
Pernahkah kamu merasa waktumu habis begitu saja antara kelas, pekerjaan, dan scrollmedia sosial? Kamu tidak sendiri. Banyak mahasiswa saat ini menjalani peran ganda sebagai pelajar dan pekerja, sembari terus terhubung ke dunia digital. Akan tetapi, apakah media sosial membantu mereka jadi lebih produktif, atau justru semakin stres?
Di era digital ini, media sosial sudah menjadi bagian penting dari kehidupan mahasiswa. Dimulai dari mencari informasi tugas, promosi bisnis kecil-kecilan, sampai membangun jaringan kerja, semuanya bisa dilakukan lewat layar ponsel. Data menunjukkan bahwa pada awal 2025, ada lebih dari 212 juta pengguna internet di Indonesia, dengan 143 juta di antaranya aktif menggunakan media sosial (Kemp, 2025). Jumlah yang menakjubkan ini menunjukkan betapa besarnya peran media sosial dalam keseharian kita. Sementara itu, bekerja sambil kuliah juga makin umum. Menurut data Badan Pusat Statistik, hampir 7% pelajar usia 10–24 tahun di Indonesia menjalani dua peran ini sekaligus (Databoks, 2021). Bahkan, lebih dari 25% mahasiswa di Yogyakarta saja sudah bekerja sambil kuliah. Banyak dari mereka yang berwirausaha atau magang (Zulfikar, n.d.).
Kemudahan akses teknologi ini seperti pisau bermata dua. Media sosial memang bisa membantu produktivitas, misalnya untuk mencari informasi cepat, diskusi tugas, atau membangun jaringan kerja. Tapi, di sisi lain, penggunaannya yang berlebihan bisa menyebabkan gangguan seperti stres, susah fokus, hingga Fear of Missing Out (FoMO) dan kecanduan media sosial.
Teori dan Konsep
Kerangka teoritis dalam penelitian ini dibentuk dari tiga teori utama dan satu teori pendukung yang saling melengkapi untuk menjelaskan hubungan antara media sosial dan produktivitas mahasiswa yang kuliah sambil bekerja.
Pertama, Uses and Gratification Theory (UGT) dipakai sebagai fondasi untuk memahami mengapa mahasiswa menggunakan media sosial. Dalam konteks ini, media sosial bukan sekadar hiburan, tapi jadi alat untuk memenuhi kebutuhan informasi, komunikasi, dan profesional. Ini menjelaskan sisi positif dan fungsional media sosial bagi mahasiswa pekerja.
Namun, UGT tidak cukup untuk menjelaskan sisi gelapnya. Karena itu, Digital Distraction Theory (DDT) masuk sebagai penyeimbang. DDT membantu memahami bagaimana media sosial bisa jadi sumber gangguan: bikin terdistraksi, susah fokus, bahkan lelah mental. Jadi, kalau UGT menjelaskan “kenapa digunakan”, DDT menjawab “apa risikonya”.
Lalu, di tengah tarik menarik antara manfaat dan distraksi, Moral Responsibility Theory (MRT) menjelaskan peran aktif mahasiswa dalam mengatur diri sendiri. Teori ini menekankan bahwa mahasiswa punya tanggung jawab moral untuk mengendalikan penggunaan media sosial mereka, bukan hanya mengikuti arus digital secara pasif.
Terakhir, semua dinamika ini diikat oleh Model of Media Multitasking (MMM), yang menjelaskan bahwa mahasiswa sering berpindah antara dua mode:
- Eksploitasi (penggunaan media sosial yang produktif)
- Eksplorasi (penggunaan impulsif tanpa arah)
Model ini memberi kerangka untuk membaca pola-pola perilaku mahasiswa dalam realitasnya: terkadang mereka fokus, kadang juga terdistraksi, dan itu berubah-ubah tergantung konteks dan strategi pribadi.
Bagaimana Penelitiannya Dilakukan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma interpretatif. Artinya, peneliti tidak sekadar mencari angka atau data statistik, tetapi lebih tertarik memahami makna di balik pengalaman mahasiswa FISIP UI yang menjalani peran ganda sebagai pelajar dan pekerja. Fokus utama penelitian ini adalah untuk menggali bagaimana media sosial berperan, sebagai pendukung atau justru penghambat dalam produktivitas mereka.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, data dikumpulkan melalui tiga metode utama. Pertama, wawancara mendalam dilakukan untuk mengeksplorasi pandangan, kebiasaan, serta strategi para mahasiswa dalam menggunakan media sosial. Dari sini, peneliti mendapatkan gambaran yang kaya tentang bagaimana media sosial digunakan, baik untuk keperluan akademik maupun pekerjaan. Lalu wawancara kedua dilaksanakan secara online untuk menggali perspektif para narasumber mengenai dampak media sosial untuk kesehatan mental.
Kedua, dilakukan observasi langsung di lingkungan kampus untuk melihat bagaimana mahasiswa membagi waktu antara kuliah, bekerja, dan bermain media sosial dalam kehidupan nyata. Ketiga, peneliti juga melakukan observasi digital terhadap aktivitas para informan di media sosial seperti Instagram, WhatsApp, dan TikTok. Observasi ini membantu memperkuat atau membandingkan data dari wawancara, sekaligus memberi konteks yang lebih utuh tentang pola penggunaan media sosial.
Untuk memastikan bahwa data yang diperoleh benar-benar dapat dipercaya dan tidak bias, penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah cara memverifikasi kebenaran data dengan membandingkan informasi dari berbagai metode dan sumber. Dalam hal ini, informasi dari wawancara dicocokkan dengan transkrip wawancara, catatan observasi langsung, serta dokumentasi digital, termasuk foto tangkapan layar dari unggahan media sosial informan dan dokumentasi saat proses wawancara berlangsung. Triangulasi ini membantu memperkuat temuan, menghindari bias, dan memastikan bahwa interpretasi peneliti benar-benar mencerminkan kenyataan yang dialami narasumber. Hasil dari wawancara sudah diverifikasi oleh tiga peneliti dengan temuan observasi lapangan dan aktivitas digital informan. Ketika data dari ketiga metode ini menunjukkan pola yang konsisten, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa temuan tersebut akurat. Sebaliknya, jika ada perbedaan, maka hal itu justru membuka ruang refleksi dan interpretasi yang lebih dalam.
Banyak Sosok, Satu Realita
Dalam penelitian ini, kami tidak hanya mencari narasumber sembarangan. Kami memilih sekelompok mahasiswa FISIP UI yang menjalani peran ganda: sebagai pelajar dan pekerja di tengah derasnya arus digital. Mereka adalah representasi nyata dari generasi multitasking yang harus membagi fokus antara kelas Zoom, kerjaan deadline, dan notifikasi media sosial yang tak pernah berhenti. Meski berasal dari berbagai program studi, mulai dari Ilmu Komunikasi hingga Kriminologi. para narasumber ini punya satu kesamaan utama: mereka semua adalah mahasiswa yang kuliah sambil bekerja dan aktif menggunakan media sosial. Ada yang magang di agensi public relations, menjadi presenter, menangani sosial media untuk festival musik, hingga menjalani usaha sendiri sebagai makeup artist dan event organizer. Beberapa dari mereka bekerja dengan jadwal tetap seperti WFO atau hybrid, sementara lainnya mengambil pekerjaan lepas yang waktunya dinamis dan kadang tak terduga.
Para narasumber ini dipilih secara selektif menggunakan metode purposive random sampling. Artinya, mereka dipilih karena memiliki kriteria pengalaman yang sesuai dengan fokus penelitian, yaitu aktif kuliah sambil bekerja, serta intens menggunakan media sosial. Selain itu, mereka juga terbuka untuk berbagi cerita dan refleksi secara mendalam. Mereka bukan hanya informan, tetapi juga storyteller yang membawa kita memahami lebih jauh bagaimana generasi mahasiswa hari ini mengelola waktu, tekanan, dan distraksi digital dalam keseharian mereka.
Ritme Hidup dalam Gambar
Gambar pertama di sebelah kiri merupakan hasil dokumentasi observasi kami terhadap salah satu narasumber di lingkungan kampus, yang diambil dari unggahan Instagram Story miliknya. Gambar di tengah memperlihatkan momen wawancara bersama narasumber lain, sementara gambar ketiga menggambarkan hasil observasi digital terhadap gaya hidup narasumber lain di tengah kesibukannya bekerja, yang juga dibagikan melalui Instagram Story.

Media Sosial: Kawan Sekaligus Lawan Produktivitas?
Jawabannya: media sosial bisa menjadi penyelamat sekaligus jebakan. Tetapi yang menentukan, bukan teknologinya, melainkan penggunanya.
Penelitian kami menemukan bahwa mahasiswa yang memegang dua peran sekaligus (kuliah dan bekerja) tidak hanya rentan terhadap distraksi digital, tetapi juga menunjukkan upaya aktif dalam mengelola penggunaan media sosial secara sadar dan strategis. Mereka bukan sekadar korban notifikasi, tetapi juga aktor yang sadar tujuan.
Hal ini sejalan dengan Uses and Gratification Theory(UGT), yang menjelaskan bahwa individu menggunakan media sosial secara aktif untuk memenuhi kebutuhannya—baik akademik, profesional, hingga relasi (Rubin, 2002). Kami menemukan bahwa sebagian mahasiswa menggunakan media sosial untuk mencari informasi magang, membangun personal branding, hingga mengakses materi kuliah dari komunitas digital.
“Kerja di marketing agency bikin aku harus scroll TikTok setiap hari.”
— Informan ZF, Mahasiswi Ilmu Komunikasi(Wawancara, 16 April 2025)
Namun, sejalan dengan Digital Distraction Theory (DDT), media sosial juga terbukti bisa mengganggu fokus kerja dan belajar. Mahasiswa mengaku bahwa tanpa kontrol diri, mereka bisa terjebak scrolling tanpa henti, yang menyebabkan kelelahan kognitif, gangguan tidur, dan penurunan kualitas pekerjaan.
“Gampang banget capek padahal gak ngapa-ngapain, cuma scroll medsos doang.”
— Informan ZF, Mahasiswi Ilmu Komunikasi(Wawancara, 16 April 2025)
Penggunaan media sosial oleh mahasiswa pekerja tidak selalu berjalan lurus. Ada saat di mana mereka menggunakannya untuk tujuan spesifik seperti mencari referensi tugas atau pekerjaan. Namun, dalam hitungan detik, mereka bisa saja terdistraksi oleh konten yang tak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang sedang mereka kerjakan.
Fenomena ini sangat relevan dengan Model of Media Multitasking (MMM) (Wiradhany, 2021), yang menjelaskan bahwa individu terus-menerus berpindah antara dua mode penggunaan media: eksploitasi (penggunaan terarah, produktif) dan eksplorasi (penggunaan impulsif, tanpa tujuan).
“Sering, kadang gue mulai dari buka sosmed buat kerjaan, tapi lama-lama jadi lihat konten yang nggak ada hubungannya sama kerjaan.”
— Informan RAMY Mahasiswi Ilmu Komunikasi(Wawancara, 17 April 2025)
Strategi Cerdas Mahasiswa Menjinakkan Sosial Media
Daripada tunduk pada distraksi, para mahasiswa justru menciptakan strategi kreatif dan aplikatif agar tetap produktif. Inilah bentuk nyata dari Moral Responsibility Theory(MRT), bahwa individu bertanggung jawab atas bagaimana ia menggunakan media, termasuk bagaimana mengendalikan diri demi menjaga produktivitas (Strawson, 1962).

1. Aktifkan Mode DND (Do Not Disturb)
Fitur yang terlihat sepele ini justru jadi “tameng utama” para mahasiswa agar tetap fokus, baik saat belajar maupun bekerja.
“HP gue tuh selalu DND. Supaya gak ke-distract sama notif atau chat yang gak penting.” — Informan ZF, Mahasiswi Ilmu Komunikasi(Wawancara, 16 April 2025)
Langkah ini menjadi refleksi kontrol diri yang konkret dalam membatasi akses media sosial secara real time.
2. Teknik Pomodoro
Bekerja 25 menit, istirahat 5 menit. Metode ini menjadi jurus andalan banyak informan untuk menghindari godaan scrolling berjam-jam.
“Kalau lo mau coba, coba aja Pomodoro. Jujur otak gue lebih fokus kalau kayak gitu.” – Informan CHH, Mahasiswi Ilmu Politik(Wawancara, 17 April 2025)
Dengan membagi waktu kerja dalam interval pendek, mahasiswa dapat menyelesaikan tugas lebih efisien dan terhindar dari godaan multitasking digital.
3. Batasi Waktu Media Sosial
Beberapa informan secara sadar mengatur waktu maksimal penggunaan TikTok atau Instagram agar tidak kebablasan.
“TikTok cuma 3 jam sehari. Lebih dari itu, gue stop.” – Informan SA, Mahasiswi Antropologi(Wawancara, 12 April 2025)
Langkah ini merupakan bentuk kedisiplinan digital yang bertujuan melindungi ritme produktivitas harian.
4.To-Do List& Skala Prioritas
Daftar tugas dan skala prioritas bukan hanya membantu fokus, tapi juga menyadarkan mereka kapan harus berhenti dari dunia digital.
“Gue baca lagi catatan prioritas gue biar sadar harusnya gak buka TikTok terus.” – Informan BW, Mahasiswa Sosiologi(Wawancara, 28 April 2025)
To-do list menjadi alat sederhana namun efektif untuk memperkuat kontrol diri.
5. Jadwal Harian & Agenda Digital
Google Calendar atau agenda manual digunakan untuk menetapkan jam khusus buka media sosial, tanpa mengganggu agenda utama.
“Gue set waktu buat buka media sosial, malam hari aja setelah semua kegiatan kelar.” – Informan AKD, Mahasiswa Ilmu Politik
Pengelolaan waktu ini menunjukkan pendekatan strategis dalam menyeimbangkan produktivitas dan relaksasi digital.
6. Pisahkan Diri dari Smartphone
Beberapa memilih langkah ekstrem tapi efektif: mengunci atau menyembunyikan HP.
“Kadang gue tutup HP pakai bantal aja biar gak kepegang.” – Informan YS, Mahasiswi Ilmu Komunikasi(Wawancara, 16 April 2025)
Hasil observasi lapangan (FISIP UI, 16 April) juga menunjukkan bahwa Informan YS konsisten tidak menggunakan HP-nya selama kuliah dan justru fokus penuh pada diskusi kelas.
Yang menarik, topik seperti self-control, media sosial positif, dan mental health lebih sering disuarakan oleh mahasiswa perempuan, menunjukkan adanya kesadaran emosional yang lebih ekspresif. Sebaliknya, mahasiswa laki-lakicenderung menekankan isu seperti manajemen waktu dan konsumsi jenis konten, mengindikasikan pendekatan yang lebih sistematis terhadap produktivitas digital.
Tantangan Mental Health
Menjalani dua peran secara bersamaan tentu penuh tantangan. Studi dari UIC School of Health Sciences (2019) menyebutkan bahwa mahasiswa pekerja rentan stres, kelelahan, dan penurunan performa akademik. Temuan kami mendukung hal ini, terutama dalam isu tekanan mental dan manajemen emosi.
“Konten media sosial juga bisa trigger insecurity.”
— Informan KAMahasiswi Ilmu Komunikasi(Wawancara, 17 April 2025)
Penggunaan media sosial secara intensif, terutama dalam rutinitas padat, ternyata bukan tanpa risiko. Beberapa informan menyebut mengalami burn out digital, yaitu kelelahan akibat terlalu lama berada dalam ekosistem media sosial.
“Main sosial media tuh capek, jadi gue tidur. Karena pasti capek.” – Informan CHH,Mahasiswi Ilmu Politik(Wawancara, 17 April 2025)

Gejala burnout juga muncul dalam bentuk gangguan pola tidur, kebiasaan bolak-balik aplikasi, dan menurunnya motivasi, seperti yang disampaikan oleh informan BW dan RAMY. Kondisi ini memperlihatkan sisi gelap dari multitasking digital, di mana kelelahan tetap bisa muncul meski mahasiswa merasa “tidak melakukan apa-apa.”
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian ini, media sosial memiliki peran ganda dalam kehidupan mahasiswa yang menjalani peran sebagai pelajar sekaligus pekerja. Di satu sisi, media sosial dapat menjadi alat yang membantu dalam mencari informasi, membangun jaringan, dan mendukung produktivitas melalui strategi pengelolaan waktu dan kontrol diri seperti penggunaan to-do list, penjadwalan, serta memisahkan diri dari smartphone saat fokus. Namun, di sisi lain, penggunaan media sosial secara berlebihan dapat menyebabkan berbagai risiko seperti gangguan pola tidur, kelelahan digital (burnout), stres, kecemasan, serta fenomena FOMO yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis mahasiswa.
Penting bagi mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan manajemen digital dan bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial agar tetap dapat memanfaatkan manfaatnya secara maksimal sekaligus meminimalisasi dampak negatifnya. Pendekatan strategis seperti mengatur waktu penggunaan, membatasi akses, serta disiplin digital menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan antara produktivitas dan relaksasi di era digital ini. Berikut implikasi dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya:
Implikasi:
- Teori Uses and Gratification, Digital Distraction, dan Moral Responsibility efektif menjelaskan perilaku digital mahasiswa, dengan Model Media Multitasking membantu pahami pergeseran antara penggunaan produktif dan impulsif. Mahasiswa pekerja perlu keterampilan manajemen digital untuk mengatur penggunaan media sosial agar tetap produktif, memanfaatkan media sosial secara strategis, serta mengelola waktu dan kesadaran emosional yang seimbang untuk menghindari digital overload dan FOMO.
Rekomendasi:
- Mahasiswa, kampus, dan perusahaan perlu bekerjasama mengatur penggunaan media sosial dan membangun budaya kerja yang sehat secara digital. Penelitian selanjutnya disarankan memakai metode campuran untuk memahami kontrol diri, emosi, dan identitas digital secara lebih mendalam.
REFERENSI
Abenoja, R., Accion, N., Aguilar, J., Alcasid, M., Amoguis, A., Buraquit, D., … & Pame, J. (2019). The experiences of working while studying: A phenomenological study of senior high school students. University of Immaculate Conception.
Databoks.katadata.co.id. (2021). Sebanyak 6,98% Pelajar di Indonesia sekolah sambil Kerja: Databoks. Pusat Data Ekonomi dan Bisnis Indonesia. https://databoks.katadata.co.id/ketenagakerjaan/statistik/9b4fdfb71fe22df/sebanyak-698-pelajar-di-indonesia-sekolah-sambil-kerja?
Gunawan, W., Arisanty, M., & Budiman, R. (2023). Preferensi dan perilaku pemanfaatan media mahasiswa perguruan tinggi jarak jauh. BRICOLAGE: Jurnal Magister Ilmu Komunikasi, 21(2).
Kemp, S. (2025, Feb. 25). Digital 2025: Indonesia – DataReportal – Global Digital Insights.
https://datareportal.com/reports/digital-2025-indonesia
McCoy, B. R. (2016). Digital distractions in the classroom phase II: Student classroom use of digital devices for non-class related purposes. Journal of Media Education, 7(1), 5–32.
Mukhayer, R., & Bennett-Gillison, F. (2021). The implications of social media use by employees on organizational reputation and productivity.https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2023.e23326
Rubin, A. M. (2002). The uses-and-gratifications perspective of media effects. In J. Bryant & D. Zillmann (Eds.), Media Effects: Advances in Theory and Research (pp. 525–548). Lawrence Erlbaum Associates.
Strawson, P. F. (1962). Freedom and resentment. Proceedings of the British Academy, 48, 1–25.Zulfikar, F. (n.d.). Mahasiswa Jogja Banyak Yang Kuliah Sambil Kerja: 43 persen Jadi Wirausahawan. Detikedu. https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-7488439/mahasiswa-jogja-banyak-yang-kuliah-sambil-kerja-43-persen-jadi-wirausahawan



