Journalight

UI Journalism Studies

Feature General News

Menilik Program Pendidikan Militer Ala Kang Dedi: Apa Kabar Anak-Anak di Barak?

Deklarasi Penggunaan Kecerdasan Buatan

Artikel ini ditulis dengan bantuan AI (ChatGPT oleh OpenAI) dalam tahap perumusan ide dan pengumpulan serta interpretasi data. Semua sumber dikonfirmasi berdasarkan dokumen yang diverifikasi dan transkrip wawancara aktual.

Depok (04/06) – Bagi Maman, seorang siswa SMA kelas 12 di Bekasi, membuka ponsel dan membaca berita di media sosial beberapa bulan terakhir menyulut kecemasan baru dalam dirinya: anak nakal akan dikirim ke Barak Militer. “Emang beberapa dari kita ada yang ngerokok, cabut kelas, ya nakal-nakal biasa lah. Tapi kayaknya berlebihan kalo sampe dikirim ke barak, harusnya bisa didengerin aja masalahnya apa” ucap Maman merespon kebijakan baru Gubernur Jawa Barat yang viral akhir-akhir ini.

Sumber:Detik.com

Sejak bulan Mei 2025, program pengiriman ‘siswa bermasalah’ ke barak militer mulai dijalankan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Sebagaimana yang dilansir pada CNN Indonesia, sebanyak 273 siswa SMP/SMA di Bandung dikirim ke barak untuk mengikuti program pelatihan karakter dan kedisiplinan ala militer. Meskipun program pendidikan remaja nakal bukan lah sesuatu yang baru di dunia, kebijakan ini tetap menuai berbagai macam kontroversi dan diskusi di kalangan masyarakat. Beberapa ahli menyebutkan bahwa program ini beresiko menimbulkan trauma dan melanggar hak asasi anak, sementara sebagian orang tua menilai program ini cukup efektif.

Namun, apakah benar pendidikan ala militer menjadi kunci untuk menangani kenakalan remaja di Indonesia?

Kecemasan Baru Bagi Anak SMA

Bagi anak SMA, ketakutan akan dikirim ke barak militer menjadi momok kecemasan baru di tengah kegelisahan menentukan rencana studi lanjut setelah menamatkan SMA. Setidaknya itulah yang dirasakan Maman, seorang siswa SMA kelas 12 di salah satu SMA swasta di Bekasi. Awalnya, respon maman terhadap program tersebut cukup baik dan dirasa sebagai langkah yang cukup bagus. Namun demikian, mulai muncul kegelisahan jika ternyata dirinya lah yang dikirim ke barak militer. Dalam wawancara yang dilaksanakan pada hari Senin (02/06), Maman menyatakan kekhawatirannya “masa gua ngerokok2 kayak gini masuk barak militer”.

Menurut Maman, pendekatan militer dalam pendidikan remaja tidak bisa sepenuhnya diterima secara mentah-mentah. Maman menganggap bahwa beberapa remaja yang disebut ‘nakal’ pada dasarnya sedang mencari jati diri. “Banyak yang kayak gitu karena kesepian, kurang perhatian dari orang tua. Kadang guru juga udah enggak peduli. Lingkungan sosialnya juga berpengaruh.”

Siswa SMA dengan berbagai kegiatannya untuk mengisi waktu luang
Sumber:Dokumentasi Pribadi

Ia juga menekankan bahwa tidak semua bentuk kenakalan siswa perlu mendapatkan ‘hukuman militer’. “Kalo ngerokok? ya dikasih peringatan gitu. Baru kalo misalkan tawuran gitu, itu kan membahayakan berbagai pihak. Jadi mungkin bagi siswa-siswa yang gabut dan langsung tawuran, ya bisa dikirim” ucap Maman sambil tertawa sinis.

Barak Bisa Jadi Solusi, Tapi Harus Ada Takarannya

Di sisi lain, Pak Ahmad sebagai guru SMA swasta di Bekasi yang merangkap sebagai bagian pendisiplinan, memilih untuk bersikap netral terkait program barak militer milik Dedi Mulyadi. Baginya, program tersebut bisa menjadi alternatif yang cukup berani dalam menangani persoalan kenakalan remaja, meski ia sendiri lebih suka menyebutnya dengan “rasa penasaran remaja”.

Pada wawancara yang dilaksanakan di hari Senin (02/06), Pak Ahmad menyatakan bahwa program barak militer merupakan langkah baru yang dapat dibilang cukup bagus. Ia mengatakan “Kita bisa lihat dari unggahan Kang Dedi sendiri, anak-anak di sana banyak yang terlihat nyaman, bertemu teman baru, dan bahkan ada yang sampai diundang ke TV. Kalau mereka bisa lulus, itu tandanya ada perubahan”. 

Sumber:Dokumentasi Instagram @dedimulyadi71

Namun demikian, sebagai seorang guru yang berhadapan langsung dengan pelanggaran-pelanggaran atau ‘rasa penasaran’ siswa di lingkungan sekolah, ia menyadari bahwa terdapat akar permasalahan yang lebih mendalam. Dalam wawancara ia mengatakan “Kita harus lihat dulu permasalahannya… pasti ada faktor internal atau eksternal nya. Bisa jadi kesepian atau kurang mendapat perhatian orangtua. Sehingga akhirnya mereka melakukan hal yang mereka mau aja gitu”. Ia mengatakan bahwa pernah mendengar percakapan antara Dedi Mulyadi dengan salah satu murid yang dikirim ke barak, “Ternyata emang kurang perhatian dan lingkup sosialnya begitu” ujarnya.

Menurut Pak Ahmad, solusi utama terkait fenomena kenakalan remaja di Indonsia seharusnya menyasar keluarga dan sekolah. Ia bahkan mengusulkan agar pendidikan bagi orang tua dalam membesarkan anak menjadi program wajib. “Edukasi antar orang tua untuk memiliki anak untuk mendidiknya, untuk mengetahui mana yang bener dan mana yang salah” saran Pak Ahmad.

Menurutnya, pengalaman semi-militer seperti LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa) selama 2-3 hari justru bisa menjadi bentuk pendisiplinan yang cukup tanpa harus mengisolasi anak selama periode waktu yang lama. “Kita kan pernah juga tuh masuk barak waktu LDKS. Apalagi yang ikut paskib. Ya keras, tapi masih wajar.”

Program Paskibra bisa menjadi alternatif penidikan kedisiplinan bagi remaja
Sumber:Dokumentasi Pribadi

Dari AS hingga Korea Selatan: Jejak Global Military Boot Camp

Meskipun menuai berbagai kontroversi dan pandangan yang berbeda di kalangan masyarakat Indonesia, program pelatihan ala militer bagi remaja bermasalah bukanlah barang baru. Dilansir dari website resmi Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention (OJJDP), Amerika Serikat telah mengembangkan program juvenile boot campssejak tahun 1980-an. Hingga saat ini, program-program tersebut masih banyak dijalankan di berbagai negara bagian AS, salah satunya seperti yang bisa dilihat pada dokumenter singkat di bawah ini.

Adapun di Cina dan Korea Selatan, program serupa juga ditemukan untuk anak-anak yang dianggap ‘kecanduan internet’. Program ini dikelola otoritas militer atau bekerjasama dengan militer, berisi latihan fisik intensif dan tanpa akses gadget (digital detox) selama beberapa minggu. Program ini memiliki tujuan utama untuk mengubah kebiasaan negatif seperti kecanduan internet, menjadi gaya hidup lebih sehat dengan disiplin militer. Beberapa pihak melihat pendekatan ini sebagai metode yang kontroversial, meski beberapa lainnya memandangnya program ini sebagai inovasi penanganan masalah teknologi pada remaja.

Meskipun telah dilaksanakan di berbagai negara, program pendidikan militer yang keras pada nyatanya tidak menyelesaikan permasalahan kenakalan remaja. Youth Endowment Fund menyatakan bahwa program semacam boot campsbagi remaja tidaklah efektif untuk menurunkan tingkat kekerasan dan justru berpotensi menyebabkan kekerasan. Riset yang dilakukan justru menemukan bahwa remaja yang berpartisipasi melalui program boot camps justru memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam aksi kekerasan dan kejahatan sebesar 6%. 

Ahli pendidikan dan psikologi juga menyoroti banyak kekurangan. Pemilihan peserta yang hanya didasarkan pada rekomendasi sekolah dianggap tidak begitu tepat. Dilansir dari Liputan6, Psikolog anak dan remaja dari PION Clinician, Madasaina Putri, M.Psi menilai lingkungan pelatihan yang sangat militeristik dapat menimbulkan trauma, stres, dan memperkuat label negatif pada anak.

Langkah Selanjutnya: Antara Trauma dan Harapan

Di samping kritik yang terus datang, program pengiriman anak ke barak militer oleh Gubernur Jawa Barat tetap berjalan. Berdasarkan pandangan masyarakat dan para ahli, serta evaluasi dari program-program semisal di negara lain, diperlukan adanya pengawasan yang ketat terhadap jalannya program baru ini. Warga masyarakat Jawa Barat kini harus menunggu, apakah barak ini akan menjadi tempat pembinaan atau tempat penindasan baru bagi anak-anak bangsa?

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *

A passionate Communication Science student majoring in Media Studies at the Faculty of Social and Political Sciences,Universitas Indonesia. Have a profound interest in film and audiovisual production and passionate about digital storytelling.