Journalight

UI Journalism Studies

Explainer Opinion Research

“MASUK UI SENANGNYA CUMAN PAS KETERIMA DOANG!”: Perjuangan Mahasiswa Baru Menghadapi Transisi Besar

Abstrak

Transisi dari SMA ke perguruan tinggi sering menimbulkan ketidakpastian akademik dan sosial bagi mahasiswa baru. Penelitian ini mengeksplorasi jenis ketidakpastian yang dialami mahasiswa tahun pertama FISIP UI, strategi komunikasi yang digunakan untuk mengelolanya, serta dampaknya. Dengan pendekatan kualitatif fenomenologi interpretatif, data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap tiga informan terpilih. Hasil menunjukkan tiga jenis ketidakpastian utama: prosedural (administrasi dan jadwal), epistemik (materi dan metode belajar), dan relasional (hubungan sosial). Mahasiswa cenderung mengandalkan komunikasi informal dengan teman sekelas karena dianggap lebih cepat, nyaman, dan aman secara sosial. Strategi ini terbukti berdampak positif terhadap pemahaman akademik, kestabilan emosional, dan jejaring sosial. Temuan ini menguatkan relevansi Uncertainty Management Theory dan Uncertainty Reduction Theory, serta menyoroti pentingnya dukungan sosial dan struktural dalam proses adaptasi mahasiswa baru.

Kata kunci: Ketidakpastian, Mahasiswa Baru, Strategi Komunikasi, Komunikasi Informal, Adaptasi Mahasiswa, Uncertainty Management Theory.

Jangan Kaget! Dunia Kuliah Gak Ada Reminder Tugas Kayak di SMA

Pindah dari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) ke dunia perkuliahan ternyata bukan hanya sekedar soal ganti seragam atau tempat belajar. Ini merupakan suatu momen transisi besar yang sering bikin banyak mahasiswa baru merasa bingung, bahkan kewalahan. Jika dulu segala sesuatu terasa lebih terstruktur dan dibimbing, kini mahasiswa dituntut untuk lebih mandiri, sigap, dan cepat beradaptasi. Ini merupakan tantangan nyata yang juga dirasakan oleh Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI). 

Saat masa SMA, segalanya terasa lebih teratur, seperti jadwal yang telah ditentukan oleh sekolah, guru rutin menjelaskan materi, bahkan mengingatkan tenggat tugas. Namun, saat di dunia perkuliahan semuanya berubah. Mahasiswa dituntut lebih mandiri, misalnya dalam menyusun IRS, menghitung SKS, hingga merancang jadwal kuliah sendiri. Tidak ada lagi penjelasan rinci dari guru, sekarang mahasiswa harus aktif mencari tahu lewat jurnal, diskusi, atau tanya senior. Gaya mengajar dosen pun sangat beragam, menambah tantangan di masa transisi ini.

Untuk membantu adaptasi ini, sebenarnya UI telah menyediakan program ospek dari tingkat universitas, fakultas, hingga jurusan. Masing-masing punya pendekatan berbeda dalam membekali mahasiswa baru. Namun pada akhirnya, proses penyesuaian tetap bersifat personal. Ada yang cepat beradaptasi, ada pula yang butuh waktu lebih lama, dan itu sepenuhnya wajar.

Metodologi Penelitian: Menyelami Pengalaman Mahasiswa Tahun Pertama


Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi interpretatif untuk menggali secara mendalam bagaimana mahasiswa tahun pertama di FISIP UI menghadapi dan mengelola ketidakpastian selama perkuliahan. Pendekatan fenomenologi dipilih karena fokus pada pengalaman pribadi dan cara individu memberi makna pada situasi yang mereka alami.

Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan beberapa mahasiswa tahun pertama yang mengalami ketidakpastian di dalam kelas. Wawancara dilakukan secara tatap muka dan daring, dengan pertanyaan terbuka agar para informan bebas menceritakan pengalaman mereka. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposive sampling, artinya peneliti memilih secara sengaja mahasiswa yang memenuhi kriteria khusus, seperti pernah menghadapi kebingungan atau tantangan dalam memahami sistem perkuliahan dan membangun relasi sosial.

Setelah data terkumpul, peneliti melakukan analisis fenomenologi interpretatif yang menekankan pemahaman mendalam terhadap perspektif informan. Proses ini melibatkan pembacaan ulang transkrip wawancara, mengidentifikasi tema-tema utama, dan menghubungkan pengalaman para mahasiswa dengan teori yang digunakan. Hal ini didasarkan untuk menangkap makna dan nuansa dari pengalaman adaptasi mahasiswa tahun pertama di lingkungan akademik.

Apa itu Uncertainty Management Theory?

Uncertainty Management Theory (UMT) merupakan pengembangan dari Uncertainty Reduction Theory(URT) yang awalnya hanya fokus pada usaha individu untuk mengurangi ketidakpastian dalam komunikasi. UMT melihat ketidakpastian tidak selalu harus dikurangi, tetapi bisa dikelola sesuai kebutuhan dan konteks individu. Menurut Kramer (2004), individu secara kognitif menimbang apakah mereka perlu mencari informasi, menoleransi, atau mempertahankan ketidakpastian, dengan mempertimbangkan faktor sosial dan emosional seperti keinginan menjaga citra diri dan risiko sosial.

Dalam konteks akademik, ketidakpastian muncul dalam berbagai bentuk, seperti kebingungan terhadap materi kuliah, aturan/sistem perkuliahan, dan interaksi sosial. Mahasiswa menggunakan berbagai strategi komunikasi, seperti bertanya kepada teman sekelas, mencari informasi secara aktif, atau berdiskusi dalam kelompok, untuk mengelola ketidakpastian tersebut (Sollitto et al., 2018).

Inilah Konsep Utama dalam Uncertainty Reduction Theory (URT)

Ketidakpastian (Uncertainty)
Dalam UMT, ketidakpastian tidak hanya diartikan sebagai ketidaktahuan yang harus dihilangkan, tetapi juga sebagai kondisi yang dapat dikelola sesuai kebutuhan individu. Ketidakpastian bisa dipertahankan, ditoleransi, atau dikurangi, tergantung pada konteks dan motivasi seseorang.

Motivasi Mengelola Ketidakpastian
Individu termotivasi untuk mengelola ketidakpastian karena ketidakpastian bisa membawa rasa tidak nyaman, tapi juga bisa menjadi sesuatu yang diinginkan atau diperlukan dalam situasi tertentu. Proses pengelolaan ketidakpastian memperhitungkan faktor kognitif, emosional, dan sosial.

Strategi Pengelolaan Ketidakpastian
Berbeda dengan URT yang fokus pada pengurangan, UMT menjelaskan bahwa individu menggunakan berbagai strategi komunikasi untuk menambah, mempertahankan, atau mengurangi ketidakpastian, seperti:

Mencari Informasi Secara Aktif (Bertanya, Berdiskusi)
Menoleransi ketidakpastian tanpa harus segera mencari jawaban
Menggunakan komunikasi tidak langsung atau mencari dukungan sosial

Proses Kognitif dan Emosional
UMT menekankan bahwa pengelolaan ketidakpastian melibatkan proses kognitif di mana individu menimbang manfaat dan risiko dalam mencari informasi, serta proses emosional yang terkait dengan kenyamanan dan rasa aman dalam komunikasi.

Pengungkapan Diri dan Relasi Sosial
Pengungkapan diri tetap penting dalam UMT, namun lebih ditekankan pada konteks relasional dan kebutuhan emosional. Informasi yang dibagi membantu mengelola ketidakpastian sekaligus membangun dukungan sosial yang menguatkan.

Jadi Gimana Sih Mahasiswa Baru Menyesuaikan Diri? Beginilah Strategi Komunikasi Mereka!Â

Si Ramah Bersosialisasi: “Aktif Ngobrol, Aktif Menyerap”

Informan 1, mahasiswa Ilmu Komunikasi, mengalami kebingungan soal jadwal kuliah yang berubah-ubah, reputasi dosen yang katanya pelit nilai, serta gaya mengajar yang kaku. Ia juga sempat merasa canggung membaur karena belum mengenal karakter teman-temannya. Namun, dibanding bertanya langsung ke dosen yang dirasa terlalu formal dan menegangkan, ia lebih nyaman berdiskusi dengan teman dekat atau kakak tingkat.

“Sejauh ini, lebih enak kalau tanya ke teman karena nggak perlu mikirin bahasa formal,”ujarnya. Komunikasi informal ini jadi solusi atas rasa waswas. Lewat obrolan santai, ia bisa memahami ekspektasi dosen, menyesuaikan gaya menulis tugas, hingga mendapatkan nilai yang lebih baik. Selain itu, ia merasa lebih lega karena tahu bahwa kebingungan di awal kuliah ternyata juga dirasakan oleh teman-temannya.

Ia pun senang bisa berinteraksi dengan kating yang dianggap lebih berpengalaman, dan merasa terbantu karena bisa bertanya dalam suasana yang santai.

“Aku jadi senang karena bisa interaksi sama mereka dan merasa terbantu.”
— Maba Komunikasi 2024

Si Ekstrovert yang Aktif: “Nanya Dulu Biar Gak Bingung”

Informan 2, mahasiswa Kriminologi, merasa cukup syok dengan sistem kuliah yang fleksibel tapi membingungkan. Perubahan dari rutinitas SMA ke perkuliahan dengan IRS, pilihan kelas, hingga keharusan presentasi sebelum materi dijelaskan menimbulkan ketidakpastian.

Strategi yang ia pilih adalah bertanya ke teman terlebih dahulu karena lebih cepat, santai, dan tidak menegangkan. Menurutnya, diskusi dengan teman membuat materi lebih mudah dipahami dan tugas lebih tepat dikerjakan sesuai arahan. Bahkan saat “siak war”, teman-teman sekelas menjadi andalan utamanya. Ia merasa strategi ini bukan hanya efisien, tapi juga membantu secara akademik.

“Kalau dijelasin sama temen yang paham, bikin jadi ngerti materi. Tugas pun bisa dikerjain sesuai arahan.”
— Maba Kriminologi 2024

Si Akademik Introvert: “Daripada Malu Bertanya dan Sesat di Jalan…”

Informan 3, mahasiswa baru Hubungan Internasional 2024, datang ke UI tanpa teman dari sekolah lamanya. Ia merasa canggung, takut nggak bisa nyambung, dan kesulitan beradaptasi dengan sistem kuliah yang menuntut kemandirian dan dosen yang punya gaya mengajar berbeda-beda. Ini membuatnya ragu untuk aktif di kelas.

Namun perlahan, ia mulai membentuk lingkaran kecil teman yang nyaman untuk diskusi. Ia lebih suka bertanya ke teman sekelas, meski harus basa-basi dulu jika bukan teman dekat. Menurutnya, ngobrol dengan bahasa sehari-hari lebih mudah dan nggak bikin takut salah. Strategi ini tak hanya membantunya memahami materi, tapi juga membangun kepercayaan diri. Ia bahkan mulai membantu teman lain.

“Awalnya aku lumayan pressure, takut nggak punya teman. Tapi karena sering tanya dan diskusi, malah jadi deket dan merasa terbantu banget.”
— Maba Hubungan Internasional 2024

Ketiga informan menunjukkan bahwa strategi komunikasi informal baik lewat teman dekat, teman sekelas, maupun kakak tingkat menjadi cara utama mengelola ketidakpastian akademik dan sosial. Interaksi ini tak hanya berfungsi sebagai sarana mendapatkan informasi, tapi juga membantu membangun rasa nyaman, mengurangi tekanan, dan menciptakan relasi suportif di lingkungan kampus baru.

Menjadi Mahasiswa Baru Banyak Tantangannya?

Menjadi mahasiswa baru di sebuah universitas tidak hanya menuntut adaptasi akademik, tetapi juga kemampuan menghadapi berbagai bentuk ketidakpastian. Ketiga informan dalam penelitian ini menggambarkan ketidakpastian yang sama, seperti ketidakjelasan mengenai dosen pengampu mata kuliah, ketidakpastian terkait jadwal kuliah, serta tantangan dalam adaptasi pertemanan. Dalam konteks ini, strategi komunikasi terbukti menjadi salah satu alat utama yang digunakan mahasiswa untuk bertahan dan beradaptasi, sebagaimana dijelaskan dalam Uncertainty Management Theory (UMT), yang menyatakan bahwa individu secara kognitif mengelola ketidakpastian melalui strategi komunikasi yang disesuaikan dengan situasi sosial dan kebutuhan personal (Kramer, 2004; Brashers, 2001).

Sumber: Hasil Wawancara dengan Ketiga Informan

Strategi yang digunakan mahasiswa dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa komunikasi interpersonal, khususnya dengan teman sekelas yang dekat dengan mereka, menjadi pilihan utama untuk mengelola ketidakpastian baik akademik maupun sosial karena dianggap lebih santai dan informal dibandingkan jalur formal seperti bertanya ke dosen. Seluruh informan dalam studi ini menunjukkan bahwa motivasi mereka dalam berkomunikasi dengan teman sekelas bukan hanya untuk memperoleh informasi, tetapi juga untuk menciptakan rasa nyaman, menghindari tekanan hierarkis, dan membangun relasi yang suportif. Hal ini memperkuat temuan dari Sollitto et al. (2018), yang menyatakan bahwa mahasiswa baru cenderung membentuk jaringan sosial informal sebagai respons terhadap ketidakpastian, dan bahwa strategi komunikasi informal dapat mengarah pada peningkatan kemampuan akademik serta sosial yang lebih baik.

Mahasiswa Baru Punya Pola Hierarki dalam Bertanya?

Salah satu kesamaan yang menarik dari ketiga informan adalah pola hierarkis dalam bertanya. Mereka cenderung memulai proses pencarian informasi dari teman terdekat terlebih dahulu, kemudian meningkat ke kakak tingkat, dan hanya akan bertanya kepada dosen apabila sangat diperlukan. Pola ini menunjukkan bahwa rasa nyaman dan kedekatan sosial menjadi faktor utama dalam memilih sumber komunikasi. Hal ini selaras dengan prinsip UMT bahwa pengelolaan ketidakpastian tidak selalu dilakukan melalui jalur formal, melainkan melalui cara-cara yang dianggap paling aman oleh individu.

Meskipun Sama-Sama Mahasiswa Baru, Pendekatan Mereka dalam Mengelola Ketidakpastian Ternyata Berbeda, Loh…

Meski semua informan menghadapi pola ketidakpastian yang mirip, cara mereka mengelolanya berbeda-beda. Ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing. Misalnya, informan pertama yang berasal dari boarding school lebih siap menghadapi sistem akademik yang terstruktur, tapi justru merasa lebih tertantang secara sosial. Sementara informan kedua dan ketiga, yang berasal dari SMA Negeri, terlihat lebih kewalahan dalam menghadapi sistem akademik kampus yang menuntut lebih banyak inisiatif.

Informan pertama, yang memiliki latar belakang boarding school dengan disiplin akademik tinggi, menggunakan komunikasi dengan teman untuk memperoleh informasi yang bersifat strategis. Ia bertanya untuk menggali pola penilaian dosen dan gaya pengerjaan tugas yang disukai. Strategi ini memberikan dampak langsung terhadap prestasi akademiknya. Baginya, komunikasi menjadi sarana untuk memahami norma akademik yang tidak tertulis.

Sementara itu, informan kedua yang juga ekstrovert tetapi lebih santai terhadap nilai akademik dan cenderung lebih aktif di kegiatan non-akademik, mengandalkan komunikasi untuk mempercepat adaptasi terhadap sistem kampus seperti pengisian IRS dan SIAKNG. Ia menyebut bahwa teman sekelas lebih mudah diakses, tidak mengintimidasi, dan dan bisa diajak diskusi berulang kali tanpa takut “salah bicara”.

Informan ketiga, seorang introvert, memilih strategi komunikasi yang lebih selektif.  Dia lebih nyaman bertanya ke teman yang ia rasa dekat dan dianggap dapat menjawab pertanyaan dia. Dia juga sering mengikuti belbar (program belajar bareng anak HI) dan aktif diskusi dengan kakak tingkatnya. Komunikasinya bersifat mutual, kolaboratif, dan penuh empati. Di sini terlihat jelas bagaimana komunikasi bukan cuma soal tukar informasi, tapi juga membangun rasa percaya dan rasa memiliki.

Pelajaran yang Bisa Dipetik dan Tantangan Ke Depannya…

Sumber : Dokumentasi PSAK 2024

Pada Intinya…

Penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa baru FISIP UI menghadapi ketidakpastian terkait prosedur akademik, pemahaman materi, dan hubungan sosial. Untuk mengatasinya, mereka lebih mengandalkan komunikasi informal dengan teman sekelas karena terasa lebih mudah dan aman secara emosional. Strategi ini tidak hanya membantu aspek akademik, tetapi juga mendukung ketenangan psikologis dan adaptasi sosial. Namun, tantangan seperti rasa sungkan, ketimpangan partisipasi, dan dominasi suara tertentu dapat menghambat kenyamanan. Temuan ini menekankan pentingnya ruang komunikasi yang inklusif, serta menunjukkan bahwa pengelolaan ketidakpastian dipengaruhi oleh norma sosial, hierarki, dan kebutuhan menjaga citra diri.

Implikasi & Saran

Program orientasi mahasiswa berperan penting dalam membantu mahasiswa baru membangun jaringan komunikasi informal yang inklusif dan aman. Ruang komunikasi terbuka memungkinkan mereka bertanya, berbagi, dan saling mendukung, sehingga lebih siap menghadapi ketidakpastian akademik dan sosial. Ketergantungan pada teman sebaya menunjukkan keterbatasan struktur akademik formal dalam memenuhi kebutuhan informasi. Di FISIP UI, program PSAK menjadi contoh efektif dengan menyediakan mentoring senior dan teman sebaya, yang tidak hanya mengenalkan sistem akademik tetapi juga membangun jejaring sosial. PSAK secara sistematis mendukung komunikasi informal yang penting bagi kesiapan akademik dan kesejahteraan psikologis mahasiswa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *