Di tengah desakan global untuk menekan angka perokok, Indonesia justru masih menjadi salah satu “surga” bagi perokok. Sadargak, sih? Rokok kini bukan hanya sekadar barang konsumsi, tapi sudah menjadi bagian dari obrolan, bahkan identitas bagi penggunanya. Mirisnya, kesadaran akan bahaya merokok belum sepenuhnya tertanam di kalangan masyarakat, terutama pada generasi muda yang semakin menganggap rokok sebagai bagian dari gaya hidup.
INDONESIA BERADA PADA PERINGKAT 8 JUMLAH PEROKOK TERBANYAK DUNIA
Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dari Kemenkes, jumlah perokok di Indonesia diperkirakan sudah lebih dari 70 juta orang1. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat 8 besar negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia, dengan 38,2% dari populasi merupakan perokok (World Population Review, 2024)2. Kondisi ini diperkeruh dengan temuan dari Badan Pusat Statistik yang mengungkapkan bahwa persebaran jumlah perokok usia di atas 15 tahun hampir merata di seluruh Indonesia.
https://www.datawrapper.de/_/8ibQy/?v=4
Hal menunjukkan bahwa kebiasaan merokok sudah dimulai sejak remaja dan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Rokok: Teman Hidup yang Sulit Dilepaskan
Selain tingginya jumlah perokok, rata-rata konsumsi rokok di Indonesia juga mencatat angka yang mengkhawatirkan. Lembaga survei PKSJ UI mengungkapkan bahwa mayoritas perokok menghabiskan 1-2 bungkus rokok setiap harinya. Bayangkan, jika satu bungkus rokok berisi minimal 12 batang, berarti ada sekitar 12 hingga 24 batang rokok yang masuk ke dalam tubuh setiap harinya.
Angka ini jelas menunjukkan bahwa rokok telah menjadi santapan wajib yang menemani keseharian mereka. Rokok sudah dianggap seperti teman yang menemani dalam berbagai situasi, baik saat bekerja, bersosialisasi, maupun saat bersantai. Kebiasaan ini tidak hanya melibatkan ruang pribadi, tetapi juga menjalar ke ruang publik, di mana merokok sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Hal ini memperkuat norma sosial yang ada dan menjadikan merokok seolah bagian tak terpisahkan dari interaksi sosial masyarakat.
“9 dari 10 Perokok Sadar Akan Bahaya Rokok”
Siapa yang belum tahu bahaya rokok? Sebagian besar dari kita pasti telah mengetahui akan bahaya rokok. Berbagai penelitian medis dan laporan dari organisasi kesehatan dunia seperti World Health Organization (WHO) telah lama mengungkapkan dampak merugikan rokok bagi kesehatan. Menariknya, meskipun bahaya merokok sudah sangat jelas dan telah merenggut banyak sekali nyawa disekitar kita, kebiasaan merokok masih tetap mengakar kuat di masyarakat Indonesia. Survei terbaru dari PKSJ UI mengungkapkan sebuah temuan yang mengejutkan, dimana 91,08% perokok ternyata telah sadar akan risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh merokok. Ini menunjukkan bahwa merokok telah dijadikan sebagai “teman hidup” yang sulit dilepaskan, bahkan oleh mereka yang sadar akan bahayanya.
Kian Penuh Tantangan, Namun Merokok Sulit Dilepaskan
Kesadaran akan bahaya merokok yang telah dimiliki oleh sebagian besar perokok bukanlah satu-satunya fakta mencolok dari fenomena tingginya angka perokok di Indonesia saat ini. Nyatanya, para perokok ini telah dihadapkan pada berbagai tantangan yang mempersulit mereka untuk melanjutkan kebiasaan tersebut. Tantangan-tantangan ini tidak hanya sebatas pada terbatasnya ruang dan waktu untuk merokok, tetapi juga muncul dari berbagai sisi.
Ruang yang Semakin Menyempit
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perokok adalah penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 115 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mewajibkan pemerintah daerah menetapkan KTR di wilayahnya. Regulasi ini melarang aktivitas merokok di tempat-tempat umum. Penerapan KTR jelas memberikan tekanan sosial kepada perokok untuk membatasi kebiasaan mereka, terutama di ruang-ruang publik. Namun pada kenyataannya, meskipun tantangan KTR semakin membatasi ruang gerak mereka, perokok tetap berupaya menemukan cara agar dapat tetap merokok.
“Gue tau, sih, ada daerah yang melarang kita buat ngerokok, tapi biasanya kalau tempatnya terbuka gue tetep ngerokok aja.” ujar narasumber berinisial A.
Tak Merokok Lebih Horor dari Gambar di Bungkus Rokok
Selain pembatasan ruang, pemerintah juga telah mengatur pemasangan peringatan bahaya dalam bentuk gambar pada kemasan rokok sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Namun, survei PKSJ UI menunjukkan bahwa mayoritas perokok merasa gambar-gambar ini tidak mempengaruhi kebiasaan merokok mereka. Dengan kata lain, seseram-seramnya gambar pada bungkus rokok, lebih seram lagi tidak merokok.
Merokok Hukumnya “Dilarang” antara Haram dan Makruh
“Seluruh peserta sidang sepakat bahwa rokok hukumnya tidak wajib, sunnah maupun mubah,…Setuju kalau merokok haram di tempat umum, bagi anak-anak dan wanita hamil?,” kembali peserta menjawab serentak, “setujuu!” (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2009)3
Itulah pernyataan di dalam sidang pleno Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III yang dipimpin oleh Ketua MUI KH Maruf Amin, 15 tahun yang lalu. Meski bersifat imbauan moral dan tidak mengikat secara hukum, fatwa ini diharapkan dapat memberikan panduan bagi umat Muslim, untuk lebih bijak dalam menyikapi kebiasaan merokok. Namun, pertanyaannya tetap sama, yaitu seberapa besar pengaruh fatwa ini dalam menekan angka perokok di Indonesia, sebuah negara dengan budaya merokok yang begitu mengakar?
Berdasarkan hasil survei yang sama, PKSJ UI juga telah mencoba untuk melihat persepsi masyarakat mengenai fatwa haram ini. Cukup tingginya angka persetujuan, menunjukkan bahwa banyak orang sudah sadar akan buruknya rokok, bahkan mengaitkannya dengan pandangan agama. Meskipun banyaknya suara yang setuju dengan fatwa tersebut (yang keluar pada tahun 2009), kenyataannya fatwa ini belum cukup efektif untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia sampai saat ini.
Rokok Dihisap, Tabungan Lenyap
Selain fatwa haram, tingginya biaya konsumsi rokok seharusnya menjadi faktor signifikan yang mendorong seseorang untuk berhenti merokok. Data dari PKSJ UI menunjukkan bahwa para perokok juga menyadari rokok sebagai barang mahal. Namun, bagaimana jika harga rokok naik? Apakah persepsi tersebut akan berpengaruh langsung terhadap perilaku mereka?
Meskipun kenaikan harga rokok mencapai nominal yang cukup besar, data menunjukkan bahwa rokok masih memiliki konsumen yang bersedia untuk membelinya. Fakta menarik ini tercermin dalam respons perokok aktif terhadap kenaikan harga. Misalnya, meskipun harga rokok mencapai Rp70.000, yang cukup tinggi, sejumlah besar perokok memilih untuk berhenti. Sayangnya, data ini kembali menegaskan bahwa kenaikan harga, meskipun signifikan, tidak terlalu memengaruhi kebiasaan merokok bagi sebagian besar perokok.
Dari paparan di atas, muncul sebuah pertanyaan besar, yaitu Mengapa perokok terus merokok meskipun telah dihadang oleh berbagai tantangan?Untuk memahami perspektif ini lebih dalam, kami telah berbincang dengan sejumlah narasumber untuk menggali pandangan mereka terkait tantangan-tantangan yang ada.
Kalau Bukan karena Takdir, Tidak Akan Berhenti
“…lagian kalau emang udah waktunya yasudah. Ngga ngaruh ngerokok atau ngga ngerokok” Ujar seorang perokok aktif, A
Melalui wawancara yang kami lakukan bersama tiga perokok aktif, terungkap alasan dan tantangan yang membuat kebiasaan merokok sulit ditinggalkan. Ketiganya memiliki pola yang relatif serupa, yaitu: (klik untuk melihat penjelasan)
Memulai kebiasaan dari hal yang tampaknya sepele, yaitu ajakan teman
Kebiasaan merokok mereka dimulai dari sesuatu yang sederhana, yaitu ajakan teman. Rokok dianggap sebagai tiket masuk ke pergaulan.
Kebiasaan yang berubah menjadi kebutuhan
Lambat laun, merokok tak lagi sekadar menjadi kebiasaan semata. Ketiganya mengakui bahwa rokok menjadi pelarian saat stres atau depresi melanda. Asap rokok memberikan rasa lega sesaat, meski solusi ini tak pernah benar-benar menyelesaikan masalah.
Sadar, Tapi Tak Berdaya
Ketiganya bahkan pernah mencoba berhenti, tetapi kecanduan berkata lain. Proses berhenti merokok terasa sangat sulit.
Bagi ketiganya, alasan sulitnya untuk berhenti merokok ternyata bukan hanya tentang melepas kebiasaan yang sudah lama dilakukan, tetapi juga melepas pelarian mereka untuk mengatasi stres dan tekanan dalam hidup.Rasa ketergantungan yang begitu kuat membuat mereka merasa tak berdaya dan tak mampu untuk berhenti.
Walaupun dihadapkan dengan berbagai tantangan eksternal, manfaat psikologis dan kenyamanan yang dirasakan dari merokok tetap sulit dilepaskan oleh mereka. Rokok mampu memberikan sensasi relaksasi dan ketenangan yang telah menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka. Hal ini menciptakan ikatan emosional yang kuat antara perokok dan kebiasaannya, yang sering kali mengalahkan logika tentang bahaya kesehatan dan dampak yang ditimbulkan. Bahkan, dengan kesadaran penuh akan dampak negatifnya terhadap kesehatan, pengalaman subjektif dari merokok tetap menjadi hambatan besar untuk berhenti. Hal ini menunjukkan bahwa
Sulit, Namun Tak Mustahil
Berhenti merokok memang bukan perkara yang mudah. Namun, diluar sana tak jarang juga yang telah berhasil melakukannya. Dalam kesempatan ini, kami menghadirkan dua kisah inspiratif tentang bagaimana kebiasaan merokok telah merenggut kebahagiaan dan senyum orang-orang yang kita cintai.
“Sadar ga sadar merokok itu bisa memakan korban di luar diri kita sendiri hingga bisa merenggut nyawa orang yang kita sayangi.” ujar AMC – Seorang mantan perokok aktif yang hampir kehilangan putri semata wayangnya.
Rokok, Penyesalan dan Kisah Perjuangan Seorang Ayah
Dua tahun lalu, AMC (35), seorang pria yang sudah lama merokok, menghadapi peristiwa yang mengguncang hidupnya. Putrinya yang masih kecil tiba-tiba jatuh sakit. Awalnya, ia mengira itu hanya demam biasa, namun kondisi anaknya semakin memburuk hingga kesulitan bernapas.
Panik, ia segera membawa anaknya ke rumah sakit. Di ruang gawat darurat, anaknya sempat kehilangan kesadaran dan nyaris kehilangan nyawa akibat gagal napas. Untungnya, anak semata wayangnya ini bisa diselamatkan, tetapi dengan diagnosis berupa Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
“Mengetahui diagnosa penyakit anak saya, saya merasa gagal menjadi orang tua dan kecewa terhadap diri sendiri. Terlebih ini adalah anak semata wayang saya yang kehadirannya udah saya tunggu-tunggu sejak awal menikah” Ujarnya AMC.
Malam itu menjadi titik balik dalam hidupnya. Setelah melihat putrinya hampir kehilangan nyawa, ia membuat keputusan besar untuk berhenti merokok. Bayangan akan penyeselan yang terus menghantuinya merupakan bahan bakar terbesar yang telah memperkuat tekadnya.
Setelah sebelumnya kita membahas bagaimana kebiasaan merokok dapat membahayakan kesehatan orang-orang di sekitar perokok, kali ini kita akan mendengar kisah yang berbeda. Kisah ini menggambarkan bagaimana rokok telah meninggalkan luka yang mendalam merenggut senyum seorang ibu.
Kehilangan Di Balik Asap Rokok
Di sisi lain, kami mendengar kisah seorang ibu yang juga harus menghadapi kenyataan pahit akibat rokok. Anaknya yang sudah lama merokok didiagnosis menderita tuberkulosis (TBC) setelah mengalami batuk darah.
Meskipun sudah didiagnosis menderita penyakit parah, putranya tetap tak mampu untuk berhenti dari kebiasaan merokoknya.
Hal ini semakin memperburuk kondisinya. Hingga pada akhirnya, ia menghembuskan napas terakhir dan meninggalkan ibunya dalam kesedihan yang mendalam
“Rokok telah merenggut nyawa anak saya. Saya berharap rokok bisa lebih sulit dijangkau agar tak ada lagi korban seperti anak saya,” ujar sang ibu dengan suara penuh harapan.
Kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa rokok tidak hanya merusak dan menyakiti tubuh perokok, tetapi juga dapat meninggalkan luka mendalam bagi keluarga dan orang-orang yang dicintai.
Kini saatnya untuk bertanya pada diri sendiri, apakah kita akan terus menunda perubahan? Bukankah rasa takut kehilangan orang yang kita cintai adalah alasan yang cukup kuat untuk memulai perubahan?