Journalight

UI Journalism Studies

Opinion

Thrifting sebagai Gaya Hidup: Ekspresi Diri sekaligus Solusi Fashion Berkelanjutan

Penjualan baju bekas atau thrifting di Depok Town Square. Toko thrifting ini berlokasi tepat di samping gerai merek fesyen industri besar. Foto: Maudya Endah

Tren belanja barang bekas atau thrifting menunjukkan peningkatan signifikan di Indonesia. Salah satu pendorong utamanya adalah meningkatnya kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap isu keberlanjutan dalam industri fesyen.

Hal ini tercermin dalam hasil survei Goodstats pada tahun 2022 mengenai preferensi fesyen anak muda Indonesia, yang mencatat bahwa sebanyak 49,4 persen responden mengaku pernah membeli pakaian bekas melalui aktivitas thrifting. Ini menunjukkan besarnya ketertarikan generasi muda terhadap tren thrifting.

Sejarah Thrifting

Sebelum menjadi tren seperti sekarang, praktik thrifting memiliki sejarah panjang yang menarik. Dilansir dari The State Press, praktik ini telah berlangsung sejak Abad Pertengahan. Di zaman tersebut, pakaian yang sudah digunakan dan masih dianggap bernilai akan diwariskan dan dipertukarkan antarindividu.

Kata “thrift” sendiri berasal dari Bahasa Inggris Pertengahan yang berarti berkembang, makmur, atau berhemat. Istilah ini menunjukkan bahwa kebiasaan berhemat bukan sebagai tanda keterpaksaan, tetapi cara bijak dalam menggunakan sumber daya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Ketelatenan menjadi kunci mendapatkan pakaian terbaik. Butuh kesabaran dan mata yang jeli untuk memilih barang dengan kualitas terbaik, dari kondisi jahitan hingga bahan yang masih layak pakai. Foto: Kompas/Fajar Ramadhan

Kegiatan ini muncul akibat respon dari berbagai komunitas yang mencari cara untuk mendapatkan barang yang mereka butuhkan tanpa harus membayar dengan harga penuh. Thriftingmenjadi tren yang semakin populer dan menjadi gaya hidup yang mengedepankan keberlanjutan.

Di Indonesia sendiri, tren thrifting telah ada sejak lama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Feby Febriyadi Nur Rizka, aktivitas thrifting mulai berkembang di Kota Bandung pada tahun 1990 hingga 2000-an.

Saat ini, thrifting tidak lagi sekadar menjadi pilihan ekonomis. Banyak pencinta barang bekas merasakan kepuasan tersendiri ketika menemukan item unik, vintage, atau langka yang sulit dijumpai di e-commercemaupun media sosial, seperti TikTok dan Instagram.

Gen Z Jadikan Thrifting sebagai Ekspresi Diri dan Pilihan Berkelanjutan

Menariknya, tren ini semakin diminati oleh kalangan Generasi Z (Gen Z) pasca pandemi COVID-19. Selain pertimbangan harga yang lebih terjangkau, banyak dari mereka mulai sadar akan dampak lingkungan dari industri fesyen. 

Kaum muda, terutama Gen Z, menjadi generasi paling aktif mengadopsi tren thrifting. Mereka melihatnya sebagai cara efektif untuk memperpanjang masa pakai pakaian sekaligus mengurangi produksi baru yang menyebabkan limbah tekstil dan emisi karbon dalam industri fesyen.

Barang bekas jadi pilihan gaya khas Gen Z. Mereka melirik barang bekas sebagai pilihan gaya yang lebih personal dan bermakna. Foto: Maudya Endah

Tren ini juga sering dianggap sebagai alternatif untuk mengatasi isu konsumerisme yang disebabkan oleh industri fast fashion. Apalagi, beberapa merek fesyen global ternama, seperti Zara, Uniqlo, Nike, dan merek lainnya yang kerap dikritik karena dugaan praktik eksploitasi pekerja serta strategi greenwashingdemi mempertahankan citra ramah lingkungan.

Bagi Gen Z, fesyen bukan lagi hanya sekadar cara berpakaian, melainkan bentuk ekspresi diri yang mencerminkan identitas dan nilai personal. Thrifting memberikan kesempatan bagi mereka untuk menemukan pakaian dan aksesoris yang unik dan anti-mainstream, yang tidak akan ditemukan di toko konvensional. 

Melalui tren ini, Gen Z tidak lagi terikat pada tren atau standar global yang ditetapkan oleh industri fesyen besar. Mereka dapat secara bebas menciptakan gaya mereka sendiri yang mencerminkan identitas dan kreativitas masing-masing secara bebas.

Terdapat Pergeseran Pasar Barang Bekas dengan Munculnya Bazar Tematik Kekinian

Seiring meningkatnya popularitas tren thrifting di kalangan Gen Z, aktivitas ini kini berkembang menjadi fenomena sosial yang menghadirkan berbagai bazar kekinian yang menjual barang bekas layak pakai,seperti 2000s Market, Pasar Kol, Slow Move Bazaar, dan masih banyak lagi.

Bazar-bazar ini umumnya digelar selama beberapa hari dan di lokasi tertentu. Setiap bazar pun biasanya mempunyai tema khusus, seperti 2000s Market yang mengkurasi pakaian era 2000-an, atau Pasar Kol yang fokus pada barang preloved milik artis.

Bazar thrifting modern dengan konsep Y2K menghadirkan kembali gaya khas tahun 2000-an. Koleksi fashion yang ditawarkan unik dan membawa nuansa nostalgia bagi para penggemar tren vintage. Foto: Salsabila Taqy

Untuk meningkatkan kesadaran di kalangan generasi muda terhadap bazar ini, biasanya penyelenggara akan secara rutin melakukan publikasi di media sosial. Promosi tersebut sering didukung oleh kolaborasi dengan key opinion leader (KOL), yang berperan untuk menjangkau konsumen sekaligus meningkatkan minat partisipasi.

Dampak Ganda Tren Thrifting: Dari Risiko Kesehatan hingga Tantangan bagi Industri Lokal

Maraknya tren thrifting hingga terjadi pergeseran pola pasar ternyata tidak lepas dari dampak negatif. Meski aktivitas ini membawa berbagai keuntungan, seperti pengurangan limbah dan peningkatan kesadaran akan gaya hidup berkelanjutan, tidak sedikit juga tantangan dan masalah yang muncul.

Thrifting memberikan efek yang buruk bagi kesehatan karena dijual dengan kondisi bekas. Banyak yang terkena penyakit kulit,” kata seorang perempuan muda yang menyampaikan kekhawatirannya terhadap tren thrifting.

Saat mencoba pakaian di toko, risiko penyebaran infeksi bisa meningkat. Kita tidak pernah tahu apakah orang sebelumnya yang mempunyai pakaian tersebut sedang dalam kondisi sehat atau tidak.

Pakaian bekas juga umumnya disimpan di gudang dalam waktu lama. Kondisi ini bisa memicu pertumbuhan jamur atau kuman baru, yang bukan berasal dari pemilik sebelumnya.

“Selain itu, (thrifting) dapat merugikan industri lokal dan serta UMKM,” tambahnya lagi.

Ketergantungan terhadap pakaian bekas impor memang dapat menurunkan daya saing produk dalam negeri. Hal ini juga berdampak langsung pada turunnya pendapatan merek lokal dan melemahnya keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor tekstil. 

Dalam jangka panjang, perusahaan tekstil berskala besar pun akan terancam untuk melakukan efisiensi, termasuk pengurangan karyawan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).

Namun, bagi sebagian orang aktivitas ini justru menjadi solusi untuk mengurangi frekuensi belanja pakaian baru. Mereka menganggap pakaian bekas sebagai pilihan karena memiliki desain yang timeless dan tidak mudah ketinggalan zaman.

Thrifting menjadi pilihan kegiatan saat hangout bersama teman-teman. Hal ini menjadi pengalaman seru yang berbeda dari sekadar nongkrong biasa. Foto: Maudya Endah

“Suka thrifting karena baju-bajunya itu timeless gitu loh, yang bisa dipake dalam jangka waktu lama. Gak kaya baju fast fashion yang trennya terus berkembang,” ujar Aurel, seorang mahasiswa yang mulai tertarik dengan thrifting sejak beberapa tahun lalu.

Dengan aktivitas atau tren thrifting ini, masyarakat tidak perlu sering membeli pakaian baru. Selain bisa menghemat pengeluaran, kebiasaan ini juga membantu mengurangi limbah tekstil yang terus menumpuk akibat budaya fast fashion.

Tren ini pun secara tidak langsung mendorong gaya hidup yang lebih ramah lingkungan dan bertanggung jawab dalam memilih pakaian.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *