Journalight

UI Journalism Studies

Explainer

Kebebasan Pers Terancam: Teror Kepala Hewan Hantui Tempo

Dalam empat hari, jurnalis Tempo diteror kepala babi, bangkai tikus, dan ancaman digital—memicu kekhawatiran serius terhadap kebebasan pers di Indonesia.

Bekasi, (28/3) – Dalam empat hari, redaksi TEMPO mengalami tiga aksi teror yang mengancam adanya kebebasan pers. Dimulai dari kepala babi, bangkai tikus, hingga doxingterhadap wartawan yang menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan para jurnalis. Hingga saat ini, dalang dan pelaku di balik ancaman ini masih belum teridentifikasi. Sementara itu, reaksi dari berbagai pihak termasuk masyarakat terus bermunculan.

Teror Beruntun terhadap TEMPO

Teror pertama terjadi pada 19 Maret 2025, ketika kantor redaksi TEMPO menerima paket kepala babi tanpa telinga. Paket itu ditujukan kepada seorang wartawan politik yang juga hostdari program “Bocor Alus Politik”. Sehari kemudian, Francisca Rosana (Cica) menerima paket berisi kepala babi lain dengan kedua telinganya terpotong serta mengeluarkan bau busuk yang menyengat.

Teror berlanjut pada 22 Maret 2025. Sebuah paket berisi enam kepala tikus ditemukan di kantor TEMPO. Jumlah kepala tikus ini diduga mengarah pada enam hostpada program yang sama, yaitu “Bocor Alus Politik”. CCTV  menunjukkan seseorang melempar paket itu ke dalam gedung pada pukul 02.00 dini hari. 

Tak hanya ancaman fisik, seorang jurnalis TEMPO mengalami doxing, di mana data pribadinya disebarkan oleh akun anonim @derrynoah. Ini memperlihatkan bahwa teror terhadap TEMPO tidak hanya berupa kekerasan langsung, tetapi juga intimidasi digital.

Respons dan Proses Hukum

Pada 21 Maret 2025, TEMPO melaporkan insiden ini ke pihak kepolisian, tetapi hingga kini belum ada perkembangan signifikan. Komnas HAM bahkan mempertanyakan kelambanan penyelidikan. Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) juga melaporkan kasus ini ke Komnas HAM pada 24 Maret 2025, menyoroti pola ancaman sistematis terhadap kebebasan pers di Indonesia.

Pemerintah juga mendapat sorotan dan kritik tajam dari masyarakat. Hasan Nasbi, Juru Bicara Presiden, awalnya menanggapi insiden ini dengan candaan yang kontroversial, “udah dimasak saja(kepala babi).Pernyataan tersebut langsung menuai respon negatif dari masyarakat. Hal tersebut membuat Hasan akhirnya memberikan klarifikasi, mengklaim ucapannya bertujuan agar jurnalis tidak takut terhadap teror yang sedang terjadi.

Gelombang Solidaritas untuk TEMPO

Dukungan terhadap TEMPO terus mengalir. Pada 24 Maret 2025, TEMPO menggelar acara “Kami Bersama TEMPO” yang dilaksanakan di Gedung TEMPO, Palmerah, Jakarta. Musisi sekaligus alumni TEMPO, Ananda Badudu, turut hadir memberikan dukungan moral. Komunitas Seniman Nusantara yang beranggotakan 322 seniman, penulis, jurnalis, dan akademisi, juga merilis pernyataan sikap pada 25 Maret 2025.

Tagar #KamiBersamaTEMPO viral di dunia maya. Hal ini menjadi topik menarik bagi para Media termasuk homeless media yang ikut menyuarakan solidaritas, seperti @aji.indonesia, @lbhpers, @whiteboardjournal, @kabarsejuk, @persma_jabodetabek, dan @walhi.nasional.

Ancaman terhadap Kebebasan Pers: Deja Vu?

Kejadian ini bukanlah kali pertama di Indonesia, tetapi teror pernah terjadi sebelumnya pada 1983 yang menimpa Peter A. Rohi. Lewat Suara Indonesia, Ia mengkritisi kebijakan pemerintah mengenai Petrus (Penembak Misterius) yang dinilai mengancam nyawa korban yang tidak bersalah. Alhasil, teror didapatkan oleh Peter yang menerima paket potongan kepala manusia pada Konferensi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke-17. Tidak hanya itu, redaksi Suara Indonesia juga menerima telepon misterius yang mengancam mental surat kabar itu.

Dunia internasional merespon keras akan teror tersebut dan masuk dalam laporan HAM Internasional bahwa masih ada penindasan pers di Indonesia. Martha Meyer, perwakilan Amnesti Internasional di Belanda, menawarkan Peter keluar dari Indonesia untuk sementara waktu. Akan tetapi, Peter tidak berangkat dan memilih untuk terus menulis sampai Soeharto menghentikan Petrus.

Secara hukum, intimidasi terhadap jurnalis melanggar Pasal 18 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa penghalangan kerja jurnalistik adalah pelanggaran hukum. Namun, implementasi aturan ini masih dipertanyakan karena banyak kasus serupa yang belum mendapatkan keadilan.

Respon Internasional terhadap Teror Pers di Indonesia

Insiden ini tentu membuat kondisi pers di Indonesia cukup memprihatinkan. Bahkan, isu ini menjadi perhatian media Internasional The Guardian yang merilis berita dengan judulA pig’s head and decapitated rats: a new era of intimidation dawns for journalists in Indonesia.

Nasib kebebasan di pemerintah Presiden Prabowo dinilai mengkhawatirkan. Ia dikenal menghindari wawancara dan tidak menandatangani komitmen kebebasan Pers saat kampanye pencalonan Presiden 2024 lalu.

Ross Tapsell, pakar media dari Australian National University, menyatakan bahwa respons pemerintah akan menentukan apakah jurnalis menjadi target sah serangan. Committee to Protect Journalists (CPJ) menyebut insiden ini sebagai bentuk intimidasi berbahaya dan mendesak Presiden Prabowo untuk mengecam tindakan ini agar Indonesia tetap dihormati sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengutuk aksi ini sebagai “ancaman kematian simbolik” yang mengancam hak publik atas berita berkualitas. Goenawan Mohamad, pendiri TEMPO, menyebut serangan ini sebagai “tanda ketakutan” dan mempertanyakan apakah pemerintah akan meninjau ulang UU Pers. 

Di tengah ketegangan ini, Francisca, jurnalis TEMPO yang mendapat ancaman, menolak tunduk pada intimidasi. “Saya ingin mengatakan kepada semua jurnalis perempuan: jangan takut terhadap intimidasi karena mereka yang mengintimidasi sebenarnya adalah mereka yang takut pada kebenaran.”

Masa Depan Kebebasan Pers di Indonesia

Kasus ini menjadi ujian bagi kebebasan pers di Indonesia. Jika dibiarkan berlarut-larut tanpa ada tindakan nyata dari aparat penegak hukum, maka peristiwa serupa bisa saja terjadi lagi dan semakin membahayakan keselamatan jurnalis. Tidak hanya itu, kebebasan pers yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi bisa semakin terkikis akibat berbagai bentuk tekanan dan ancaman.

Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin perlindungan terhadap jurnalis, sebagaimana diatur dalam undang-undang. Penyelidikan yang transparan dan langkah hukum yang tegas harus dilakukan agar pelaku tidak merasa kebal hukum. Di sisi lain, solidaritas masyarakat sipil, organisasi pers, dan komunitas internasional harus terus diperkuat untuk memastikan bahwa intimidasi terhadap jurnalis tidak menjadi hal yang normal di Indonesia.

Jika pemerintah gagal dalam menangani kasus ini, maka Indonesia akan semakin jauh dari standar kebebasan pers yang dijunjung di negara-negara demokratis. Sebaliknya, jika tindakan nyata diambil, maka ini bisa menjadi langkah awal untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap komitmen negara dalam melindungi kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang bebas dari tekanan serta intimidasi.

Sumber Referensi:

Dukungan Solidaritas

Ancaman terhadap Kebebasan Pers

Respon Internasional terhadap Teror Pers di Indonesia

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *