
Sumber: GoodStats
Kehadiran aplikasi belanja online saat ini telah banyak memunculkan kebiasaan baru di kalangan Gen-Z. Bayangkan, hanya dengan sentuhan tangan, barang yang diinginkan bisa langsung datang. Nggak punya uang? bukanlah sebuah halangan, fitur “Buy Now, Pay Later” hadir sebagai solusi menggiurkan bagi sebagian orang yang mau checkout keranjang, tetapi terhalang dengan dompet yang pas-pasan. Penggunaan pay later di Indonesia bukanlah hal asing.
GEN-Z SUKA NGUTANG?
Berdasarkan Data Kredivo 2024, penggunaan pay later di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor usia. Generasi muda bukan hanya mendominasi jumlah pengguna, tetapi juga memperlihatkan pola konsumsi yang berbeda dibandingkan kelompok usia yang lebih tua. Jika melihat komposisi pengguna, kelompok usia 26-35 tahun menjadi pengguna pay laterterbesar di Indonesia. Hal ini dikarenakan, mereka sedang berada pada fase aktif bekerja, membangun rumah tangga, dan memiliki frekuensi belanja digital yang sangat besar. Meskipun demikian, Gen-Z, yaitu mereka yang berusia 18-25 tahun tumbuh sebagai pasar potensial terkait penggunaan pay later di Indonesia.
Gen-Z merupakan pasar potensial pay later karena mereka adalah digital native yang tumbuh bersama internet dan berbagai perkembangan teknologi lainnya. Selain itu, data menunjukkan bahwa pada tahun 2024 Gen-Z menjadi kelompok dengan alokasi pengeluaran terbesar di pay later sebesar 6,4% dibandingkan dengan kelompok usia lainnya termasuk milenial yang hanya 6% setiap bulannya.
Tren ini memberikan sinyal kuat bahwa “Buy Now, Pay Later” bukanlah sekadar fitur pembayaran alternatif, melainkan menjadi fenomena baru di kalangan generasi muda. Tren ini memberikan cara baru kepada Gen-Z untuk memenuhi kebutuhan, mendukung gaya hidup, dan dalam banyak kasus, memberikan ilusi kemampuan finansial melalui cicilan ringan yang berakhir pada perilaku konsumtif di kalangan Gen-Z. Lantas, seperti apa dampak dari penggunaan pay later di kalangan Gen-Z yang ada di Indonesia?
GEN-Z BELANJA BUAT APA SIH?
Jika pay latersering diasosiasikan dengan pembelian barang mahal, pola belanja Gen-Z justru menunjukkan cerita yang berbeda. Data transaksi memperlihatkan bahwa Gen-Z tidak hanya menggunakan pay lateruntuk kebutuhan bernilai besar, tetapi juga untuk hal-hal yang dekat dengan keseharian mereka.
Kategori seperti kebutuhan digital, makanan dan minuman, produk perawatan diri, hingga produk fashion menjadi yang paling sering muncul. Hal ini menunjukkan bahwa pay latertidak lagi diposisikan sebagai solusi darurat, melainkan sudah masuk ke dalam rutinitas belanja harian. Fitur “pay later” terasa praktis untuk kebutuhan kecil yang sering dilakukan, terutama ketika disertai promo atau potongan harga.
Menariknya, beberapa kategori yang sebelumnya dianggap “premium”, seperti gadgetdan otomotif juga mulai masuk dalam daftar belanja Gen-Z. Dengan adanya cicilan dan diskon, barang-barang tersebut terasa lebih mudah dijangkau, meskipun nilainya tetap tidak kecil.
Pola ini sejalan dengan cerita para informan. Sebagian dari mereka mengaku menggunakan pay laterbukan semata karena tidak memiliki uang, tetapi karena ingin memanfaatkan promo yang ditawarkan platform e-commerce.
“Paling sering beli makanan karena diskonnya lebih besar. Dalam sebulan biasanya bisa 3–5 kali beli makanan pakai paylater.”
“Biasanya buat ShopeeFood atau barang sehari-hari, kayak keperluan kuliah. Sebenernya lebih ngincer promonya sih, karena kalau pakai paylater promonya lebih besar.”
“Pakai Shopee PayLater buat skincare sama perlengkapan anjing. Dalam sebulan bisa 2-3 kali belanja pakai paylater”
Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa penggunaan pay later dipilih karena terasa praktis dan menawarkan keuntungan instan lewat promo. Namun, ketika digunakan berulang untuk kebutuhan kecil sehari-hari, batas antara kebutuhan dan keinginan perlahan menjadi semakin kabur.
TAHUKAH KAMU? JAWA BARAT MENJADI PENGGUNAPAY LATER TERBESAR DI INDONESIA!
Fenomena pay later tidak hanya meningkat pada soal usia, tetapi juga wilayah. Data OJK menunjukkan bahwa penggunaan pay laterdi Indonesia memperlihatkan perbedaan yang cukup tajam antarprovinsi. Jumlah rekening aktif dan total pinjaman yang belum dilunasi membentuk gambaran yang lebih kompleks dari sekadar anggapan bahwa masyarakat “gemar berutang”.
Berdasarkan data terbaru OJK, kita dapat melihat bagaimana jumlah rekening aktif pengguna dan total pinjaman yang belum dibayar membentuk gambaran yang lebih kompleks, jauh lebih dari sekadar “orang suka berutang”. Setiap wilayah di Indonesia menunjukkan tingkat penggunaan pay later yang berbeda, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti karakteristik penduduk dan kondisi ekonomi setempat.
Pada peta ini, kita dapat melihat sebaran pengguna pay later berdasarkan jumlah rekening aktif di berbagai provinsi. Jawa Barat, dengan 39.419.321 rekening aktif, dan DKI Jakarta, dengan 15.937.365 rekening aktif, berada di posisi teratas, menunjukkan bahwa wilayah urban dan suburban dengan jumlah penduduk yang lebih besar serta tingkat konsumsi digital yang tinggi, mendominasi penggunaan layanan pay later. Sementara itu, provinsi dengan populasi yang lebih kecil, seperti Papua Pegunungan dengan 13.493 rekening aktif dan Papua Selatan dengan 31.487 rekening aktif, tercatat memiliki kontribusi yang jauh lebih rendah, mengindikasikan tingkat dan aktivitas penggunaan pay lateryang lebih rendah.
Selain itu, peta ini juga memperlihatkan total jumlah pinjaman yang masih menggantung, memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai beban ekonomi yang ditanggung oleh para pengguna. Jawa Barat, dengan total pinjaman yang masih menggantung sebesar 121.648,06 miliar rupiah, dan DKI Jakarta, dengan 75.626,89 miliar rupiah, memiliki nilai pinjaman yang jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya banyak orang yang menggunakan pay later, tetapi mereka juga memiliki pinjaman yang belum dilunasi dalam jumlah yang signifikan. Sebaliknya, provinsi dengan tingkat adopsi yang lebih rendah tercatat memiliki nilai pinjaman yang lebih kecil.
PLATFORM PAY LATERAPA SIH YANG PALING BANYAK DIGUNAKAN OLEH GEN-Z?
Setelah melihat pola belanja mereka, muncul satu hal penting: Gen-Z sebenarnya paling sering pakai platform pay lateryang mana? Ternyata, pilihan mereka sangat dipengaruhi oleh aplikasi yang sudah akrab dipakai sehari-hari.
Dari data yang ada, Shopee PayLater jadi platform yang paling mendominasi. Buat banyak Gen-Z, Shopee sudah jadi tempat belanja utama dan ketika keinginan checkout muncul, fitur pay later-nya terasa sebagai solusi tercepat dan paling praktis. Di belakangnya, GoPay Later dan Traveloka PayLater juga menempati posisi yang kuat. Keduanya dianggap mudah diakses dan sudah menyatu dengan kebiasaan digital Gen-Z, mulai dari kebutuhan kecil hingga keperluan dadakan.
Sementara itu, Kredivo dan Akulaku digunakan oleh sebagian Gen-Z yang mengutamakan fitur pembayaran tertentu atau limit yang lebih fleksibel. Artinya, pilihan platform pay latertidak selalu soal cicilan paling murah, tetapi tentang layanan mana yang terasa paling nyaman dan paling mendukung gaya hidup mereka.
KENAPA HARUS PAY LATER?
Niatnya cuma lihat-lihat, tapi pay later bilang “gas, nanti mikirnya belakangan”.
Para informan menceritakan bahwa mereka terdorong memakai pay laterkarena sering tergoda promosi dan cashbackdi e-commerce, terpapar tren belanja digital dari media sosial, serta dipengaruhi rasa FOMO dan impuls untuk terlihat up-to-date di lingkaran sosialnya.
PAY LATER,KEMUDAHAN ATAU UTANG DIGITAL?
Pas checkoutbahagia, pas jatuh tempo langsung jadi ahli matematika?
Terkadang, nggakbisa dihindari antara kebutuhan dengan keinginan. Para informan mengakui bahwa penggunaan pay later sering membuat mereka terbawa pola belanja yang lebih konsumtif dan bergantung pada kredit instan, yang dalam jangka panjang mulai mengganggu kestabilan keuangan mereka, sebagian dari mereka juga menyadari bahwa rendahnya literasi finansial ikut mendorong keputusan berutang digital tanpa pertimbangan matang.
GEN-Z,PAY LATER,DAN KENYATAAN YANG PERLU KITA SADARI!
Melihat tren tersebut, satu hal yang jelas, pay later bukan lagi sekadar fitur tambahan, tetapi sudah menjadi bagian dari ritme hidup Gen-Z. Mereka menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari, memanfaatkan promo, dan mengikuti arus gaya hidup digital yang serba cepat. Pilihan platform yang mereka gunakan pun mengikuti kebiasaan: mana yang paling sering dipakai, itulah yang paling dipercaya.
Di balik kenyamanan dan fleksibilitasnya, ada realitas yang perlu disadari. Frekuensi penggunaan yang tinggi, ditambah limit yang mudah diakses, membuat batas antara “butuh” dan “ingin” semakin kabur. Banyak Gen-Z yang tanpa disadari terjebak dalam pola konsumsi impulsif, sementara angka pinjaman yang terus menggantung justru menunjukkan risiko finansial yang tidak terlihat di permukaan.

Sumber: Masterworks
Di titik inilah literasi finansial menjadi penting, bukan untuk melarang penggunaan pay later,tetapi untuk membantu Gen-Z memahami konsekuensinya. Bahwa setiap klik “bayar nanti” adalah keputusan finansial yang punya dampak jangka panjang. Dan pada akhirnya,pay later bisa menjadi alat yang membantu, atau jebakan yang perlahan menyulitkan, tergantung bagaimana ia digunakan. Karena itu, mari mulai bertanya pada diri sendiri setiap kali hendak checkout: “Ini kebutuhan… atau cuma dorongan sesaat, ya?”
Kalau generasi digital bisa menguasai pertanyaan sederhana itu, maka bukan hanya gaya hidup yang lebih teratur tercipta, tapi masa depan finansial yang jauh lebih sehat. Saatnya Gen-Z lebih sadar dalam setiap keputusan finansial, memahami risikonya, dan tidak menjadikan kemudahan pay later sebagai alasan untuk berutang tanpa perhitungan!



