Ananda Putri Susanto, Nayla Carissa Setiawan, Nurul Tsabita Ihsani, Rusydi Alkhalifah, Sayed Alif Fahrezi
Fenomena Di Balik Scroll Tanpa Henti di Kalangan Mahasiswa
“Scroll TikTok sebentar dulu deh, tiba-tiba sudah satu jam.” Tanpa sadar, kita sudah menonton puluhan video dengan durasi tak lebih dari semenit. Fenomena ini bukan hal baru, terutama bagi Generasi Z di Indonesia. Dalam sehari mereka dapat menghabiskan waktu 1–6 jam per hari di media sosial, menjadikannya sumber utama informasi berita terkini (Yonatan, 2024; Muhammad, 2024). Selain itu aktivitas yang dilakukan di media sosial juga beragam, misalnya mengunggah postingan, memberikan komentar atau like, atau sekadar melakukan scrolling video tanpa henti.
Menurut laporan Indonesia Gen Z Research tahun 2022, sebanyak 75% Gen Z lebih memilih konten video dibandingkan jenis konten lainnya (Hasya, 2023). Popularitas platform media sosial yang berbasis video seperti Instagram, TikTok, dan YouTube membuat pola konsumsi digital semakin didominasi oleh konten visual berdurasi pendek atau yang disebut sebagai Short Form Video. Di balik popularitas konsumsi SFV ini memunculkan pertanyaan kritis mengenai potensi dampak negatif yang dihasilkan. Durasi video yang singkat dan sistem rekomendasi otomatis mendorong pengguna untuk menonton video secara berurutan (Park & Jung, 2024). Fenomena ini menunjukkan potensi penggunaan berlebihan yang memicu gangguan tidur, kecemasan, hingga penurunan fokus.
Dampak negatif SFV menjadi perhatian serius, terutama bagi generasi muda, yang lebih rentan mengalami gangguan mental akibat penggunaan media sosial yang berlebihan. Sebagai respons terhadap dampak negatif tersebut, konsep detoksifikasi media sosial mulai diperkenalkan sebagai solusi untuk mengurangi tekanan sosial dan efek negatif dari platform digital. Studi terdahulu menemukan bahwa detoks media sosial dapat meningkatkan kualitas well-being, memperkuat koneksi sosial, menurunkan FOMO, dan meningkatkan produktivitas (Booker dalam Nguyen, 2022; Nguyen, 2022; El-Khoury et al., 2021; Brown & Kuss, 2020).
Namun, praktik detoksifikasi media sosial tidaklah mudah, algoritma membuat pengguna sulit berhenti mengonsumsi konten. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa detoks dapat menyebabkan perasaan terputus dari lingkungan sosial yang berpotensi menurunkan kualitas well-being seseorang (Brown & Kuss, 2020). Meskipun terlihat adanya dampak negatif dari detoksifikasi media sosial terhadap kesejahteraan individu, studi terbaru menyatakan bahwa temuan yang didapat oleh banyak studi terdahulu belum menunjukkan hasil yang konsisten daripada dampak detoksifikasi media sosial terhadap kualitas well-being seseorang (Lemahieu et al., 2025).
Untuk menjawab fenomena ini, kami melakukan penelitian kualitatif terhadap 10 mahasiswa S1 dengan rentang usia 19–23 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dampak detoksifikasi SFV terhadap well-being mahasiswa. Dengan menggunakan pendekatan multiple case study dan triangulasi data melalui observasi, diari harian, dan wawancara mendalam, kami menemukan dinamika psikologis yang menarik selama proses detoksifikasi SFV yang dilakukan informan kami.
Oleh karena itu, yuk, simak hasil penelitian kami untuk melihat dampak yang dihasilkan dari detoksifikasi konsumsi SFV!
Hubungan Antara Pola Konsumsi Short Form Video, Detoksifikasi, dan Well-Being
Penelitian ini berangkat dari fenomena meningkatnya konsumsi SFV di platform seperti Instagram, Tiktok, dan Youtube di kalangan mahasiswa. Beberapa penelitian terdahulu telah menjelaskan fenomena ini secara umum. Berdasarkan penelitian oleh Mursyid dan Dewi (2024), algoritma SFV yang adaptif terhadap preferensi pengguna menciptakan ilusi bahwa ada video menarik berikutnya yang harus ditonton sehingga sulit bagi pengguna untuk menghentikan konsumsi SFV mereka. Dalam jangka panjang, pola konsumsi SFV tertentu dapat berkontribusi pada ketergantungan terhadap SFV dan mengurangi kontrol diri dalam mengatur waktu penggunaan media sosial.
SFV adalah video digital yang berdurasi singkat, biasanya kurang dari satu menit dan dirancang agar mudah dikonsumsi secara cepat. SFV sering kali memanfaatkan kombinasi visual yang menarik, seperti teks, gambar, dan musik untuk menyampaikan informasi atau hiburan dalam waktu yang terbatas. Keunggulan utama dari SFV adalah kemampuannya dalam menarik perhatian audiens dalam waktu singkat dan memfasilitasi konsumsi konten secara terus-menerus (Xie et al., 2023).
Pola konsumsi SFV yang intensif ini mengarah pada dampak negatif terhadap well-being. Sebagaimana ditunjukkan oleh Dodemaide et al. (2022) dan Glaser et al. (2018), penggunaan media sosial secara berlebihan dapat menimbulkan kecanduan, memperburuk kesehatan mental, dan meningkatkan risiko depresi, kesepian, serta gangguan psikologis lainnya. Hal serupa juga ditemukan oleh Zhu et al. (2024), yang menyatakan bahwa ketergantungan pada SFV berkorelasi dengan stres akademik dan penurunan kontrol atensi.
Sebagai respon terhadap dampak tersebut, muncul praktik detoksifikasi media sosial, yaitu upaya mengurangi atau menghentikan konsumsi media sosial, dalam hal ini SFV untuk mengembalikan keseimbangan mental dan emosional (Seekis et al., 2025; Nguyen, 2023). Detoksifikasi menjadi bagian penting dalam memitigasi efek negatif dari konsumsi digital, dengan harapan meningkatkan kembali kualitas well-being individu.
Dalam konteks ini, penelitian ini ingin mengkaji peran detoksifikasi terhadap pengalaman subjektif mahasiswa, khususnya bagaimana proses ini berdampak pada kondisi psikologis mereka sebelum, selama, dan setelah detoksifikasi. Detoksifikasi dipandang berpotensi menjadi intervensi yang relevan untuk meningkatkan well-being, sebagaimana dikemukakan oleh Hunt et al. (2018) bahwa pembatasan penggunaan media sosial dapat menurunkan perasaan kesepian dan depresi.
Adapun konsep well-being yang dimaksud mengacu pada kesejahteraan mental, emosional, dan sosial individu (Popat dan Tarrant, 2023; CDC, 2018). Dalam kajian literatur Popat dan Tarrant (2023), terdapat lima tema yang menunjukkan adanya korelasi antara media sosial yang berdampak pada kesehatan mental dan kesejahteraan, yaitu ekspresi diri dan validasi, perbandingan penampilan dan cita-cita tubuh, tekanan untuk tetap terhubung, keterlibatan sosial dan dukungan teman sebaya, dan paparan terhadap perundungan dan konten berbahaya. Masa remaja dan dewasa muda menjadi periode krusial dalam pembentukan identitas dan stabilitas psikologis, sehingga sangat rentan terhadap tekanan yang berasal dari konsumsi media digital (Grant & Potenza, 2009).
Dengan demikian, tujuan penelitian ini akan menganalisis lebih lanjut hubungan antara pola konsumsi SFV, dampak negatif terhadap well-being, dan upaya detoksifikasi terhadap pengalaman subjektif sebagai strategi untuk mengatasi tantangan kesejahteraan di kalangan mahasiswa.
Self Regulation Theory
Pilihan untuk melakukan detoksifikasi SFV dan strategi yang diterapkan ketika melakukan detoks dapat dikaji melalui Self Regulation Theory. Bandura (1991) menyatakan bahwa teori ini merujuk pada proses individu mengaktifkan dan mempertahankan pola pikir, perilaku, serta emosi untuk mencapai tujuan pribadi. Self regulation terbagi menjadi tiga tahap, yaitu monitoring, evaluation, dan reaction.
Dalam konteks detoksifikasi SFV, individu umumnya mengalami ketiga tahapan dalam mengambil keputusan. Pada tahap monitoring,individu menyadari bahwa konsumsi SFV berlebihan telah berpengaruh kepada kesejahteraan mental dan produktivitas. Pada tahapan evaluation, individu menilai bahwa konsumsi SFV bertentangan dengan nilai pribadi, seperti keseimbangan digital dan fokus. Berdasarkan evaluasi ini, individu kemudian mengambil tindakan detoksifikasi SFV dan menerapkan strategi sesuai kebutuhan masing-masing (self-reaction).
Tindakan ini didukung oleh self efficacy, yakni keyakinan individu untuk menyesuaikan diri dengan perilaku baru. Ketika berhadapan dengan situasi baru, individu akan menemukan cara dalam mengatasi situasi tersebut. Di penelitian terdahulu, Keller et al. (2021) menunjukkan bahwa self efficacymenjadi mekanisme penting dalam mengurangi penggunaan smartphone bermasalah.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sudut pandang fenomenologi untuk menggali secara mendalam pengalaman mahasiswa dalam menjalani detoksifikasi konten SFV dari tiga pilihan platform, yaitu Instagram Reels, TikTok, dan YouTube Shorts. Fokus utama penelitian ini adalah memahami perubahan psikologis, kognitif, dan perilaku yang dialami mahasiswa selama menjalani detoks.
Partisipan dipilih melalui teknik purposive sampling, yaitu pemilihan secara sengaja berdasarkan relevansi dengan fokus penelitian. Dalam hal ini, peneliti memilih mahasiswa angkatan 2021-2023 yang aktif menggunakan dan mengonsumsi SFV minimal dua platform, serta bersedia menjalani proses detoks selama lima hari. Ketentuan detoks meliputi pengurangan durasi tontonan SFV maksimal 30 menit per hari, penggunaan aplikasi pemantau screen time (Stay Free), dan komitmen untuk mencatat perubahan selama detoks berlangsung. Kriteria ini dirancang agar partisipan benar-benar mengalami dinamika digital yang menjadi inti penelitian.
Untuk menjamin kedalaman dan validitas data, penelitian ini menggunakan teknik triangulasi dengan tiga pendekatan. Pertama, triangulasi metode, yaitu penggabungan tiga teknik pengumpulan data: refleksi diari, observasi digital, dan wawancara mendalam. Selama lima hari masa detoks, partisipan diminta menulis refleksi harian yang merekam perasaan, hambatan, dan strategi pengendalian diri. Pertanyaan utama dalam diari adalah: “Bagaimana perasaan dan tantangan yang Anda hadapi hari ini terkait upaya mengurangi konsumsi SFV? Jelaskan perubahan emosional, hambatan yang terjadi, atau strategi yang digunakan.” Selain itu, peneliti melakukan observasi terhadap perilaku digital dan aspek well-being partisipan sebelum dan selama masa detoks. Observasi ini berguna untuk menangkap perubahan non-verbal atau perilaku tidak sadar yang mungkin tidak terekam dalam narasi peserta. Setelah detoks selesai, wawancara mendalam dilakukan secara semi-terstruktur untuk menggali pemaknaan subjektif partisipan terhadap pengalaman mereka, mencakup tema-tema seperti perasaan selama detoks, dinamika pengendalian diri, perubahan dalam relasi sosial, dan dampaknya terhadap kesejahteraan psikologis. Kedua, triangulasi data, dengan membandingkan dan mengontraskan hasil dari berbagai sumber data seperti transkrip wawancara, catatan lapangan hasil observasi, dan diari reflektif partisipan. Pendekatan ini memastikan bahwa interpretasi temuan tidak bersifat parsial atau bias dari satu jenis data saja. Ketiga, triangulasi peneliti, dilakukan dengan cara memverifikasi dan mereview data oleh minimal tiga peneliti untuk menjamin objektivitas dan konsistensi dalam proses analisis. Setiap peneliti melakukan pembacaan silang terhadap transkrip dan kode tematik, serta berdiskusi dalam forum analisis untuk mencapai kesepakatan makna.

Untuk mendukung proses analisis data secara sistematis, tim peneliti menggunakan Taguette, sebuah perangkat lunak bantu kualitatif berbasis digital yang memfasilitasi proses open coding, kategorisasi, dan penemuan tema-tema kunci. Selain itu, word cloud digunakan sebagai alat visualisasi untuk mengidentifikasi kata-kata yang paling sering muncul dalam narasi partisipan, yang memberikan gambaran awal mengenai fokus emosi, tantangan, atau strategi yang dominan selama masa detoks. Visualisasi ini tidak hanya membantu dalam menginterpretasikan pola tematik secara eksploratif, tetapi juga berperan dalam validasi awal sebelum dilakukan analisis mendalam berbasis tematik.
Lebih Fokus dan Produktivitas Meningkat
Bagi mayoritas informan, detoksifikasi SFV memberikan dampak signifikan kepada produktivitas mereka. Dampak tersebut meliputi kemampuan menyelesaikan tugas secara cepat tanpa adanya distraksi media sosial, pola tidur yang lebih teratur, dan peningkatan melakukan aktivitas fisik.
Salah satu informan, Sep (Laki-laki, 23 tahun, Jurusan Sosiologi), menggambarkan bagaimana detoksifikasi membantunya lebih fokus dalam mengerjakan tugas:
“Untuk menyelesaikan pekerjaan gua dan itu jadi lebih terarah dan terfokus gitu.” (Wawancara, 29 April 2025)
Hal senada diungkapkan oleh Qon (Perempuan, 19 tahun, Jurusan Ilmu Komunikasi), yang merasakan manfaat pada pola tidurnya sehingga tidak mengantuk di kelas:
“Jam tidur jadi lebih teratur. Jadi di kelas juga gak ngantuk.” (Wawancara, 29 April 2025)
Sementara itu, Ami (Laki-laki, 20 tahun, Jurusan Ilmu Komunikasi), melalui refleksi diarinya, mengungkapkan bahwa detoksifikasi mendorongnya untuk menggunakan media sosial secara lebih bijak dan meningkatkan aktivitas fisiknya:
“Detoks membuat saya membuka media sosial seperlunya dan lebih banyak melakukan aktivitas fisik, seperti bersepeda dan bersih-bersih kamar.” (Refleksi Diari, 22 April 2025)
Perubahan perilaku Ami (Laki-laki, 20 tahun, Jurusan Ilmu Komunikasi) ini juga terkonfirmasi melalui observasi digital yang dilakukan oleh peneliti. Selama periode detoks media sosial, Ami menunjukkan kebiasaan baru berupa aktivitas fisik, yaitu bersepeda. Hal ini terlihat dari unggahan konten video informatif di akun Instagram miliknya yang mendokumentasikan kegiatannya melakukan tantangan bersepeda ke kampus selama 10 hari.
Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan detoks media sosial dapat meningkatkan kualitas well-being, memperkuat koneksi sosial, menurunkan FOMO, dan meningkatkan produktivitas (El-Khoury dkk., 2021).
Scroll yang Berujung Tekanan Mental
Sebelum menjalani detoksifikasi, banyak informan mengaku mengalami tekanan mental akibat mengonsumsi SFV. Kondisi seperti overthinking, membandingkan diri sendiri dengan orang lain, hingga rasa tidak berharga kerap muncul saat mereka menyaksikan pencapaian dan kehidupan orang lain di media sosial.
Aud (Perempuan, 19 tahun, Jurusan Ilmu Komunikasi) menggambarkan bagaimana konsumsi SFV memicu FOMO dan rasa iri terhadap pencapaian teman-temannya:
“Kalau aku malah sekarang lebih ke FOMO dan akhirnya jatuhnya iri. Karena di media sosial aku bisa ngeliat temen-temen aku tuh banyak banget yang lomba. Jadi yang kayak.. Kok gue nggak bisa ya?” (Wawancara, 28 April 2025)
Hal ini selaras dengan dampak buruk internet bahwa efeknya secara tidak langsung dapat meningkatkan risiko depresi dan kecemasan (Glaser dkk., 2018).
Gelisah, Tertekan, dan Cemas
Detoksifikasi SFV memiliki pengaruh negatif kepada sisi emosional informan. Empat dari sepuluh informan merasa gelisah, cemas, atau bingung ketika awal melakukan detoks. Hal ini tergambar dari berbagai tanggapan informan berikut:
Temuan ini sejalan dengan studi Stieger & Lewetz (2018) yang menyatakan bahwa detoks media sosial dapat menimbulkan craving, kecemasan, bahkan rasa kesepian.
Strategi Detoks Ala Mahasiswa: Dari Merajin hingga Menulis Puisi
Dalam menjalankan detoksifikasi, masing-masing informan mengembangkan strategi yang sangat personal dan menyesuaikan dengan kebutuhan mereka. Berbagai aktivitas pengganti dilakukan, mulai dari olahraga, masak, membuat beads, menulis puisi, hingga bermain dengan saudara.
Qon (Perempuan, 19 tahun, Jurusan Ilmu Komunikasi) menjelaskan strateginya dengan mengganti kebiasaan scrollSFV dengan aktivitas yang lebih menenangkan:
“Mengganti kebiasaan tersebut dengan aktivitas lain yang lebih tenang, seperti menulis diari atau puisi dan membaca buku.” (Wawancara, 29 April 2025)
Senada dengan itu, Pin (Perempuan, 20 tahun, Jurusan Ilmu Komunikasi) berbagi pengalamannya dalam mengisi waktu luang selama detoks:
“Aku kemarin sempat buat beads karena gak ada kegiatan untuk media sosial.” (Wawancara, 30 April 2025)
Temuan ini memperkuat Teori Self Regulation, tepatnya dalam tahapan self-reaction bahwa mahasiswa mampu menciptakan cara mereka sendiri untuk melawan kebiasaan scroll SFV yang berlebihan. Akan tetapi, hal ini berlawanan dengan penelitian sebelumnya yang melihat bahwa detoks media sosial dapat menimbulkan kebosanan(Stieger & Lewetz, 2018).
Pengalihan Fokus ke Platform Lain
Alih-alih menjadi lebih produktif, sejumlah informan justru mengalihkan fokus ke platform lain selama menjalani detoksifikasi. Strategi detoks yang dilakukan cenderung berdampak negatif dan mengganggu manajemen waktu selama periode detoks. Beberapa informan mengaku ketagihan memainkan permainan atau membuka Twitter hingga berjam-jam.
Tho (Laki-laki, 22 tahun, Jurusan Manajemen Pendidikan) mengungkapkan bahwa ia justru menjadi ketagihan memainkan permainan hingga larut malam:
“Saya malah jadi ketagihan main game sampai larut malam.” (Wawancara, 2 Mei 2025)
Senada dengan itu, Ath (Laki-laki, 20 tahun, Jurusan Ilmu Komunikasi) menceritakan bagaimana pengalihan ke Twitter justru menimbulkan stres baginya:
“Gue kayak ngerasa kok jadi banyak buka Twitter ya terus malah bikin gue stres.” (Wawancara, 25 April 2025)
Disamping itu berdasarkan hasil observasi digital yang dilakukan terhadap informan Tho, 22 tahun. Terlihat pada cuplikan layar screen timeketika melakukan detoksifikasi ia mengalihkan fokus ke platform lain yaitu game The Walking Zombie 2 yang ia mainkan selama 7 jam 22 menit pada hari kedua proses detoksifikasi.
Strategi ini merupakan reaksi negatif dari self regulationindividu dalam menghadapi kebiasaan baru, yakni detoksifikasi SFV.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Detoks SFV?
Penelitian ini menunjukkan bahwa detoksifikasi SFV bukan hanya upaya mengurangi screen time, tetapi proses reflektif yang membawa mahasiswa pada pemahaman baru soal hubungan mereka dengan teknologi.
Penutup
Penelitian ini menyimpulkan bahwa detoksifikasi short form video (SFV) membawa dampak yang kompleks bagi well-being mahasiswa, mulai dari peningkatan fokus dan produktivitas hingga munculnya kecemasan dan kompensasi digital di platform lain. Temuan ini memperkuat relevansi teori Self Regulation dan memperkaya literatur tentang keseimbangan digital di kalangan dewasa muda. Implikasi akademiknya menunjukkan perlunya studi lanjutan yang lebih mendalam terhadap faktor psikologis dan sosial dalam keberhasilan detoks. Secara praktis, hasil ini mendorong perguruan tinggi untuk merancang program detoks yang tidak hanya membatasi screen time, tapi juga menyediakan dukungan emosional, serta mendorong pengembang platform digital untuk menghadirkan fitur pengingat yang ramah mental dan mendukung well-beingpengguna.
Infografis kelompok

Daftar Pustaka
