Jakarta dan macet, dua kata itu tampaknya sudah sangat lekat dalam cerita mereka yang menggantungkan hidup di Jakarta. Bahkan, dinamika lalu lintas mantan Ibu kota Indonesia ini sudah dipersoalkan oleh mereka yang hidup di Jakarta saat era 1960-an. Hampir enam dekade, tampaknya solusi kemacetan hanya jadi buah bibir dan janji-janji kampanye para calon gubernur. Yang sempat jadi perbincangan, salah satu Calon Gubernur Jakarta, Ridwan Kamil malah janji sediakan mobil curhat sebagai solusi atasi dampak macetnya Jakarta, bukan akar dari kemacetan itu sendiri.
Alih-alih membaik, di tahun 2023, Jakarta tempati posisi ke-30 sebagai kota dengan waktu tempuh rata-rata terlama di dunia.
Situasi ini berpotensi menimbulkan kerugian lebih besar, tidak hanya sebatas waktu yang terbuang bagi pengguna jalan. Kabar buruknya, kemacetan tidak hanya terpusat pada satu titik saja, tapi tersebar di seluruh bagian kota Jakarta.
Macet lagi, macet lagi. Gara-gara si komo lewat. Pak polisi jadi bingung. Orang-orang ikut bingung…
Bagaimana tidak bingung? Bayangkan saja, untuk berkendara 10km di Jakarta pada tahun 2023, dibutuhkan waktu hingga 41 menit.
KENAPA SIH JAKARTA MACET?
Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah siapa yang membuat Jakarta macet? Nyatanya, setiap hari, terdapat kurang lebih 2.247 masyarakat Jakarta yang menerima SIM baru (Badan Pusat Statistik Provinsi DkI Jakarta, 2021). Situasi ini menyebabkan pertumbuhan angka kendaraan pribadi di Jakarta kian membludak dari tahun ke tahun. Misalnya saja, pada tahun 2016, terdapat 13.836.597 mobil dan motor di Jakarta. Enam tahun kemudian, angka ini bertambah 26,34% menjadi 21.272.663. Jumlah kendaraan yang membludak ini membuat jalan-jalan di Jakarta semakin padat, sehingga kemacetan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Terlebih, kenaikan kendaraan pribadi yang drastis ini tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah transportasi umum, misalnya saja bus. Dalam enam tahun, kenaikan persentase bus hanya 1,6%, menjadi 344.357 pada tahun 2022; 16 kali lebih sedikit dari kenaikan kendaraan mobil dan motor. Apakah kenaikan ini cukup untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang tinggal di kota terpadat se-Indonesia ini?
Sebagai komuter, transportasi umum belum bisa membantu kemacetan sepenuhnya, sih. Rutenya masih terbatas, jumlahnya gak banyak, jadinya ramai dan harus desak-desakan di dalam. Kalau dibilang hemat waktu atau engga, tergantung transum apa yang dipilih dan arah perjalanannya kemana. Kalau transumnya lewat jalan raya bareng mobil dan motor pribadi, ya sama aja, tetep macet.
Marchia (19 tahun), Mahasiswa
Jawabannya adalah, tidak. Pada tahun 2024, terdapat 5.106.780 angkatan kerja di Jakarta. Namun, jumlah kapasitas kendaraan umum yang berupa TransJakarta, MRT, dan LRT jika dijumlahkan hanya mencapai 1.391.000. Lalu, bagaimana 3.715.780 masyarakat Jakarta lainnya yang juga perlu pergi bekerja? Mau tidak mau, mereka yang tidak WFH, perlu menggunakan kendaraan pribadi. Sebab itu, tidak heran bila masyarakat Jakarta menganggap kendaraan pribadi merupakan kebutuhan pokok untuk dapat beraktivitas di kota pusat ekonomi nasional.
Pada satu sisi, pembelian kendaraan pribadi dengan jumlah yang besar membuat jalanan di Jakarta semakin macet. Pada sisi lain, pemerintah belum mampu menyediakan kapasitas transportasi umum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat Jakarta.
APA KERUGIAN SEBENARNYA DI BALIK KEMACETAN JAKARTA?
Kerugian paling nyata dan yang paling terasa dari kemacetan di Jakarta adalah bagaimana kemacetan merampas waktu berharga masyarakat Jakarta. Waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan menyenangkan atau produktif justru harus terbuang sia-sia di tengah huru-hara kemacetan yang membuat energi sangat terkuras.
Setiap tahunnya, masyarakat Jakarta menghabiskan 225 jam di jalan dan—dari total tersebut—117 jam dihabiskan dalam kemacetan. Kalau kata orang-orang sih “keburu tua di jalan.”Bayangkan betapa banyak hal menyenangkan yang dapat dilakukan masyarakat Jakarta dalam 117 jam tersebut, mulai dari menonton puluhan pertandingan FIFA hingga maraton puluhan film maupun ratusan episode drama Korea.
Macet tuh bener-bener habisinwaktu. Perjalanan dari rumah ke kantor yang harusnya hanya 40 menit, jadi dua jam. Akhirnya, terpaksa tunggu rush hourselesai (sekitar jam 7-8 malam), baru bisa pulang dengan nyaman, meskipun bayarannya waktu istirahat yang terpotong. Bukan cumanrugi kehilangan waktu pas di mobil aja, tapijadi boros bensin, stres di jalan, dan bikin semuanya terasa serba buru-buru.
Geraldi (24 tahun), Pejabat Politik
Benarkah kemacetan hanya berdampak pada waktu? Lalu, bagaimana dengan lingkungan?
Sayangnya kemacetan di Jakarta tidak hanya berdampak pada waktu, melainkan memberi dampak serius terhadap lingkungan. Berdasarkan TomTom Traffic Index 2023, Jakarta menghasilkan sekitar 969 kg CO₂ per tahun, dengan 270 kg CO₂ di antaranya berasal dari kemacetan lalu lintas. Untuk menyerap seluruh emisi tersebut, dibutuhkan sekitar 97 pohon, karena setiap pohon hanya mampu menyerap sekitar 10 hingga 40 kg CO₂ per tahun (CNN Indonesia, 2023). Maka dari itu, Jakarta butuh untuk memperluas ruang hijau di perkotaan demi mengurangi dampak buruk emisi karbon yang dihasilkan.
Pemerintah perlu lebih serius menangani pencemaran udara dari sektor transportasi. Solusi seperti pembatasan kendaraan pribadi dan peningkatan kualitas transportasi publik harus segera diimplementasikan agar Jakarta bisa bebas dari krisis polusi.
Muhammad Aminullah (29 Tahun), Aktivis Lingkungan dari WALHI Jakarta
Taukah kamu? selain CO₂, faktanya kemacetan di Jakarta juga memproduksi partikulat halus yang berbahaya, lho… contohnya seperti PM2.5 yang memiliki ukuran sekitar 2,5 mikron. Tingkat PM2.5 di Jakarta tergolong paling tinggi, di mana partikulat ini dapat merusak ekosistem lingkungan. PM2.5 terdiri dari zat-zat seperti karbon hitam, sulfur dioksida (SO₂), dan nitrogen dioksida (NO₂), yang dapat menyebabkan tanah menjadi asam, merusak struktur tanah, dan menghambat pertumbuhan tanaman (Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2018).
Paparan polusi udara dari kemacetan di Jakarta membuat tenggorokan saya sakit, batuk terus-menerus, dan pernapasan terasa berat. Bahkan air purifier di rumah saya seperti tidak ada gunanya.
Andreas (24 Tahun), Pegawai Swasta di Jakarta
Apakah dampaknya berhenti di situ saja? Bagaimana dengan ekonomi?
Kemacetan di Jakarta bukan hanya sekadar persoalan pemborosan waktu dan pencemaran lingkungan. Siapa sangka, setiap menit warga Jakarta terjebak dalam kemacetan ternyata juga meredupkan cahaya perekonomian kota Jakarta?
Masyarakat Jakarta mungkin telah terbiasa mengeluhkan masalah pemborosan bahan bakar akibat kemacetan. Namun, tampaknya, mereka belum sepenuhnya memahami besaran nominalnya serta konsekuensi ekonomi lainnya yang dapat terjadi. Kemacetan adalah “parasit” ekonomi yang secara diam-diam menggerogoti produktivitas nasional. Tidak hanya mengakibatkan kerugian personal, tetapi juga berpotensi menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pertama, kerugian biaya operasional kendaraan. Jenis kerugian ini mencakup pengeluaran langsung yang dialami masyarakat, seperti pemborosan bahan bakar minyak (BBM), oli, dan sebagainya yang terbuang sia-sia akibat kemacetan. Secara kolektif, kerugian biaya operasional kendaraan mencapai Rp 40 triliun dalam skala nasional.
Kedua, kerugian kesehatan dan waktu yang mencapai Rp 60 triliun. Kerugian ini bersifat lebih implisit dan sulit terukur, tetapi nyatanya memiliki dampak yang lebih besar. Dari segi kesehatan, kemacetan berpengaruh secara signifikan pada polusi udara. Paparan polusi berlebih tidak hanya berdampak pada kualitas udara, tetapi juga secara serius mengganggu kesehatan masyarakat. Pada akhirnya, hal ini berujung pada bertambahnya beban ekonomi melalui peningkatan biaya pengobatan dan penurunan produktivitas penduduk.
Sementara itu, dari segi waktu, kemacetan secara nyata mengurangi produktivitas masyarakat Jakarta. Waktu yang terbuang sia-sia di dalam kemacetan tidak hanya merugikan individu, tetapi juga berkontribusi secara substansial terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari balik gemerlap lampu kota dan hiruk-pikuk aktivitasnya, Jakarta memang menyimpan paradoks yang menyakitkan: kota yang tak pernah tidur, tapi nyaris lumpuh oleh kemacetan tanpa ujung. Jalan-jalannya yang dulu jadi nadi kehidupan kini berubah menjadi jebakan waktu, tempat jutaan warganya terperangkap setiap hari.
Bukan sebatas itu, setiap detik yang dihabiskan di jalan tak hanya membuang waktu, tapi juga mencemari udara, melumpuhkan ekonomi, bahkan menggerus kualitas hidup jutaan warganya. Kini, bukan lagi kapan Jakarta akan keluar dari belenggu kemacetan, melainkan apakah pemerintah memang berniat untuk melakukannya.
Jalanan yang sesak di Jakarta bukan sekadar gambaran ketidakefisienan, tetapi juga refleksi dari sederet solusi setengah hati yang terus berulang tanpa hasil nyata. Sudah waktunya berhenti menambal masalah dengan janji kosong dan kebijakan palsu, mulai membangun langkah nyata untuk mengembalikan napas segar kota ini—sebelum semua benar-benar terlambat. Karena satu hal yang pasti, solusinya bukan hanya soal menggantikan status Jakarta sebagai Ibu Kota Negara.