Journalight

UI Journalism Studies

Research

Diskursus Meme Politik: Partisipasi Khalayak dalam Akun @memefess selama Masa Kampanye Pemilu 2024

Sumber foto: inet.detik.com

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji participatory culturedalam digital public spheremelalui studi kasus pada partisipasi khalayak dalam diskursus meme politik dalam akun @memefess selama masa kampanye pemilu 2024. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini menganalisis bagaimana meme politik yang diunggah dalam akun @memefess berperan aktif dalam membentuk opini publik dan memfasilitasi partisipasi khalayak dalam politik. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi partisipatif dan analisis konten terhadap postingan konten meme serta komentar dari pengguna akun di aplikasi X. Kurangnya fokus terhadap analisis kolom komentar dan quote retweet menjadi kekurangan yang perlu digali di penelitian lanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meme politik di @memefess tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai medium ekspresi politik yang kritis melalui aspek yang menekankan humoris. Partisipasi aktif pengguna dalam diskusi unggahan konten meme mencerminkan keterlibatan politik yang tinggi dan menginterpretasikan bahwa meme dapat menjadi sarana efektif dalam menyampaikan pesan politik serta memobilisasi dukungan selama kampanye. Kesimpulan penelitian ini menegaskan pentingnya participatory culturedalam media digital sebagai bentuk baru dari keterlibatan politik dan menyarankan perhatian dan penelitian yang lebih dalam dan lebih lanjut terhadap peran meme dalam dinamika politik. 

Kata kunci: participatory culture, digital public sphere, meme, @memefess, aplikasi X, kampanye pemilu 2024

PENDAHULUAN

Media sosial telah menjadi wadah dalam mengutarakan berbagai pendapat terhadap berbagai isu yang beredar. Tak dapat dipungkiri, kerap kali kita menemukan bahwa suara yang ada menggambarkan keberagaman konteks dan menjadi bukti adanya partisipasi yang aktif untuk menjaga jalannya hak kebebasan berpendapat, dan merupakan dasar dari demokrasi yang sehat. Berbicara mengenai kebebasan bersuara, tidak terlepas dari berita dan informasi yang sedang terjadi belakangan ini yaitu mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) Indonesia tahun 2024 dimana terdapat berbagai kandidat atau aktor politik yang berusaha untuk membuat strategi dalam menampilkan dan menonjolkan dirinya agar dapat dipilih oleh rakyat. 

Dalam meningkatkan suara dan elektabilitasnya di media sosial, para aktor politik kerap menggunakan buzzer. Praktik buzzer merupakan hal yang kerap dilakukan di media sosial khususnya di aplikasi X. Berdasarkan  penelitian “Peran Buzzer Politik dalam Aktivitas Kampanye di Media Sosial Twitter”, penggunaan media sosial melalui buzzer mempengaruhi opini publik melalui fitur-fitur Twitter X, seperti retweet, penggunaan narasi, serta hashtagatau tagar. Semua fitur yang terdapat pada media sosial tersebut mendorong akun para pengguna dan menjadi wadah untuk lebih aktif dalam berdiskusi dan mengutarakan pendapat terhadap berbagai aktivitas kampanye di media sosial, salah satunya konten seperti meme. 

Dalam pemilu 2024, muncul sebuah praktik baru dimana buzzer politik menggunakan pendekatan komedi dan hiburan dengan menggunakan media meme sebagai alat kampanye yang mereka lakukan, dalam studi kasus yang diteliti, akun @memefess merupakan salah satu pengguna Twitter X yang cukup aktif dalam mendistribusikan konten meme yang berkaitan dengan aktivitas politik pemilu 2024. Tentu hal ini menjadi fondasi dan menggambarkan adanya isu baru untuk diinformasikan kepada publik yang dapat menjadi topik pembahasan dan perdebatan terhadap pengguna satu sama lain. Ini berkaitan dengan bagaimana konsep participatory culture terjadi. Jenkins (2006) menyatakan bahwa participatory cultureberfokus pada perubahan dramatis dalam cara kita berinteraksi dengan media dan konten budaya secara keseluruhan. Ini dapat diamati dalam fenomena seperti video, fan fiction, meme, dan proyek kolaboratif onlinelainnya. 

Public sphere, sebagaimana dicetuskan oleh Habermas (1991) dan kaitannya dengan aspek digital, kemunculan internet pada beberapa tahun belakangan ini telah memperkenalkan kembali forum diskusi tanpa gatekeeper(penjaga gerbang) yang berpotensi mewadahi berbagai bentuk cita-cita yang ada dalam teori ruang publik, oleh karena itu muncullah ruang publik digital atau digital public sphere. Sifat ruang publik digital yang bebas dan tidak dibatasi secara paradoks menjadikannya rentan terhadap manipulasi proses pembentukan opini, seperti penyebaran informasi yang salah. Oleh karena itu, bagaimana partisipasi khalayak berlangsung dalam diskursus meme politik dalam akun @memefess selama masa kampanye pemilu 2024 pada aplikasi X sebagai digital public sphere? Dalam pembahasan lebih lanjut, penelitian ini akan mengidentifikasi bagaimana partisipasi khalayak terjadi dalam diskursus meme politik dalam akun @memefess selama masa kampanye pemilu 2024 pada ruang publik digital berupa aplikasi X. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang memungkinkan untuk menganalisis data dan ketarangan yang lebih detail yang diperlukan untuk menjelaskan bagaimana partisipasi khalayak dilakukan melalui meme dalam digital public sphereberupa aplikasi X. Hasil dari penelitian ini akan membantu kandidat politik maupun peneliti lainnya dalam memperdalam dan menganalisis partisipasi khalayak dalam ranah media sosial khususnya aplikasi Twitter X secara lebih komprehensif.

LITERATURE REVIEW

Teori Communicative Action adalah teori yang diciptakan oleh Jurgen Habermas. Pada 1984. Secara garis besar, teori ini menjelaskan bahwa pelaku komunikasi dalam masyarakat mencoba untuk mencapai kesepahaman bersama dan mengkoordinasikan tindakan yang dilakukan berdasarkan argumen yang beralasan, konsensus, dan kooperasi (Bolton, 2005). Salah satu konsep utama yang terdapat pada teori ini adalah communicative action (tindakan komunikatif) vs strategic action(tindakan strategis). Habermas menjelaskan tindakan komunikatif sebagai sebuah tindakan individu yang dirancang untuk mendorong kesepahaman bersama dalam sebuah kelompok dan mendorong kerjasama. Tindakan ini berkebalikan dengan tindakan strategis yang dirancang untuk mencapai tujuan pribadi seseorang (Bolton, 2005). Tindakan disebut strategis ketika pelaku komunikasi mengejar tujuannya dengan mempengaruhi perilaku dari pelaku lainya dengan mengikuti aturan pemilihan yang rasional. Teori Communicative Action tersebut dapat diterapkan untuk memahami bagaimana partisipasi khalayak dalam diskursus meme politik di akun @memefess selama kampanye pemilu 2024 di aplikasi X berperan dalam membentuk opini publik dan memfasilitasi keterlibatan politik. Akun @memefess yang aktif dalam mendistribusikan konten meme terkait aktivitas politik, menjadi medium bagi pengguna untuk berpartisipasi dalam ruang publik digital. Meme politik di akun @menfess berfungsi sebagai alat hiburan dan medium ekspresi politik secara kritis melalui humor, yang menciptakan tindakan komunikatif di mana pengguna berbagi dan mendiskusikan konten politik. Partisipasi aktif dalam diskursus ini, sesuai teori Communicative Action mencerminkan upaya mencapai kesepahaman bersama dalam isu-isu politik, berkontribusi pada pembentukan opini publik secara kooperatif dan deliberatif, serta mencapai konsensus tentang isu-isu politik.

Digital public sphere merupakan elaborasi dari konsep public sphere yang diperkenalkan oleh Jurgen Habermas. Penemuan internet telah mengubah transformasi struktural dari public sphere. Merevitalisasi konsep public sphere milik habermas dan memperluas cakupannya. (Mattila et al., 2022). Internet memiliki beberapa karakter yang memungkinkan terjadinya diskursus publik di ruang digital. Internet memiliki struktur berbentuk jaringan dan non-hierarki. Keberadaan internet yang tidak dipengaruhi oleh aspek ruang dan waktu membuat diskusi yang terjadi tidak dibatasi oleh kedua faktor tersebut sebagaimana diskusi tatap muka (Geiger dalam Mattila, 2022). Diskusi secara daring tersebut dapat diakses kapanpun dan dimanapun serta dengan biaya yang relatif rendah. Karakteristik ini memungkinkan public sphere digital untuk menjadi lebih egaliter dan inklusif dibandingkan forum-forum diskusi luring. Dalam konteks akun @memefess, digital public sphere memungkinkan pengguna untuk berbagi informasi, pendapat, serta ide secara bebas, sehingga menciptakan lingkungan yang memfasilitasi partisipasi aktif dalam diskursus politik selama kampanye pemilu 2024.

Participatory culture atau budaya partisipasi yang dikembangkan oleh Henry Jenkins (2006) merupakan konsep mengambil peran dan berpartisipasi secara aktif dalam produksi, diseminasi dan interpretasi budaya yang dilakukan individu atau anggota dari suatu komunitas. Fenomena ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk, seperti halnya video Youtube, fan fiction, serta meme di internet. Penggunaan meme dalam kampanye politik, seperti yang diamati dalam akun @memefess di platform media sosial X, menunjukkan bagaimana participatory culturememfasilitasi partisipasi publik dalam diskursus politik. Meme politik tidak hanya menjadi alat kampanye, melainkan juga menjadi sarana bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam debat publik, mengungkapkan pendapat, dan mempengaruhi opini publik. Partisipasi ini mencerminkan perubahan dari model komunikasi satu arah, menjadi interaksi dua arah yang lebih dinamis dan inklusif. Penelitian mengenai partisipasi khalayak dalam diskursus meme politik di akun @memefess selama kampanye pemilu 2024 bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana participatory culture berperan dalam membentuk opini publik dan meningkatkan partisipasi politik. 

Meme menurut Shifman (2014) adalah unit budaya yang menyebar dari orang ke orang, mengandung ide, simbol, atau praktik yang dapat diadaptasi dan dimodifikasi oleh pengguna. Secara khusus, dalam konteks internet, meme seringkali berupa gambar, teks, atau video pendek yang memiliki pesan yang lucu, satir, atau menghibur. Selain itu, saat ini meme telah berevolusi menjadi alat komunikasi yang jauh lebih luas, terutama dalam konteks politik. Pasalnya, meme politik dengan penggunaan humor dan satire, mampu menarik perhatian publik dan menyampaikan pesan politik secara efektif. Meme dapat digunakan untuk mengkritik kebijakan, mengomentari peristiwa politik, atau memobilisasi dukungan selama kampanye. Oleh karena itu, meme yang diunggah di akun @memefess selama kampanye pemilu 2024 berperan dalam membentuk opini publik dan memfasilitasi partisipasi politik.

METODE

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma kritis. Paradigma ini berfokus pada analisis historical situatedness dengan perubahan struktur sosial guna memperoleh pemahaman mengenai suatu realitas dalam konteks yang spesifik. Secara spesifik, penelitian ini mencoba memahami secara mendalam konteks historis, politik, serta sosial budaya dalam diskursus daring melalui meme yang terjadi selama masa kampanye Pemilihan Presiden 2024. Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif yang memungkinkan peneliti untuk memahami kompleksitas dan fenomena yang diteliti secara mendalam. data dari penelitian ini dikumpulkan melalui proses observasi serta scrapping data terhadap meme-meme berbau politik yang diunggah pada akun @memefess selama masa kampanye pemilu 2024 yang berjalan selama bulan November-Februari. data kemudian dianalisis menggunakan content analysis untuk memahami konteks dari meme serta isu yang diangkat. Isu-isu tersebut kemudian dipetakan untuk memperoleh gambaran secara lebih luas mengenai topik dan diskursus yang terjadi di dalam akun @memefess.

TEMUAN

Distribusi konten meme di akun @memefess mencerminkan fenomena diskursus digital di media sosial Twitter X selama kampanye pilpres 2024. Observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa meme yang dibagikan dalam akun ini mengangkat topik-topik yang beragam, mulai dari ketiga pasangan calon presiden (penampilan, kepribadian, perilaku, serta isu yang berkaitan dengan mereka), momen-momen selama debat capres, hingga isu-isu yang sifatnya lebih umum. Analisis konten yang dilakukan menunjukkan bahwa akun @memefess berhasil menciptakan ruang diskusi yang inklusif dan netral dengan mengunggah meme yang mencakup berbagai topik terkait ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Keberagaman topik ini menunjukkan bagaimana @memefess berfungsi sebagai public sphere digital yang menjadi tempat bagi pengguna X untuk berbagi meme, mengekspresikan pendapat, dan berkomentar secara bebas. 

Analisis konten dari meme yang dibagikan di akun @memefess mengidentifikasi lima topik diskursus utama: tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, debat capres, dan isu-isu umum. Setiap topik ini memiliki subtopik spesifik yang sering dibahas dalam bentuk meme. Penelitian ini menemukan bahwa akun @memefess membuka ruang yang luas untuk ekspresi dan pendapat selama kampanye pemilu. Meme-meme yang diunggah mencakup kritik terhadap pasangan capres-cawapres, pendukungnya, serta segala isu yang berhubungan dengan mereka. Kritik ini dikemas menggunakan humor dan satire untuk memprovokasi diskusi dan interaksi antar pengguna.

Source: X.com

Memefess melibakan pembuatan meme yang dilakukan oleh pengguna. Budaya partisipasi terjadi secara aktif melalui pengumpulan meme secara anonim yang berjumlah 104 meme yang penulis ambil. Banyaknya meme yang diproduksi terjadi waktu kampanye Pemilu menunjukkan diseminasi konten disebarkan untuk menukarkan ide dan pemahaman bersama mengenai gagasan, kepribadian, kegiatan dari para capres dan cawapres. Namun, meme ini lebih menyorot kepada isu-isu yang berkaitan dengan pasangan calon nomor urut 2, Prabowo dan Gibran. Dari 104 meme yang peneliti olah, terdapat 85 meme membahas pasangan calon Prabowo-Gibran. Meme yang diseminasikan mengenai Prabowo-Gibran meliputi isu yang berkaitan dengan bansos, politik dinasti, campur tangan Jokowi, pelanggaran HAM, dll. Sedangkan, pasangan calon nomor urut 3, Ganjar-Mahfud hanya terdiri dari 17 meme yang dibahas. Sedangkan, isu yang membahas pasangan calon nomor urut 1 terdiri dari 19 meme.

@memefess memungkinkan pengguna untuk berpartisipasi secara anonim, memberikan ruang bagi suara-suara minoritas untuk muncul dan berkontribusi dalam diskursus publik. Observasi dan analisis terhadap kolom komentar meme-meme ini menunjukkan partisipasi aktif pengguna dalam diskusi, sering kali dengan pendapat yang berbeda dari mayoritas. Secara keseluruhan, akun @memefess tidak mengalami banyak kendala terkait moderasi konten, dengan sedikit atau tanpa konten yang harus dihapus karena melanggar pedoman komunitas. Ini menunjukkan bahwa diskursus yang terjadi tetap berada dalam batasan yang dapat diterima tanpa melanggar aturan eksplisit.

DISKUSI

Akun @memefess berhasil menciptakan ruang diskusi digital yang inklusif dan terbuka, sesuai dengan konsep public sphere yang dikemukakan oleh Dahlberg (1998). Dengan memberikan akses mudah dan cepat ke informasi, akun ini memfasilitasi free flow of information, memungkinkan pengguna untuk mengakses beragam pandangan dan informasi terkait pemilu 2024. Ini penting dalam konteks demokrasi, di mana akses terbuka ke informasi dan kebebasan berekspresi adalah kunci untuk partisipasi publik yang sehat. Keberagaman topik yang diangkat di @memefess mencerminkan dinamika politik yang kompleks dan beragam. Setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden dihadapkan pada isu-isu spesifik yang menjadi bahan diskusi dan guyonan di media sosial.

Meskipun ada ketidakseimbangan dalam jumlah meme yang diunggah, dengan pasangan Prabowo-Gibran lebih sering diangkat, hal ini mencerminkan intensitas perhatian publik terhadap mereka. Kemampuan pengguna untuk berpartisipasi secara anonim di Twitter X memperkuat free flow of expression, memungkinkan suara-suara yang mungkin terpinggirkan untuk muncul dan berkontribusi dalam diskusi. Ini penting dalam memastikan bahwa berbagai perspektif dapat didengar, meskipun masih ada tantangan seperti echo chambers dan filter bubbles yang membatasi diskusi antar kelompok dengan pandangan berbeda.

Konsep public sphere dalam akun @memefess yang memungkinkan diskursus mengenai isu paslon 1, 2, dan 3 menunjukkan bagaimana demokrasi di era digital dapat lebih baik dibandingkan dengan masa Orde Baru Indonesia yang lebih otoriter. Dalam konteks digital, public sphere dapat dilihat sebagai ruang diskusi online yang memungkinkan pengguna untuk berbagi informasi, pendapat, dan ide secara bebas dan terbuka. Dengan adanya diversitas perspektif dan topik yang dibahas, diskusi di akun tersebut mencerminkan pluralisme dan kebebasan berpendapat, yang merupakan aspek penting dalam demokrasi. Dengan konsep public sphere yang terwujud dalam akun @memefess, di mana terdapat inklusivitas, kebebasan berekspresi, partisipasi aktif, dan diversitas perspektif, dapat dilihat bahwa demokrasi di era digital memiliki potensi untuk lebih baik daripada pada masa orde baru Indonesia yang lebih otoriter.

Source: X.com

Penelitian ini memiliki signifikansi yang besar dalam memahami bagaimana partisipasi khalayak melalui meme dan akun @memefess dapat memfasilitasi public sphere yang lebih setara di pemilu 2029. Dengan menggunakan pendekatan humor dan satire, meme-meme yang diunggah di akun @memefess dapat menjadi sarana efektif dalam menyampaikan pesan politik serta memobilisasi dukungan selama kampanye. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meme politik di @memefess tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai medium ekspresi politik yang kritis melalui aspek yang menekankan humoris. Partisipasi aktif pengguna dalam diskusi unggahan konten meme mencerminkan keterlibatan politik yang tinggi dan menginterpretasikan bahwa meme dapat menjadi sarana efektif dalam menyampaikan pesan politik serta memobilisasi dukungan selama kampanye.

Terlepas dari keberagaman diskursus dan partisipasi aktif dari pengguna, keberadaan community guideline dari platform media sosial X sedikit menghambat proses demokrasi dari diskursus yang ada. Meskipun akun @memefess memberikan ruang diskusi yang inklusif dan terbuka, adanya aturan dan pembatasan dari admin platform dapat mempengaruhi dinamika diskusi dan keterlibatan publik. Keterbatasan dalam community guideline dapat menghambat kebebasan berekspresi dan membatasi variasi pandangan yang dapat disampaikan oleh pengguna. Keberadaan admin yang bertugas menegakkan panduan komunitas juga menunjukkan bahwa proses diskursus dalam platform media sosial sebenarnya terbatas oleh aturan yang telah ditetapkan oleh penyedia platform. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun terdapat ruang untuk diskusi dan interaksi, proses demokrasi yang seharusnya terjadi secara bebas dan terbuka sebagaimana dalam konsep public sphere, sebenarnya terbatas oleh aturan dan kontrol dari pihak platform.

Source: X.com

KESIMPULAN

Berdasarkan temuan dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa partisipasi khalayak dalam diskursus meme politik melalui media sosial memiliki dampak yang signifikan dalam proses demokrasi. Melalui analisis mendalam terhadap konten meme yang dihasilkan oleh akun @memefess, kita dapat melihat bagaimana participatory culture memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Pentingnya literasi digital dalam mengenali bias informasi, memahami algoritma media sosial, dan mengidentifikasi misinformasi juga menjadi sorotan dalam penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa dalam era digital ini, kemampuan untuk memilah informasi yang benar dan akurat sangatlah penting untuk menjaga dialog yang konstruktif dan demokrasi yang sehat. Metode penelitian kualitatif dan pendekatan studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini memberikan pemahaman yang mendalam terhadap fenomena participatory culture melalui meme. Dengan observasi langsung terhadap konten memedan interaksi yang terjadi di media sosial, peneliti dapat menggali wawasan yang kaya mengenai bagaimana meme mempengaruhi persepsi dan partisipasi publik dalam proses politik. Hal yang menjadi kelemahan dari penelitian ini ialah keterbatasan waktu dalam menyelesaikan penelitian ini. Keterbatasan waktu mengakibatkan dilakukannya filter terhadap meme yang dikumpulkan menjadi data penelitian. Meme yang dikumpulkan merupakan meme-meme dengan jumlah interaksi yang tinggi. Proses filter dalam proses pengumpulan meme berpotensi membuat data yang dikumpulkan tidak representatif terhadap kondisi keseluruhan. Selain itu, analisis terhadap diskursus yang terjadi dalam jangka waktu tersebut hanya berfokus terhadap konten meme. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut terhadap diskursus yang terjadi di dalam kolom komentar di masing-masing meme untuk dapat memperoleh pemahaman secarra utuh terhadap diskursus yang terjadi di dalam digital public sphere @memefess. Kelemahan lainnya ialah penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang terbatas dalam generalisasi hasil. Dalam penelitian yang lebih luas, penelitian ini dapat menggunakan metode kuantitatif yang memungkinkan untuk memperluas jangkauan dan memperkuat hasil.

REFERENSI

Fahmi, N. Arrijal. (2019). https://mojok.co/terminal/auto base-dan-kecenderungan bersembunyi-di-balik-akun anonim/ diakses 30 Maret 2024 

Firdaus, B. M., & Mahadian, A. B. (2019). Analisis Meme “ Jas Hilang ” ( Analisis Konten Pada Meme Gambar Dalam Postingan Akun Twitter @ Salzabillarm ). 6(2), 4715–4735.

Gerbner, George. (1967). “Cultivation: A Theoretical Perspective.” In: McQuail, Denis, editor, Mass Communication Theory. New York: Oxford University Press.

Habermas, J. (1991). The structural transformation of the public sphere. An inquiry into a category of bourgeois society (T. Burger, Transl.). The MIT Press.

Handini, V. A., & Dunan, A. (2021). Buzzer as the driving force for buzz marketing on Twitter in the 2019 Indonesian presidential election. International Journal of Science, Technology & Management, 2(2), 479–491. https://doi.org/10.46729/ijstm.v2i2.172

Keller, Kevin Lane, dan Philip Kotler. (2016). Komunikasi Pemasaran: Strategi dan Taktik. Penerbit: Prentice Hall.

Shifman, L. (2014). Memes In Digital Culture / Limor Shifman. In Mit Press Essential Knowledge Series. 

Tim O’Reilly dan Sarah Milstein. The Twitter Book 2nd Edition (USA: O’Reilly Media, Inc, 2009). h. 7.

Bolton, R., & Bolton@williams, R. (2005). Habermas’s Theory of Communicative Action And The Theory Of Social Capital. https://core.ac.uk/download/pdf/6223826.pdf

Mattila, H., & Nummi, P. (2022). the Challenge of the Digital Public Sphere: Finnish Experiences of the Role of social media in Participatory Planning. Planning Theory & Practice, 23(3), 406-422.‌

Kruse, L. M., Norris, D. R., & Flinchum, J. R. (2018). Social media as a public sphere? Politics on social media. The Sociological Quarterly, 59(1), 62-84.

Heriyanto. (2018). Thematic Analysis sebagai Metode Menganalisa Data untuk Penelitian Kualitatif. Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, dan Informasi, 2(3), 8. https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/anuva/article/view/3679

Hibatullah, Hana Subarashi (2021) EFEKTIVITAS PROGRAM TANGGUNG JAWAB SOSIAL (STUDI KASUS PT PERTAMINA PATRA NIAGA). Skripsi thesis, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia. http://repository.stei.ac.id/id/eprint/6507

Wardani, P. (2018). BUDAYA PARTISIPASI (PARTICIPATORY CULTURE) DI KALANGAN VLOGGER. Skripsi thesis, Universitas Airlangga. http://repository.unair.ac.id/id/eprint/75031

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *