Journalight

UI Journalism Studies

Opinion

Saat Lowongan Naik, Pengangguran Tetap Tinggi?! Eh, Talenta Malah Pergi!

Oleh: Kelompok 6 Journalism Data

Sumber: Freepik.com

Indonesia memasuki periode yang ganjil dalam dunia ketenagakerjaannya. Di satu sisi, jumlah lowongan kerja resmi yang tercatat pemerintah meningkat dalam tiga tahun terakhir. Namun di sisi lain, jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi justru ikut naik dan mencapai lebih dari 800.000 orang pada Februari 2024. Di tengah paradoks itu, semakin banyak fresh graduate memilih bekerja di luar negeri, sebuah tren yang kini populer dengan tagar #KaburAjaDulu.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa peluang kerja meningkat, tetapi lulusan berpendidikan tinggi justru pergi meninggalkan Indonesia?

Data BPS menunjukkan bahwa jumlah penganggur lulusan diploma dan sarjana sempat membaik pada 2022, turun hingga 673 ribu orang. Namun tren itu tidak bertahan lama. Setelahnya, angka pengangguran kembali naik dan mencapai puncak 1,01 juta orang pada Februari 2025. Lonjakan ini menunjukkan bahwa perbaikan sementara pada 2022 tidak berlanjut, dan lulusan berpendidikan justru semakin tertekan memasuki tahun 2024.

Di tengah upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi, angka tersebut memperlihatkan bahwa pasar kerja belum mampu menyerap tenaga terdidik secara optimal.

Lowongan Kerja Naik Drastis, Tapi Siapa yang Mengisinya?

Berbeda dengan tren penganggur sarjana, jumlah lowongan kerja resmi yang tercatat Kementerian Ketenagakerjaan justru meningkat cepat. Data 2022–2024 memperlihatkan lonjakan ekstrem:

  • 2022: 59.276 lowongan
  • 2023: 216.972 lowongan
  • 2024: 630.672 lowongan

Dalam tiga tahun, jumlah lowongan bertambah lebih dari sepuluh kali lipat. Angka ini memberi kesan positif bahwa kesempatan kerja terbuka lebar. Namun data pengangguran terdidik menunjukkan bahwa peluang tersebut tidak otomatis terisi oleh lulusan perguruan tinggi, menandakan adanya mismatch keterampilan, ekspektasi gaji, atau kualitas pekerjaan yang ditawarkan.

Preferensi Kerja Lulusan Muda, Dalam Negeri atau Luar Negeri?

Di balik angka lowongan kerja yang terus naik di dalam negeri, persepsi lulusan muda justru bergerak ke arah sebaliknya. Bagi banyak Gen Z dan fresh graduate, pasar kerja global terlihat lebih worth itbukan cuma soal gaji, tapi juga soal kepastian hidup dan kualitas kerja.

Untuk melihat kecenderungan ini lebih dekat, kami menyebarkan kuesioner singkat kepada responden Gen Z mengenai rencana mereka setelah lulus kuliah. Hasilnya menunjukkan bahwa 89 persen responden menyatakan lebih memilih bekerja di luar negeri, sementara hanya 11 persen yang memilih bekerja di dalam negeri. Temuan ini memang tidak dimaksudkan sebagai gambaran nasional, tetapi cukup untuk menunjukkan arah persepsi lulusan muda terhadap pasar kerja yang mereka hadapi.

Preferensi tersebut tidak muncul tanpa alasan. Ketika responden diminta menjelaskan faktor yang mendorong pilihan bekerja ke luar negeri, jawaban yang muncul menunjukkan pola yang relatif seragam.

Alasan yang paling banyak muncul dalam jawaban responden terkait pilihan bekerja ke luar negeri berkaitan dengan gaji yang lebih besar dan benefit kerja yang lebih banyak. Kedua alasan ini terlihat paling menonjol dibandingkan faktor lainnya, sehingga menjadi pertimbangan yang paling sering disebut oleh responden.

Di luar aspek tersebut, responden juga menyinggung keinginan untuk tinggal di luar negeri, diikuti oleh alasan mengenai fasilitas kerja yang dinilai lebih baik serta peluang karier yang lebih tinggi. Faktor-faktor ini tetap muncul dalam jawaban responden, meskipun dengan frekuensi yang lebih rendah dibandingkan alasan terkait kompensasi.

Pola jawaban ini memberikan gambaran mengenai hal-hal yang dipertimbangkan lulusan muda ketika melihat peluang kerja di luar negeri. Temuan ini tidak dimaksudkan untuk menarik kesimpulan kausal, tetapi untuk menunjukkan kecenderungan alasan yang paling sering disebut dalam konteks preferensi kerja responden.

Ketika Peluang Dalam Negeri Tak Lagi Menggoda

Sementara pasar kerja nasional bergerak dengan dua wajah, tren lain berkembang di kalangan anak muda: bekerja ke luar negeri. Berdasarkan data BP2MI, jumlah penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) kembali naik sejak 2022 dan diproyeksikan mencapai angka tertinggi sepanjang 2015–2026 pada tahun 2026 nanti.

Pascapandemi, minat bekerja di luar negeri meningkat tajam, terutama dari kalangan muda terdidik yang melihat negara lain sebagai tempat membangun CV, mengumpulkan modal, atau sekadar mencari lingkungan kerja yang dianggap lebih profesional.

Suara Lulusan Muda: “Kalau Kesempatan Nggak Ada di Sini, Ya Cari di Luar.”

Untuk melihat sisi manusianya, kami mewawancarai seorang fresh graduate berinisial A, yang mUntuk melihat sisi manusianya, kami mewawancarai seorang fresh graduate berinisial A, yang memutuskan mengikuti program kerja luar negeri. Ia mengaku sempat melamar di banyak perusahaan dalam negeri namun justru menemukan lebih banyak kepastian dari peluang luar negeri.

“Kalau di sini gajinya kecil, prosesnya lama, dan saingannya banyak. Di luar negeri, meski berat, setidaknya jelas jalurnya,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa keputusan itu bukan sekadar ikut-ikutan tren, tetapi refleksi dari rasa frustrasi terhadap pasar kerja domestik.

Pengalaman seperti ini bukan kasus tunggal. Di TikTok, Instagram, dan YouTube, semakin banyak konten yang mendorong generasi muda mencoba peruntungan ke luar negeri, bahkan sebelum menghabiskan satu semester mencari kerja di Indonesia.

Antara Peluang Global dan Risiko Brain Drain

Di satu sisi, meningkatnya mobilitas tenaga kerja terdidik dapat memperluas pengalaman profesional anak muda Indonesia. Mereka mendapatkan exposure internasional, gaji lebih tinggi, dan kemampuan baru yang kelak dapat dibawa pulang.

Namun ada sisi lain yang perlu diwaspadai: brain drain, yaitu berkurangnya SDM unggul di dalam negeri akibat arus tenaga terampil yang memilih bekerja di luar. Bila tren ini terus naik sementara pasar kerja domestik tidak membaik, Indonesia dapat menghadapi kekurangan talenta di berbagai sektor strategis.

Ke Mana Indonesia Harus Melangkah?

Untuk keluar dari paradoks ini, ada tiga rekomendasi utama:

  1. Perbaiki kualitas pekerjaan dalam negeri, terutama transparansi gaji, jenjang karier, dan kondisi kerja.
  2. Perkuat jembatan antara pendidikan dan industri, agar lulusan tidak sekadar terdidik, tetapi siap kerja.
  3. Bangun ekosistem talent retention, sehingga anak muda melihat Indonesia sebagai tempat karier yang prospektif.

Banyaknya lowongan tidak cukup bila tidak dibarengi kualitas dan kesesuaian yang dibutuhkan lulusan berpendidikan. Di tengah globalisasi peluang kerja, Indonesia perlu menciptakan alasan kuat bagi talenta mudanya untuk tetap berkembang di dalam negeri.

Fenomena ini lebih dari sekadar angka: ia adalah cerita tentang harapan, kekecewaan, dan pilihan hidup generasi muda Indonesia. Dan selama pemilik gelar masih merasa bahwa “masa depan lebih cerah di luar negeri”, paradoks ini akan terus berulang, meski lowongan kerja di dalam negeri bertambah setiap tahun.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *