Journalight

UI Journalism Studies

Research

Analisis Peer Communication Mahasiswa dalam Kegiatan Merokok di Kampus

Penulis: Diandra Adjani Paruntu, Gedavi Hamallas, Ilma Rayhana, Rafi Abid Wibisono, Yoga Al Kemal


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana mahasiswa memaknai peer communication terhadap kebiasaan merokok mereka di lingkungan kampus, dengan fokus pada kantin Takor, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan paradigma interpretatif. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara semi-terstruktur, dan analisis dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peer communication memiliki peran yang signifikan dalam membentuk norma sosial terkait merokok di area kampus yang seharusnya bebas dari asap rokok. Teknik analisis data yang digunakan adalah explanation building yang memungkinkan peneliti untuk memahami secara mendalam bagaimana dan mengapa fenomena terjadi. Implikasi dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan dasar yang kuat untuk pengembangan strategi intervensi yang lebih efektif dalam mengurangi kebiasaan merokok di lingkungan kampus.

Keyword: Peer communication, Kegiatan merokok, Lingkungan kampus, Kawasan bebas asap rokok

Pendahuluan

Merokok merupakan salah satu kebiasaan yang telah lama menjadi perdebatan di berbagai kalangan masyarakat. Di tengah upaya untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan bebas asap rokok, larangan merokok di tempat umum menjadi sebuah langkah yang diambil oleh banyak institusi. Namun sayangnya, implementasi larangan merokok tidak selalu berjalan mulus, terutama ketika budaya merokok telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di suatu tempat. 

Kantin FISIP UI (Takor). (Sumber foto: Hans TM via Google Maps)

Kantin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) menjadi salah satu contoh lingkungan di mana larangan merokok tidak sepenuhnya diindahkan. Meskipun berbagai cara telah dilakukan seperti dipasangnya banner larangan merokok, kegiatan merokok tetap berlangsung di area yang dikenal dengan sebutan Takor (Taman Korea) atau Balsem (Balik Semak). Fenomena ini menarik perhatian kelompok peneliti untuk menggali lebih dalam tentang dinamika komunikasi antar individu terkait kegiatan merokok di kawasan anti rokok. Masalah penelitian yang mendasari  adalah bagaimana konsep peer communication dapat memengaruhi perilaku merokok di kantin FISIP UI, terutama dalam konteks larangan merokok yang sebenarnya telah diberlakukan. Peer communication, atau komunikasi antar teman sebaya, dianggap memiliki peran yang signifikan dalam membentuk norma sosial dan perilaku individu. Dalam kasus ini, peer communication diharapkan dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi keputusan seseorang untuk tidak merokok sesuai dengan area yang bebas dari asap rokok. 

Penelitian ini memiliki signifikansi yang penting dalam konteks kesehatan masyarakat dan kebijakan anti merokok. Dengan memahami bagaimana komunikasi antar individu di lingkungan kantin FISIP UI memengaruhi keputusan merokok, diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga bagi pengembangan strategi preventif dan intervensi yang lebih efektif bagi pihak kampus dalam mengurangi kebiasaan merokok di lingkungan kampus. Pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana peer communication mendorong individu dalam keputusan merokok di kawasan anti rokok di FISIP UI. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi pola komunikasi antar teman sebaya terkait kegiatan merokok dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas peer communication dalam mengubah perilaku merokok.

Literature Review

Peer Communication

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kram dan Isabella (1985) peer communication dapat dibedakan oleh karakteristik komunikasinya. Jenis hubungan pertama disebut sebagai information peer (komunikasi mengenai pekerjaan atau organisasi dengan tingkat pengungkapan diri dan kepercayaan yang rendah). Yang kedua adalah collegial peer (komunikasi mengenai pekerjaan atau masalah pribadi dengan tingkat kepercayaan dan pengungkapan diri yang lebih baik atau berada pada level menengah). Yang terakhir adalah the special peer (berbagai topik komunikasi, dukungan emosional tinggi, umpan balik pribadi, kepercayaan, pengungkapan diri, dan persahabatan yang kuat).

Social Influence Theory

Sementara itu, teori yang digunakan adalah teori pengaruh sosial (social influence theory). Menurut Venkatesh dan Brown (2001), social influence theoryadalah bagaimana seseorang dalam jejaring sosialnya dipengaruhi oleh sikap lingkungannya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu melalui interaksi sosial. Dalam konteks kegiatan merokok di FISIP UI, seorang individu dapat mempengaruhi orang yang merokok di area dilarang merokok dengan menggunakan peer communication. Menurut Kelman (1979), social influence theory memiliki tiga cara dalam mempengaruhi perubahan perilaku seseorang dalam sistem sosial, yaitu compliance (kepatuhan), identification (identifikasi), atau internalization (internalisasi). 

Compliance merupakan penerimaan pengaruh bagi individu untuk menerima imbalan dan menghindari hukuman atas perilaku tidak patuh. Penerimaan ini sering kali disebabkan oleh kekhawatiran akan dampak sosial dari melanggar peraturan, yang kemudian membantu mengurangi kesenjangan dalam norma sosial. Compliance kemungkinan besar terjadi ketika terdapat pengawasan dari agen yang mempengaruhi (Pelinka & Suedfeld, 2017). Identification merupakan pengaruh sosial yang bertujuan mencapai tujuan tertentu tanpa mencerminkan nilai pribadi. Identification terjadi apabila individu mengharapkan dirinya dapat memenuhi peran sosial tertentu. Kondisi ini dapat terjadi apabila individu terhubung dengan kategori sosial tertentu, dan juga terdapat tuntutan peran sosial di dalamnya. Berbeda dengan identification, internalization dapat terjadi apabila seseorang mengadopsi perilaku karena sesuai dengan nilai dan pandangan pribadinya. Nilai tersebut sering dipengaruhi oleh lingkungan sosial saat seseorang dibesarkan. Perilaku yang sesuai dengan nilai yang seseorang anut akan membantunya mencapai tujuan yang diinginkan (Kelman, 1958).

Dengan mengacu pada social influence theory, peneliti membagi narasumber menjadi 2 bagian, yaitu compliant group dan non-compliant group. Tingkat kepatuhan atau compliance merujuk pada peraturan formal yang didistribusikan melalui spanduk berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 1805/SK/R/UI/2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok UI, serta konsensus informal mahasiswa FISIP UI mengenai waktu dan lokasi tempat yang diperbolehkan merokok. Sementara, mahasiswa yang mengabaikan kedua payung aturan tersebut dikategorikan sebagai non-compliant group.

Research Gap

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, ditemukan bahwa peer communication ternyata berperan dalam mempersuasi individu untuk berpikir dan bersikap dengan cara tertentu, bahkan lebih besar dari peraturan dan himbauan yang dibuat oleh pembuat kebijakan terkait. Hal tersebut rata-rata berhasil terjadi karena rasa kepercayaan dari individu terhadap peer group mereka, percakapan informal mengenai hal-hal formal seperti kebijakan, serta keterbukaan diskusi dalam peer group (Muraleetharan & Brault, 2021: 7–8).

Dalam konteks larangan merokok di lingkungan kantin FISIP UI, peneliti berhasil menemukan beberapa research gap dari penelitian terdahulu bahwa (1) belum ada pembahasan yang cukup spesifik mengenai peran peer communication dalam himbauan berhenti merokok di lokasi bebas asap rokok. Di sisi lain, banyaknya penelitian terdahulu dengan tema rokok tidak menekankan peer communication. Kemudian (2) tidak adanya batasan-batasan dari konsep peer communication itu sendiri, sehingga salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan untuk penelitian ini adalah untuk menjelaskan batasan peer groups, seperti kedekatan antar teman yang mungkin akan mempengaruhi reaksi individu dalam berpikir dan bersikap.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan paradigma interpretif untuk memperoleh data yang diperlukan. penelitian berfokus pada pemahaman mendalam terhadap fenomena sosial melalui pengumpulan data yang kaya dan deskriptif. Dalam pendekatan ini penulis menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu wawancara langsung dan observasi mandiri. Metode wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang paling umum dalam pendekatan penelitian kualitatif. Dalam paradigma interpretif, wawancara digunakan untuk menggali makna dan interpretasi yang dimiliki individu tentang pengalaman dan perspektif mereka. Kemudian dalam paradigma ini, metode observasi digunakan untuk memahami makna dan interpretasi yang dibangun oleh individu dan kelompok dalam pengalaman mereka.

