Journalight

UI Journalism Studies

Opinion

Budaya Trinket di Era Pop-Up Market: Refleksi Identitas dan Koneksi Mahasiswa di Era Baru

Depok (03/06) – Bukan sekadar gantungan kunci atau pin lucu. Bagi banyak mahasiswa Jakarta, trinket telah menjelma menjadi medium ekspresi diri dan penanda keterikatan emosional dengan komunitas. Di tengah maraknya pop-up market pasca-pandemi, budaya mengoleksi benda kecil ini tumbuh menjadi fenomena sosial yang mencerminkan identitas dan koneksi antargenerasi muda.

Apa itu Pop-Up Market?

Pop-up market adalah sebuah pasar atau bazar yang bersifat sementara, biasanya diadakan dalam waktu singkat di lokasi tertentu. Menurut pandangan Monata sebagai mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Pengkajian & Penciptaan Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pop-up market adalah sebuah ruang alternatif mendukung perkembangan brand karya wirausahawan Indonesia.

Pop-up market selalu mengusung tema unik dan memberi perhatian khusus dalam proses kurasi brand. Dikutip dari umkmindonesia.id, keberadaan pop-up store juga menciptakan keadaan eksklusivitas, karena kehadirannya bersifat sementara, sehingga menciptakan rasa urgensi di antara konsumen untuk mengunjungi dan berpartisipasi dalam pengalaman yang unik dan terbatas.

Sumber Video: Akun Instagram @at.tomoland, @artket.id, @trinkieland.

Pop-Up Market sebagai Panggung Utama Trinket

Melalui Pop-Up Market, para pelaku kreatif dapat memamerkan karya mereka yang beragam, mulai dari gantungan kunci, stiker, hingga miniatur dengan sentuhan estetika personal yang disebut sebagai trinket. Popularitas trinket yang terus meningkat ini juga didorong oleh tren personalisasi barang sehari-hari, sehingga pasar menjadi semakin hidup dan dinamis. 

Berbagai pop-up market kini menjadi panggung utama bagi perkembangan trinket di Indonesia, khususnya di Jakarta. Acara ini menghadirkan berbagai koleksi yang dirancang oleh ilustrator muda, menjadikannya tempat berkumpulnya para kreator dan kolektor. Tidak hanya menjual produk lokal, pop-up marketjuga menghadirkan pelaku usaha lokal yang menyediakan jasa titip trinket dari luar negeri. Fenomena ini memungkinkan pengunjung untuk mendapatkan berbagai barang limited edition

Trinkets sebagai Suatu Simbolisme di Kalangan Mahasiswa Urban

I really see it as an expression sih. Kadang barang yang aku suka itu karena mirip sama aku aja.

aliya, mahasiswa semester 7 ilmu komunikasi ui

Di tengah hiruk pikuk kehidupan mahasiswa urban, trinket muncul sebagai simbol kecil yang sarat makna. Bagi Aliya, mahasiswa yang gemar mengoleksi trinket dari berbagai pop-up market, benda-benda mungil itu bukan sekadar aksesori, melainkan ekspresi diri, kenangan, dan bentuk dukungan terhadap pelaku usaha lokal.

Ia sering melihat tren dan inspirasi seputar trinket di media sosial, yang semakin memperkuat keinginannya untuk terus mencari dan mengoleksi barang-barang unik. Media sosial pun menjadi ruang bagi Aliya dan banyak mahasiswa lain untuk terhubung dengan komunitas pencinta trinket yang terbentuk melalui algoritma.

Di pop-up market, aku ngerasa setiap trinket itu punya cerita dan nggak pasaran,” ujarnya.

Pengalaman membeli trinket bukan sekadar transaksi, tetapi proses eksplorasi personal yang penuh pertimbangan.

Aliya mengaku senang berburu benda unik di bazaar. Ia biasanya berkeliling dahulu, memotret barang-barang yang menarik sebelum memutuskan pilihan.

Kadang aku concern juga karena boros,” tuturnya, “tapi juga takut kalau barang incaranku diambil orang.

Proses ini mencerminkan bagaimana trinket diperlakukan seperti benda istimewa yang layak dipilih dengan hati-hati, bukan impulsif. Lebih dari sekadar desain, trinket juga menjadi perpanjangan kepribadian. Aliya menyukai karakter-karakter tertentu karena merasa itu mencerminkan dirinya. Ia merasa trinket dapat menunjukkan selera pribadi dan sisi unik yang ingin ia tunjukkan ke dunia.

Mungkin I want to be seen by this trinkets juga kali ya,” tambahnya.

Trinket juga menjadi media yang mengikat relasi sosial. Salah satu benda favorit Aliya adalah pajangan yang diberikan temannya saat ulang tahun.

Smiski, figur kecil yang menyala dalam gelap dan bisa ditempel di casing ponsel, populer di kalangan anak muda urban sebagai pelengkap personalisasi gadget. Di belakangnya, tampak karakter Hirono dirancang oleh seniman Jepang Lang.

Aku pernah cerita kalau aku mau banget Smiski dan Hirono karena lucu. Terus tiba-tiba dikirimin pas ulang tahun. It’s my wishlist,” kenangnya. Bagi Aliya, hadiah kecil itu menjadi pengingat bahwa perhatian teman bisa terwujud dalam bentuk yang sangat personal.

Pop-up market juga berkontribusi dalam pengalaman seperti ini. Di sana, Aliya merasa lebih terhubung dengan karya dan kreatornya. “Aku enjoy the experience of exploring,” katanya. Ia senang bisa melihat langsung produk hand made, mendengar cerita pembuatannya, dan kadang mendapatkan bonus kecil yang membuat pengalaman jadi tak terlupakan. Semua itu menjadikan trinket lebih dari sekadar benda mereka menjadi penanda emosi, relasi, dan identitas.

Ketika Ekspresi Personal Bertemu dengan Gaya Hidup Konsumeris

Menurut pandangan Sefira Rachma Julia, etc di penelitiannya berjudul Analisis persepsi Generasi Z terhadap pembelian pakaian bekas pada sosial media di Indonesia Gen Z cenderung memilih produk yang berbeda untuk menonjolkan karakter dan gaya hidup mereka.

Hal ini juga didorong sesuai dengan riset terbaru dari Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) yang menunjukkan bahwa Generasi Z di Asia Pasifik terdorong berbelanja oleh konten TikTok. Dalam era media sosial yang semakin dominan, kebutuhan mereka mengekspresikan identitas personal lewat barang unik pun terus meningkat.

Aliya, seorang mahasiswa urban, memandang trinket seperti gantungan kunci, pin, dan aksesoris hand made bukan sekadar barang koleksi, melainkan medium penting untuk menunjukkan keunikan dan selera pribadinya. Hal ini selaras dengan penelitian oleh Irdiana menguatkan bahwa konsumsi barang-barang kecil ini berperan sebagai representasi gaya hidup dan karakter individu.

Hal Lainnya, Trinket Lebih dari Itu: Membangun Komunitas Lewat Trinket

Setelah melihat bagaimana trinket menjadi medium ekspresi dan simbol hubungan sosial di kalangan mahasiswa sebagai pembeli, tak kalah penting untuk memahami sisi lain dari fenomena ini, yaitu pelaku kreatif yang membuat dan menjual trinket tersebut.

Ternyata, pengalaman mereka tidak hanya berkutat pada aspek ekonomi semata, tetapi juga pada proses membangun relasi dan komunitas yang erat di antara sesama mahasiswa. Melalui pop-up marketsebagai panggung utama, mereka menyulap minat personal menjadi usaha dengan nilai emosional dan kebersamaan.

Aku beneran konsepin supaya keychainku cocok jadi gift sih jadi org banyak yg beli buat kasih ke sahabatan, pacar, atau htsnya.. Jujur, butuh duit terus kebetulan aku ngeliat potensi ekonomi dari hal yang aku suka alias ikan” – Dendi, Alumni FISIP UI 2024

Dendi bersama temannya sudah memulai usaha trinket sejak semester akhirnya. Hal ini bermula dari kebutuhan ekonomi sekaligus kecintaan pribadi terhadap tema ikan, yang menjadi ciri khas produknya. Berjualan di pop-up market pun berawal dari relasi sosial, saat teman-temannya mengajak ikut event, dan ternyata responsnya sangat positif sehingga membuatnya terus terlibat.

Aku buka tenants di pop-up market karena relasi aja ada teman mahasiswaku bikin event jadi aku ikutan, eh ternyata rame jadi ikutan terus deh. Seruu juga, aku nambah teman karena pop-up market” ujarnya.

Ia juga menilai, usaha trinket ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga medium ekspresi personal yang sangat kental.

Aku treat akun jualanku sangat personal, sering share video random supaya relasi sama customer terasa dekat,” katanya.

Sumber Video: Konten Reels Instagram @machu.picchu.id

Interaksi langsung dengan pembeli di pop-up market memberi pengalaman emosional yang berharga bagi Dendi. Ia mengaku senang bisa menambah teman dan membangun komunitas lewat kegiatan ini. Mengenai masa depan budaya trinket, Dendi cukup realistis. Ia melihat tren ini mungkin tidak bertahan lama, tetapi baginya pop-up markettetap menjadi ruang kreatif yang penting bagi mahasiswa sebagai pelaku usaha maupun konsumen.

Kesimpulannya..

Pop-up market dan budaya mengoleksi trinkets berperan sebagai ruang yang vital, tidak hanya alat untuk berjalannya ekonomi, tetapi juga berpotensi untuk perkembangan kreativitas di kalangan mahasiswa.

Catatan: Dalam penulisan artikel ini, penulis menggunakan teknologi Artificial Intelligence berupa AI Chat GPT sebagai alat bantu untuk brainstorming ide, mengoreksi kesalahan ketik, dan mereparafrase kalimat.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *