan favorit anak muda Jakarta.
Meski begitu, tingginya pengeluaran di Blok M bukanlah hasil dari keputusan konsumsi yang murni irasional. Berbagai faktor turut berperan dibaliknya, mulai dari inflasi, desain kawasannya yang mendorong eksplorasi, hingga dorongan gaya hidup perkotaan yang mendukung perilaku konsumtif tersebut. Kondisi ini menjadi dilema tersendiri bagi anak muda, khususnya Gen Z. Dengan purchasing power yang terbatas yaitu pendapatan rata-rata di bawah generasi lainnya, Blok M tetap menjadi magnet yang sulit ditolak. Kalau kamu, bagaimana? tertarik untuk berkunjung ke Blok M hanya dengan uang Rp100.000?