Paradigma interpretif adalah cara pandang dalam penelitian ilmu sosial yang melihat sesuatu dengan cara memahami dan menjelaskan dunia sosial melalui perspektif pelaku suatu kasus sosial. Berbeda dengan paradigma positivis yang cenderung menekankan objektivitas dan meyakini realitas bersifat tunggal, paradigma interpretif mengakui realitas dapat memiliki banyak sisi tergantung dari sudut pandang kita melihat realitas tersebut. Paradigma interpretatif membantu kami untuk mengulik lebih dalam subjek penelitian, tidak hanya sekedar analisis dasar dari subjek namun juga perilaku, interaksi, dan budaya subjek penelitian. Dengan penggunaan pendekatan dan paradigma ini, kami bertujuan untuk memahami bagaimana komunikasi yang terjadi dalam suatu peer groupdimaknai oleh para subjek penelitian, dan apakah social influence theory sebagai teori acuan dapat diaplikasikan pada kasus ini.

Konsep peer groupdan social influence theorykami gunakan berkaca dari kasus serupa lain, yakni pengembalian piring makan (self-service)pada kantin Takor FISIP UI yang berhasil membentuk sebuah budaya dan konsensus baru di tempat yang sama. Dalam memperoleh data, penulis menggunakan metode wawancara secara langsung dengan 7 informan. Kemudian untuk memperkuat data primer penulis juga melakukan observasi mandiri untuk melihat perilaku dan kebiasaan orang-orang di kantin Takor FISIP UI dalam merokok. Dari data-data tersebut, penulis kemudian menganalisis data tersebut dengan cara codingmanual untuk melihat pola-pola yang ada dalam jawaban-jawaban informan.

Hasil dan Diskusi

Konsensus bersama lebih dipatuhi daripada peraturan resmi

Dalam hal merokok di area Takor, para narasumber–baik compliantmaupun non-compliant group–merasa bahwa terdapat daerah-daerah kantin yang telah disetujui untuk merokok selain smoking arearesmi. Persetujuan ini selanjutnya akan disebut konsensus area merokok, yang antara lain terdiri dari Takor Atas, Takor Politik, dan Takor Semen. 

Nah, kalo ngerokok di Takor, gue ngeliat ada dua tempat yang sering dijadiin yaitu Smokar dan lantai atas, dan yang kedua tuh di tempat politik. (…) tempat duduk semen sekarang juga jadi tempat ngerokok.”

Perokok, compliant group.
Takor Semen (Sumber foto: Yoga Al Kemal)

Takor Bawah (bagian rendah, foreground) dan Takor Atas (bagian tinggi, background) (Sumber foto: Yoga Al Kemal)

Takor Politik (Sumber foto: Yoga Al Kemal)

Konsensus area merokok inilah yang cenderung diikuti oleh para perokok dan non-perokok. Keduanya saling diuntungkan–perokok dapat merokok tanpa merasakan pengapnya smoking areaTakor, dan non-perokok dapat menghirup udara bersih. Tetapi, terkadang hal ini juga masih dilanggar. Menurut beberapa narasumber, biasanya hal ini dilakukan warga non-FISIP UI yang tidak tahu persis tentang konsensus area merokok.

Secara umum, mereka mengetahui tentang larangan merokok formal yang disosialisasikan dari bannerdan poster di area Takor. Larangan ini sudah diatur oleh SK Rektor UI Nomor 1805/SK/R/UI/2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) UI. Namun, pasifnya pihak berwajib membuat para perokok merasa “aman” untuk merokok. Kebanyakan dari mereka berdalih–jika salah, maka salahnya ramai-ramai. Jika dihukum, maka ratusan orang lain juga harus dihukum, termasuk dosen dan staf yang merokok di kawasan tanpa rokok. 

Latar belakang perokok yang membentuk budaya merokok

Berdasarkan kebiasaan merokoknya, terdapat empat narasumber yang merupakan perokok, dua non-perokok, dan satu mantan perokok. Uniknya, keempat perokok dan satu mantan perokok mulai merokok saat masih di bangku SMP-SMA dan dilakukan karena, atau ingin ikut, nongkrong

“Berawal diajak waktu nongkrong. (…) Dari gue SMP, gue merasa harus merokok. Citra itu gue tekunin sampai sekarang.”

Perokok, noncompliant group

Kedua kebiasaan ini–merokok dan nongkrong–menjadi tidak terpisahkan hingga kuliah. Hal ini terlihat ketika dilakukan observasi di area Takor. Kebanyakan pengunjung Takor yang berada di satu mejaakan makan, mengobrol, hingga mengerjakan tugas sambil merokok. 

Munculnyasocial ignorance

Warga Takor tidak lagi asing dengan peneguran. Berbasis pengalaman saling menegur yang efektif untuk mengembalikan piring kotor, kami mencoba membawanya ke dalam konteks rokok. Namun, hasil penelitian tidak menunjukkan pola yang sama.

Para narasumber dari compliant grouptidak pernah menegur orang yang merokok di kawasan tanpa rokok, dengan alasan simpel: tidak merasa terganggu dengan asapnya. Salah satu narasumber memilih mengajak teman perokoknya untuk nongkrongdi area konsensus sebelum pelanggaran dapat terjadi. Narasumber lain mengakui pernah ditegur oleh teman dekatnya sendiri dengan nada baik-baik. Hal ini mendorongnya untuk lebih menghormati temannya dan menjauh ketika sedang ingin merokok.

Beberapa narasumber dari noncompliant groupyang pernah ditegur merasa malu ketika hal itu terjadi, apalagi jika ditegur orang yang tidak ia kenal. Namun, ini tidak berkelanjutan–ia akan melanjutkan merokok dengan sembarangan setelah beberapa hari. 

Hasil observasi juga menunjukkan keluhan mahasiswa di media sosial, khususnya X, tentang asap rokok di Takor. Hanya pengunggah berikut yang memberikan izin untuk dijadikan data. Sejumlah unggahan lain menyatakan bahwa mereka merasa “tidak berani” untuk menegur, karena notabenenya beberapa perokok dianggap mengintimidasi. Hal ini sejalan dengan salah satu jawaban narasumber, merasa “takut untuk menegur orang yang tidak dikenal.”

Sumber foto: Anonim, mahasiswa FISIP 2021

Diskusi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat konsensus informal mengenai area merokok di FISIP UI yang lebih dipatuhi oleh para perokok dibandingkan aturan formal yang dianggap kurang efektif. Hal ini sejalan dengan konsep social influence theory yang menjelaskan bagaimana interaksi sosial dalam kelompok dapat mempengaruhi perilaku individu. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana perokok dan non-perokok di FISIP UI mengikuti konsensus area merokok yang diakui secara sosial. Dalam hal ini, persetujuan bersama terkait area merokok menjadi lebih dominan daripada peraturan formal yang ditetapkan oleh pihak fakultas.

Sementara itu, terdapat pula teori lain yang relevan dengan hasil penelitian ini, yaitu social theory of ignorance. Menurut teori ini, ketidakpedulian terhadap aturan merupakan konstruksi sosial yang dilanggengkan. Hal ini tercermin dalam perilaku perokok yang merasa “aman-aman saja” untuk tetap melanggar aturan karena kurangnya penegakan hukum dan sanksi nyata. Salah satu narasumber juga memilih untuk tidak menegur perokok karena tidak merasa terganggu meskipun hal tersebut tetap merupakan pelanggaran.

Berkaca pada kasus teguran pengembalian piring di kantin Takor FISIP UI, kami menduga bahwa konsep peer communication akan lebih efektif untuk mencegah kegiatan merokok di area dilarang merokok. Diasumsikan bahwa dalam peer groupdengan anggota orang yang compliantdan noncompliantterhadap peraturan dan konsensus, pihak noncompliantdapat terdorong untuk mengikuti ekspektasi anggota kelompoknya untuk menjaga harmoni.

Walaupun hal ini terjadi dalam salah satu narasumber yang ditegur oleh teman dekatnya,  tetapi berdasarkan jawaban mayoritas narasumber lain, konsep peer communication terbukti masih kurang dimaknai dengan baik oleh perokok. Kebanyakan narasumber merasa teguran yang ditujukan kepada mereka akan lebih efektif jika dilakukan oleh pihak yang berwenang, berkuasa, atau memiliki otoritas, seperti dosen atau PLK.

Walaupun demikian, sejumlah narasumber yang pernah ditegur pun hanya berhenti merokok di area dilarang merokok dalam jangka waktu pendek. Pihak compliant group cenderung segan untuk menegur orang yang tidak mereka kenal. Hal ini menjawab pertanyaan penelitian terkait bagaimana perokok memaknai teguran dari peer group mereka.

Dapat disimpulkan bahwa peran peer communicationakan efektif dan dimaknai dengan baik apabila terdapat budaya dan norma tertentu yang ingin dipertahankan, seperti budaya pengembalian piring di Takor. Namun, untuk kegiatan merokok di FISIP UI, cukup banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti ignorance, sikap “tidak enak”, dan regulasi formal yang tidak dikomunikasikan dengan baik oleh pihak berwajib.

Simpulan

Merokok sudah menjadi begitu umum di lingkungan mahasiswa FISIP UI. Hal ini juga didorong oleh latar belakang kebanyakan individu menjadi perokok yang erat kaitannya dengan bersosialisasi. Teguran terkait larangan merokok cenderung jarang dibahas dalam suatu peer communication mahasiswa FISIP UI akibat merasa “tidak enak”. 

Faktor social ignorance terhadap kegiatan merokokjuga jauh lebih berkontribusi dibandingkan peer communicationmaupun peraturan formal. Karena mahasiswa FISIP UI memilih untuk bersikap “bodo amat” terhadap peraturan, maka muncul status quobahwa ada kebebasan relatif dalam merokok di FISIP UI. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa konsensus informal yang telah disetujui secara kolektif mengenai lokasi merokok jauh lebih dihormati dibandingkan peraturan formal tanpa sanksi yang diimplementasikan dengan baik. Teguran dari teman dapat dimaknai dengan baik, namun dari orang yang tidak dikenal akan kurang efektif. Di sisi lain, perokok merasa bahwa penegakan larangan merokok berbentuk peneguran lebih baik dilakukan secara rutin orang yang berwenang (seperti petugas keamanan).

Penelitian selanjutnya dapat membahas lebih dalam mengenai faktor perilaku dari kegiatan merokok di kampus, menggunakan sudut pandang psikologis atau sosiologis dibandingkan komunikasi. Social theory of ignoranceatau konsep face savingdapat digunakan sebagai acuan, karena hubungannya yang erat dengan budaya masyarakat yang menghindar dari konfrontasi langsung seperti teguran. 


Referensi

Aprilian, M. (2023). PENGARUH TINGKAT SOCIAL INFLUENCE TERHADAP PERSEPSI SISWA PADA PENGGUNAAN LAYANAN MOBILE PAYMENT (Survei Terhadap Siswa Kelas XI IPS di SMAN 1 Parigi).

Bryman, A. (2012). Social Research Methods. OUP Oxford.

eBusiness@Newcastle. (n.d.). Social Influence Theory – TheoryHub – Academic theories reviews for research and T&L. https://open.ncl.ac.uk/theories/15/social-influence-theory/ 

Esterberg, K. G. (2002). Qualitative Methods in Social Research.McGraw-Hill.

Kram, K. E., & Isabella, L. (1985). MENTORING ALTERNATIVES: THE ROLE OF PEER RELATIONSHIPS IN CAREER DEVELOPMENT. Academy of Management Journal, 28(1), 110–132. https://doi.org/10.2307/256064 

Li, C. (2013). Persuasive messages on information system acceptance: A theoretical extension of elaboration likelihood model and social influence theory. Computers in Human Behavior, 29(1), 264–275. https://doi.org/10.1016/j.chb.2012.09.003

Mekarisce, A. A. (2020). Teknik Pemeriksaan keabsahan data Pada Penelitian kualitatif di bidang Kesehatan Masyarakat. JURNAL ILMIAH KESEHATAN MASYARAKAT : Media Komunikasi Komunitas Kesehatan Masyarakat, 12(3), 145–151. https://doi.org/10.52022/jikm.v12i3.102 

Meyer, S. B., Leask, J., Seale, H., & Wiley, K. E. (2023). ‘Getting the vaccine makes me a champion of it’: Exploring perceptions towards peer-to-peer communication about the COVID-19 vaccines amongst Australian adults. Health Expectations, 26, 1505-1513.

Moran, M. B., & Sussman, S. (2015). Changing Attitudes Toward Smoking and Smoking Susceptibility Through Peer Crowd Targeting: More Evidence From a Controlled Study. Health Communication, 30(5), 521-524.

Muraleetharan, V., & Brault, M. A. (2021). Friends as Informal Educators: The Role of Peer Relationships in Promotion of Sexual Health Services among College Students. Community Health Equity Research & Policy, 44(1), 3-14.

Nasution, S. (1988). Metode penelitian naturalistik kualitatif.Tarsito.

Rektorat UI. (2013). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 1805/SK/R/UI/2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok Universitas Indonesia (KTR UI) [Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia].

Saw, A., Paterniti, D., Fung, L.-C., Tsoh, J. Y., Chen Jr., M. S., & Tong, E. K. (2017). Social Environmental Influences on Smoking and Cessation: Qualitative Perspectives Among Chinese-Speaking Smokers and Nonsmokers in California. J Immigr Minor Health, 19(6), 1404-1411.

Yin, R.K (2017). Case Study Research and Application: Design and Methods. Sage Publication.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *