“Kalau menurut gua walaupun gua belum beranjak ke ranah profesional, gua dituntut untuk seenggaknya punya pengalaman kerja terlebih dahulu sedangkan dari mahasiswa sebelumnya kan minim akan pengalaman pekerjaan, di dalam magang pun juga dimintain untuk ada nggak pengalaman kerja buat masuk ke magang? Nah itu jadi pressure buat kita dengan fenomena turun kelas ini juga dampaknya ke kurangnya lapangan pekerjaan, jadi ya sesusah itu”
-Daniel, Mahasiswa Komunikasi UI Angkatan 2021
Kutipan di atas diambil saat kami mewawancarai beberapa orang untuk menanggapi mengenai fenomena turunnya kelas menengah di Indonesia. Fenomena ini ditanggapi secara serius oleh narasumber sebagai mahasiswa akhir yang akan menghadapi dunia pekerjaan. Ia melihat bahwa fenomena ini menjadi momok bagi mereka yang akan masuk dalam dunia kerja, sementara lapangan pekerjaan semakin langka karena adanya fenomena ini
Berbicara lebih lanjut mengenai fenomena penurunan kelas menengah, Lebih dari 12 juta orang dalam 5 tahun terakhir tidak lagi berstatus sebagai kelompok masyarakat kelas menengah. Menurunnya daya beli dan menyempitnya lapangan pekerjaan layak, menjadi salah dua dari sekian banyak pemicu penurunan status kelas sosial tersebut. Masyarakat kelas menengah, merujuk perhitungan dari Bank Dunia, adalah masyarakat dengan pengeluaran 3,5-17 kali garis kemiskinan suatu negara, atau kurang lebih Rp2.040.262 – Rp9.909.844 per kapita per bulan pada 2024.
Dapat dikatakan pandemi COVID-19 merupakan pemantik dari melemahnya daya beli masyarakat dan perekonomian Indonesia. Namun, kondisi pasca pandemi juga belum menunjukkan tanda-tanda penguatan perekonomian yang signifikan. Terhitung per 2021, ketika kondisi pandemi mulai pulih, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 3.70%. Angka tersebut merupakan peningkatan dari tahun sebelumnya yang jatuh hingga -2.07%. Pada 2022, ekonomi Indonesia kembali meningkat sebesar 5.31% dan menjadi capaian tertinggi sejak tahun 2013. Akan tetapi, per 2023 terjadi penurunan menjadi 5.05%. Kondisi perekonomian yang masih tergolong fluktuatif ini diperparah dengan pengadaan lapangan pekerjaan yang semakin timpang, terutama di sektor pekerjaan formal.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam satu dekade terakhir, terdapat tren penurunan jumlah lapangan pekerjaan formal. Pekerja formal yang dimaksud adalah kelompok pekerja yang memiliki perjanjian kerja dengan perusahaan berbadan hukum. BPS mencatat tren data dalam rentan lima tahun pada 2009-2014, 2014-2019, dan 2019-2024.
Apabila diakumulasi, dari 2009 hingga 2024, terdapat 13,6 juta lapangan pekerjaan formal yang hilang dalam 25 tahun terakhir, lebih dari 85% angka penurunan yang terjadi. Kondisi sebaliknya, di sektor pekerjaan informal, menunjukkan jumlah peningkatan di sejumlah provinsi di Indonesia. Fenomena peningkatan lapangan pekerjaan informal ini, menunjukkan hubungan kausalitas dimana lapangan pekerjaan formal mulai tergeser dengan peningkatan jumlah lapangan pekerjaan informal. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data BPS, dari 142,18 juta penduduk Indonesia yang bekerja, sebanyak 59,17% atau sekitar 84 juta orang, bekerja di sektor informal. Kondisi ini menjadi masalah karena sektor informal rentan dari sisi perlindungan kerja dan penghasilan yang tidak tetap. Contoh dari pekerja informal adalah pengemudi ojek online, kuli bangunan, dan pekerjaan lain yang memiliki kontrak jangka pendek atau bahkan tidak sama sekali. Data BPS menunjukkan 23 dari 34 provinsi di Indonesia mengalami peningkatan jumlah lapangan kerja informal, dengan peningkatan tertinggi di Bali, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan bertambahnya jumlah angkatan kerja di Indonesia setiap tahunnya. Dari rentan waktu selama 4 tahun saja sejak 2020 sampai 2024 peningkatan terjadi sebanyak sekitar 15 juta. Kenaikan yang signifikan ini menjadi masalah ketika kenaikan tersebut tidak di imbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia dan hal tersebutlah yang terjadi di Indonesia. Tentu implikasinya pada penyerapan tenaga kerja, dimana angka pengangguran menjadi meningkat. Per tahun 2024 ini jumlah persentase tingkat pengangguran terbuka atau dikenal dengan sebu tan TBT per provinsi di Indonesia menunjukkan mayoritas provinsi di pulau Jawa yang memiliki TBT tertinggi, dibanding beberapa provinsi lain di luar Pulau Jawa, dengan provinsi yang memiliki TBT tertinggi yakni Jawa Barat sebesar 9,82%, diikuti DKI Jakarta 6,03%, Sumatera Utara menjadi yang provinsi tertinggi TBT nya di luar provinsi di Pulau Jawa dengan TBT sebesar 5,10%, kemudian Jawa Tengah 4,39%, dan lima tertinggi yakni Jawa Timur sebesar 3,74%.
Tidak hanya itu, dampak lain yang bisa dirasakan dengan menurunnya tren jumlah kelas menengah yakni pengeluaran kebutuhan pokok yang meningkat, baik makanan maupun non-makanan. Meningkatnya pengeluaran pokok ini hanya berdasarkan jumlah besarannya atau nominal bukan secara kuantitas, karena peningkatan harga adanya inflasi. Peningkatan harga pengeluaran pokok tersebut mengindikasikan bahwa adanya beban ekonomi yang juga meningkat saat ini.
Selain itu, fenomena adanya penurunan kelas menengah di Indonesia ini juga diperparah dengan adanya berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia yang tidak memihak kepada kelas menengah. Mulai dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dari yang sebelumnya 11% menjadi 12%. Aturan ini berlaku tahun depan per 1 Januari 2025. Sesuai aturan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan 1% dalam tarif PPN berarti kenaikan harga barang dan jasa hingga 9% (contohnya Rp 100.000 menjadi Rp 112.000). Ini semakin memperburuk daya beli mereka yang sudah tertekan inflasi. Kemudian pembatasan penggunaan Bahan Bakar Minyak atau BBM bersubsidi pada 1 Oktober 2024, juga yang sempat ramai kemarin adanya kebijakan penyesuaian subsidi tarif KRL berdasarkan NIK KTP pada tahun 2025. Tentu hal tersebut membebani kelas menengah karena adanya kenaikan biaya hidup.
Rencana kewajiban iuran dana pensiun tambahan bagi pekerja berpenghasilan tertentu di luar program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), dan kewajiban kendaraan bermotor memiliki asuransi third party liability (TPL) sesuai dengan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) juga turut andil dalam menyengsarakan kelas menengah, serta tak luput kebijakan Tapera yang mewajibkan pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Konsekuensinya, pekerja dengan gaji diatas UMR akan dipungut iuran sebanyak 3% dari gaji, yang diatur dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 21 tahun 2024. Ini tentunya menambah beban finansial, terutama bagi mereka yang sudah terbebani oleh biaya hidup yang tinggi dan implikasi kedepannya yang menimbulkan sosial ketimpangan yang semakin serius.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Berdasarkan permasalahan diatas tim kami memberikan beberapa rekomendasi dan saran yang bisa diusulkan, mulai dari reformasi kebijakan pajak melalui pengurangan pajak penghasilan (PPh) untuk kelompok menengah tertentu dan peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Kemudian akses terhadap pendidikan dan pelatihan melalui subsidi pendidikan tinggi untuk anak-anak kelas menengah. dan program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) untuk menghadapi perubahan di pasar kerja.
Program jaminan sosial yang lebih inklusif bagi kelas menengah rentan, seperti asuransi kesehatan, subsidi perumahan, atau perlindungan pensiun dan dana cadangan darurat untuk membantu keluarga kelas menengah yang terdampak krisis ekonomi secara tiba-tiba juga bisa menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah yang ada, tak terkecuali pemberian pinjaman berbunga rendah bagi usaha kecil dan menengah (UKM) yang dikelola oleh kelas menengah dan insentif bagi usaha baru yang menciptakan lapangan kerja lokal turut andil dalam memberikan kontribusinya menyelesaikan masalah ini. Rekomendasi lain juga bisa melalui penetapan kebijakan kenaikan upah yang sejalan dengan inflasi dan produktivitas tenaga kerja dan menjaga daya beli kelas menengah tetap stabil dan mengurangi kesenjangan antara kebutuhan hidup dan penghasilan.
Rekomendasi kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat daya tahan dan keberlanjutan kelas menengah sebagai pilar stabilitas ekonomi. Dengan langkah-langkah yang mendukung daya beli, meningkatkan akses terhadap pendidikan dan pelatihan, serta menciptakan jaring pengaman sosial, kelas menengah dapat tetap menjadi kekuatan utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.