
Kamu seorang mahasiswa atau pelajar sat-set dengan tingkat mobilitas tinggi? Sering bertarung di tengah lalu lintas Jakarta yang ingar-bingar? Sering gak sih liat orang kebut-kebutan di jalan, nyelipkanan-kiri, bahkan sampai menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan ngerugiinorang lain?
Angka di atas, bukan sekedar nominal… Tapi, jumlah kecelakaan lalu lintas di Jakarta dari tahun 2023 – 2025. Coba bayangin, setiap kali kamu lewat jalanan Jakarta, ada kemungkinan besar seseorang, di jam yang sama, di ruas yang nggak jauh berbeda, lagi mengalami kecelakaan.
Dengan skala sebesar ini, dampaknya bukan sekadar catatan statistik. Ia berubah jadi cermin bahwa keselamatan di jalan raya Jakarta sedang berada di titik yang perlu perhatian serius, terutama bagi mereka yang mobilitas hariannya tinggi. Dan di antara semua kelompok, mahasiswa adalah salah satu yang paling aktif bolak-balik menembus lalu lintas kota. Kuliah, kegiatan organisasi, kerja sambilan, sampai urusan nongkrong membuat mereka hampir selalu berada di jalan pada jam-jam paling padat.
Siapa yang Paling Sering Terlibat Kecelakaan?
Kalau dilihat berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok yang paling banyak terlibat kecelakaan adalah pegawai swasta. Masuk akal, karena mayoritas dari mereka punya jam kerja tetap yang memaksa mereka turun ke jalan pada puncak kepadatan. Di posisi berikutnya ada para wiraswasta. Aktivitas mereka lebih fleksibel, tapi justru karena dinamika pekerjaan yang menuntut mobilitas sepanjang hari, antar barang, ketemu klien, ke pasar, ke lokasi usaha, intensitas mereka di jalan tetap tinggi.
Kemudian muncul mahasiswa sebagai kelompok ketiga terbanyak. Meski mahasiswa bukan pekerja penuh waktu, pola mobilitasnya padat dan tidak kalah intens. Jadwal kuliah yang berpencar, kegiatan kampus yang berlapis, kerja part-time, hingga aktivitas sosial membuat mereka berkali-kali keluar masuk jalanan dalam sehari. Mobilitas harian yang tidak bisa ditunda, ditambah preferensi memakai motor karena cepat dan terjangkau, menempatkan mereka dalam ritme perjalanan yang tinggi, sehingga wajar kalau tingkat keterlibatannya signifikan dalam data kecelakaan di Jakarta.
Ketika Motor Jadi Moda Utama
“Gue waktu itu dua kali pernah kecelakaan. Dua-duanya itu masih TK, masih kecil. Yang pertama itu gue lagi naik motor sama mbak.” – S, Mahasiswa.
“Mobilitas saya selama ini tuh pergi-pergi kemana-mana ya saya kurang lebih setiap minggunya pulang pergi kampus menggunakan motor gitu” – D, Mahasiswa.
Cerita dari teman kita diatas, menunjukan bahwa mereka sering menggunakan motor sebagai transportasi. Bukan sekedar alat transportasi, motor sudah menjadi kuda besi yang menemani mereka di kerasnya jalanan Jakarta. Menembus kemacetan, opsi ekonomis, dan penyelamat di tengah kemacetan menuju kelas pagi.
Dan pola penggunaan ini terlihat jelas ketika kita melihat datanya. Motor menempati posisi paling sebagai kendaraan yang paling sering terlibat kecelakaan. Dominasi ini bukan kebetulan, ketika sebagian besar mahasiswa menggantungkan mobilitasnya pada roda dua, otomatis eksposur mereka terhadap risiko di jalan pun meningkat. Motor memberi kebebasan bergerak, tapi juga posisi yang lebih rentan dalam lalu lintas yang padat.
Tingginya frekuensi pengemudi roda dua yang mengalami kecelakaan lalu lintas sejalan dengan frekuensi penggunaan kendaraan roda dua di Jakarta, terutama oleh mahasiswa dan pelajar. Dominasi motor dalam kehidupan mahasiswa dan pelajar menjelaskan mengapa roda dua muncul begitu besar dalam data keterlibatan kecelakaan, sebuah cerminan langsung dari bagaimana mereka bergerak setiap hari di kota.
Dampak yang Tak Sekadar Luka di Jalanan
Kecelakaan bagi mahasiswa tidak hanya berdampak secara materil, dampaknya merembet ke banyak sisi kehidupan mahasiswa, mulai dari kesehatan fisik hingga kesehatan mental yang mengganggu aktivitas kuliah. Dampak yang dirasakan nyata, terasa, dan sering kali mengubah rutinitas mereka dalam hitungan detik.
“Helmnya juga baret-baret dan luka-luka juga” – D, Mahasiswa.
“ Muka gue tuh udah pada berdarah waktu itu” – S, Mahasiswa.
Dari pengalaman tersebut, terlihat bagaimana kerugian fisik pada korban bisa langsung memberikan dampak langsung kepada aktivitas sehari-hari para mahasiswa. Berbagai bentuk luka dari yang ringan sampai berat, dapat memberikan efek nyata seperti trauma yang di alami salah satu mahasiswa yang kami wawancara, ia mengatakan
“Kalau misalnya ada pilihan naik mobil gue pasti akan naik mobil. Gue ga suka naik motor” – S, Mahasiswa.
Ia mengatakan hal tersebut karena pernah beberapa kali terlibat dalam kecelakaan motor sehingga sekarang memiliki trauma ketika harus naik motor. Pengalaman itu memberikan perspektif baru tentang dampak dari kecelakaan yang bisa merantai ke berbagai aspek seperti, absen kuliah atau tidak bisa mengikuti kegiatan kampus. Pemulihan yang memakan waktu juga menambah tekanan, terutama ketika tanggung jawab akademik tetap berjalan.
Dari sini, dampaknya mengalir ke sisi lain yang tak kalah berat: kerugian material.
Data menunjukkan bahwa Jakarta Timur muncul sebagai wilayah dengan kerugian tertinggi, memperlihatkan bahwa intensitas insiden di sana berdampak langsung terhadap besarnya biaya yang harus ditanggung.
Bagi mahasiswa, kerugian material ini sangat terasa. Motor yang rusak berarti hilangnya akses mobilitas utama, dan biaya perbaikan yang tidak murah sering kali harus ditanggung dari uang bulanan atau tabungan yang terbatas. Akhirnya, kecelakaan tidak hanya meninggalkan bekas luka, tetapi juga beban finansial yang memaksa mereka mengubah rencana, menunda pengeluaran, dan menata ulang keseharian yang sudah padat sejak awal.
Mengurai Akar Masalah di Balik Insiden Jalan Raya
Jika dampak kecelakaan terasa hingga kesehatan dan finansial mahasiswa, maka penyebabnya pun tidak bisa dilihat sebagai satu faktor tunggal. Cerita para korban menunjukkan bahwa kecelakaan di jalanan Jakarta, lahir dari banyak risiko yang hadir bersamaan, mulai dari kondisi jalan, dinamika lalu lintas, hingga respons pengendara itu sendiri.
“Waktu itu kayaknya jalanannya tuh bener-bener baru dan licin, kayaknya bahkan harusnya belum bisa dilewatin.” – S, Mahasiswa.
Berdasarkan data, faktor manusia tercatat sebagai penyebab yang berkontribusi paling besar pada kecelakaan lalu lintas. Di bawahnya, infrastruktur muncul sebagai kontributor signifikan, kombinasi dua faktor ini memperlihatkan bahwa risiko tidak berdiri sendiri; ia saling menguatkan dan memperbesar peluang kecelakaan.
“Pas lagi bawa kenceng, itu di depan saya tuh ada udah ada sekitar dua motor yang jatuh. Karena keadaan lagi kenceng banget, sulit tuh untuk menghindar dari mereka, akhirnya saya ikut jatuh juga.” – D, Mahasiswa.
Pengalaman teman kita ini memperlihatkan bahwa kecelakaan bukan semata akibat kelalaian individu. Ia merupakan hasil dari interaksi antara pengendara yang terus dikejar waktu, kondisi jalan yang belum aman, serta lalu lintas Jakarta yang bergerak cepat dan tak memberi banyak ruang untuk salah langkah.
Di Mana Titik Paling Rawan?
Heatmap lokasi kecelakaan memberi gambaran yang jauh lebih tegas tentang bagaimana risiko tersebar di Jakarta. Warna yang semakin pekat menandakan wilayah dengan intensitas kecelakaan tertinggi, dan di peta ini, Jakarta Timur tampak mencolok sebagai wilayah yang paling “biru”
Dominasi warna tersebut bukan sekadar visual yang kontras, ia mencerminkan tingginya frekuensi insiden yang terjadi di kawasan tersebut. Mobilitas penduduk yang besar, jaringan jalan yang berlapis antara permukiman dan jalur utama, serta pergerakan harian yang padat membuat wilayah ini menjadi salah satu pusat aktivitas yang penuh tekanan. Semakin banyak pergerakan, semakin besar pula peluang terjadinya kecelakaan.
Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa risiko keselamatan tidak tersebar merata. Ada area yang menyimpan tingkat kerawanan jauh lebih tinggi, dan Jakarta Timur adalah salah satu contohnya. Melihat pola ini membantu kita memahami bahwa upaya penanganan tidak bisa generik, wilayah dengan kontras warna tertinggi memerlukan perhatian, intervensi, dan pembenahan yang lebih terfokus agar risiko dapat ditekan secara nyata.
Mengapa Keselamatan Mahasiswa Tak Bisa Lagi Dianggap Sepele
Kecelakaan lalu lintas di Jakarta merupakan bagian dari mobilitas kota yang padat dan serba cepat. Bagi mahasiswa, jalanan adalah ruang yang harus ditembus setiap hari, dengan motor sebagai pilihan utama. Frekuensi perjalanan yang tinggi, tekanan waktu, dan kondisi jalan yang belum aman membuat risiko kecelakaan melekat pada rutinitas mereka.
Meski perbaikan infrastruktur menjadi kebutuhan mendesak, mahasiswa tetap perlu lebih waspada. Mengurangi kecepatan, menjaga jarak, dan berhati-hati di area gelap atau jalan tidak rata bisa menjadi langkah kecil yang mencegah konsekuensi besar. Di tengah ritme kota yang cepat, sedikit kehati-hatian sering kali cukup untuk menyelamatkan perjalanan.





