Menguak Perkembangan Kasus Kekerasan pada Anak di provinsi Jawa Barat: Analisis Perbandingan Tahun 2019-2023
Kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Jawa Barat terus menunjukkan peningkatan signifikan selama lima tahun terakhir, khususnya pada periode 2022-2023. Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program pencegahan, nyatanya kekerasan terhadap anak di wilayah ini tidak kunjung menurun.
Dilansir dari kompas.com belum lama ini, seorang siswa SD di Subang Jawa Barat meninggal dunia akibat perundungan oleh kakak kelasnya yang terjadi di lingkungan sekolah. Selain itu, pada awal Maret lalu, masyarakat juga dikejutkan oleh tindakan keji seorang ibu di Bekasi yang tega menghabisi nyawa anaknya yang baru berusia lima tahun.
Lalu, bagaimana peningkatan kasus kekerasan pada anak di Jawa Barat?
Berdasarkan data yang kami peroleh, berikut grafik tren yang menunjukkan peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Jawa Barat selama lima tahun terakhir:
Grafik ini memperlihatkan lonjakan signifikan dalam kasus kekerasan pada tahun 2023, yang bahkan melebihi angka yang tercatat pada tahun 2022, meskipun berbagai program dan upaya pemerintah telah diterapkan.
Mengapa kasus kekerasan ini terus mengalami peningkatan?
"Kekerasan masih terus ada karena norma sosial, seperti anggapan bahwa anak harus mendapatkan disiplin untuk berhasil, atau ketidaksetaraan relasi kuasa antara kakak-senior dengan junior, atau guru dengan siswa."Ujar Kepala PUSKAPA.
Kekerasan terhadap anak di Indonesia terus meningkat dipicu oleh berbagai faktor, termasuk norma sosial yang mendukung kekerasan serta ketimpangan ekonomi yang semakin parah. Selain itu, ketimpangan seperti kemiskinan, sulitnya lapangan pekerjaan, dan stres ekonomi dalam rumah tangga menjadi pemicu besar kekerasan.Meski pemerintah telah menerapkan Undang-Undang Perlindungan Anak, sistem perlindungan di Indonesia dinilai masih lemah. Pelayanan untuk pencegahan, identifikasi dini, dan bantuan belum memadai untuk menekan angka kekerasan yang terus bertambah.
Dampak Kekerasan terhadap Anak
Kekerasan terhadap anak tidak hanya mengancam kesehatan fisik mereka, tetapi juga berpotensi menyebabkan gangguan psikologis dan sosial yang serius, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Pusat Kajian Perlindungan Anak (PUSKAPA), dampak dari kekerasan pada anak sangatlah luas.
“Kekerasan terhadap anak dapat mempengaruhi perkembangan anak secara menyeluruh. Ini mencakup aspek biologis, psikologis, dan sosial mereka,” jelas Ni Luh Putu Maitra Agastya dalam wawancara yang dilakukan.
Data yang tim kami temukan menunjukkan bahwa pada tahun 2023, Kota Bandung, Kabupaten Bekasi, dan Kota Depok merupakan daerah dengan angka kasus kekerasan terhadap anak tertinggi di Jawa Barat. Kasus kekerasan ini terjadi baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun lingkungan sosial lainnya. Anak perempuan menjadi korban utama kekerasan, namun kasus serupa juga dialami oleh anak laki-laki.
Gambar di atas memperlihatkan persebaran kasus kekerasan pada anak di Jawa Barat dari tahun 2019-2023. Terdapat 5 kabupaten/kota dengan kasus kekerasan terbanyak, yaitu Kota Bandung, Kabupaten Sukabumi, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bandung.
Upaya Pemerintah dalam Penanganan Kasus Kekerasan Anak
Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengambil beberapa langkah untuk menanggulangi masalah ini, salah satunya melalui program Jabar Cekas (Jawa Barat Berani Cegah Tindakan Kekerasan), yang mengajak masyarakat untuk berani melapor, berani menolak kekerasan, dan berani melindungi anak.
Namun, meskipun program ini memiliki tujuan yang baik, hasilnya belum terlihat signifikan. Pada 2023, angka kekerasan terhadap anak justru mengalami lonjakan tajam di beberapa daerah.
Kepala PUSKAPA menekankan bahwa untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak, pendekatan komprehensif sangat diperlukan, yang tidak hanya fokus pada pencegahan tetapi juga pada rehabilitasi korban.
“Pendekatan rehabilitasi sangat penting. Tidak hanya perlu membantu anak-anak yang menjadi korban kekerasan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka setelah mereka kembali ke masyarakat,”katanya.
Beberapa langkah yang direkomendasikan oleh PUSKAPA untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak di Jawa Barat antara lain:
- Rehabilitasi untuk Korban
Anak yang menjadi korban kekerasan perlu mendapatkan konseling dan terapi untuk mengatasi trauma. Selain itu, perlu ada pendampingan dari guru dan pihak sekolah agar anak merasa aman kembali setelah rehabilitasi.
- Dukungan untuk Keluarga Rentan
Keluarga dengan kesulitan finansial harus dipastikan mendapatkan bantuan sosial (bansos) untuk mengurangi stres orangtua yang dapat memicu kekerasan terhadap anak.
- Pencegahan Melalui Pendidikan
Pencegahan harus melibatkan sekolah, orangtua, dan komunitas dengan mengedukasi mereka tentang hak anak dan norma gender. Anak juga perlu diberikan keterampilan untuk mengenali dan melawan kekerasan.
- Pendampingan untuk Keluarga dengan Stres Tinggi
Keluarga yang mengalami kemiskinan atau stres tinggi perlu mendapatkan pendampingan sosial dan bantuan rutin dari pekerja sosial untuk mencegah kekerasan.
- Peningkatan Kemampuan Identifikasi Kekerasan
Semua pihak terkait harus dilatih untuk mengidentifikasi dan merespons kekerasan terhadap anak dengan menyediakan layanan responsif yang siap menangani laporan kekerasan.
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga meluncurkan Program Sistem Terintegrasi Olah Pengaduan Perundungan (STOPPER) pada tahun 2023. Pemprov Jawa Barat berharap bahwa solusi ini dapat mencegah adanya aksi perundungan serta memberikan rasa nyaman kepada peserta didik melalui pendekatan teknologi. Saat ini, program STOPPER sudah menerima laporan perundungan setiap bulan baik tingkat SMP, SMA, SMK, hingga SLB.
Program STOPPER ini sendiri dapat diakses melalui aplikasi Sapawarga guna memudahkan masyarakat dalam memberikan pengaduan perundungan dan keperluan yang lainnya secara terintegrasi. Program ini memiliki komponen kegiatan utama yaitu Aduan, Konsultasi Kesehatan Mental, Edukasi, dan Pendampingan. Sehingga diharapkan dapat membantu masyarakat dalam memperoleh edukasi terkait bullying serta pendampingan secara psikis dan psikologis untuk korban yang mengalami bullying.
Sosialisasi terkait program STOPPER juga gencar dilakukan di sekolah-sekolah di Jawa Barat. Hal ini dilakukan guna menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan kepada siswa akan dampak dari tindakan bullying itu sendiri.
Sementara ini, sudah ada pula Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPKS) berisikan guru-guru Bimbingan Konseling (BK) yang sudah diberikan pelatihan untuk pencegahan masalah kekerasan di lingkungan pendidikan.
Menurut sebuah studi, kasus kekerasan biasanya baru terungkap ketika korban datang langsung melapor. Upaya deteksi dini? Hampir tak ada. Sosialisasi dan edukasi soal pencegahan kekerasan memang dilakukan, tetapi seringkali hanya menjadi "sisipan" dalam program kesehatan lainnya. Pesannya sering terlewatkan karena keterbatasan waktu, sumber daya, atau prioritas yang tak kunjung fokus pada masalah ini.
Situasi semakin rumit karena fasilitas di layanan kesehatan salah satunya Puskesmas belum ramah untuk korban. Tidak ada ruang khusus untuk mereka. Bayangkan seorang anak yang menjadi korban kekerasan harus mengungkap pengalaman traumatisnya di tempat yang terbuka, tanpa privasi, dan tanpa rasa aman.
Proses penanganan yang ada pun masih terbatas. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai dampak medis, sementara konseling diberikan untuk membantu korban pulih secara psikologis. Dalam beberapa kasus, Puskesmas memang bekerja sama dengan lembaga sosial atau aparat hukum. Namun, itu saja belum cukup. Pendekatan yang ada cenderung reaktif menunggu korban datang ketimbang aktif mencari solusi di tingkat komunitas. Jika deteksi dini diperkuat, fasilitas ditingkatkan, dan edukasi benar-benar dijadikan prioritas, Puskesmas bisa menjadi benteng yang lebih kokoh melawan kekerasan karena setiap korban yang tak terungkap adalah cerita yang tetap terkubur, dan setiap tindakan yang tertunda adalah peluang yang terlewatkan.
Solusi yang Diperlukan
Dampak kekerasan terhadap anak sangat luas, meliputi gangguan fisik, psikologis, dan sosial, yang berpotensi berlanjut hingga dewasa. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan cenderung mengalami trauma yang mempengaruhi perkembangan emosional, perilaku, dan hubungan sosial mereka di masa depan.
Untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif, tidak hanya mencakup pencegahan tetapi juga rehabilitasi korban. Pemerintah perlu memastikan adanya pendampingan yang memadai bagi anak yang menjadi korban, baik di sekolah maupun di masyarakat. Selain itu, program edukasi di sekolah tentang hak anak, pengenalan kekerasan, dan cara pencegahannya harus diperkuat. Disisi lain, penyuluhan kepada orang tua dan komunitas juga penting, terutama dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya lingkungan yang aman bagi anak. Dukungan sosial dan bantuan ekonomi bagi keluarga rentan, khususnya yang menghadapi kesulitan finansial, juga harus diperkuat guna mencegah kekerasan dalam keluarga.
Kedepannya, diharapkan lebih banyak kolaborasi antara pemerintah dan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun masyarakat akan isu kekerasan terhadap anak, sehingga dapat memberikan dampak positif dalam menurunkan angka kasus kekerasan pada anak di Jawa Barat.