DEPOK (2/4) — Meskipun aksi unjuk rasa seperti #TolakRUUTNI merupakan bentuk nyata dari upaya masyarakat untuk menggunakan hak kebebasan berpendapat mereka, gerakan ini kini kerap dipandang dan direspon secara negatif.

Sejumlah masyarakat melaksanakan aksi unjuk rasa hingga malam hari (Sumber: Dokumentasi pribadi demonstran)
Selama 8 hari, mahasiswa, akademisi, dan masyarakat sipil turun ke jalan dalam aksi #TolakRUUTNI. Aksi ini tersebar di hampir 70 kota, mulai dari Banda Aceh hingga Jayapura. Massa mengungkapkan penolakan serta kekhawatiran mereka terhadap isi dan proses penyusunan RUU TNI yang kini telah disahkan menjadi UU.
Namun, aksi ini tidak mendapatkan respon positif dari pemerintah dan aparat. Berbagai laporan tentang kekerasan, intimidasi, dan penangkapan tersebar luas di media sosial. Sayangnya, tindakan represif dari aparat kini kerap dianggap “biasa” oleh sebagian masyarakat, padahal ini justru menjadi bentuk ancaman bagi demokrasi di Indonesia. Kondisi ini lalu memunculkan pertanyaan: Apa sebenarnya esensi aksi unjuk rasa, dan bagaimana realitanya di Indonesia?
Mengapa aksi unjuk rasa itu ada?
Aksi unjuk rasa atau demonstrasi adalah bentuk ekspresi politik yang krusial dalam menyuarakan aspirasi dan mendorong perubahan sosial. Aylon Cohen, seorang peneliti ilmu sosial, menjelaskan bahwa aksi protes dapat menjadi ruang bagi masyarakat, terutama kelompok marginal, dalam menegaskan hak mereka dalam sistem politik. Dengan kata lain, unjuk rasa merupakan respons alami dalam menuntut keadilan dan kesetaraan.
Aksi unjuk rasa yang efektif dapat menggerakan opini publik, menekan pemerintah atau institusi, hingga menciptakan momentum reformasi atau perubahan kebijakan, ungkap sosiolog asal Amerika, Zeynep Tufekci. Hal ini dikarenakan mobilisasi massa yang besar mampu menarik perhatian media dan memaksa pihak berwenang untuk memberikan respon terhadap tuntutan massa. Selain itu, unjuk rasa juga mampu membangun solidaritas antar kelompok sehingga memperkuat gerakan sosial dalam jangka panjang.
Bagaimana aksi unjuk rasa bisa berujung ricuh?
Sebuah aksi unjuk rasa dapat berujung pada kericuhan. Kericuhan ini biasanya dipicu oleh berbagai faktor, terutama saat aksi mulai dibatasi. Umumnya, eskalasi terjadi pada sore hingga malam hari. Aturan UU membatasi unjuk rasa untuk hanya dapat dilakukan di ruang terbuka hingga pukul 18.00 dan di lokasi tertutup hingga pukul 22.00 waktu setempat. Waktu pembatasan ini kerap kali menjadi titik kritis karena saat itulah aparat mulai membubarkan massa yang masih bertahan.
Situasi ini pada akhirnya menghasilkan bentrokan antara aparat dan massa yang umumnya akibat tindakan represif, seperti penggunaan gas air mata ataupun penggunaan pentungan, yang dilihat sebagai respon berlebihan dalam menangani massa. Alih-alih meredam ketegangan, respon semacam ini justru memancing perlawanan dari massa aksi.
Dalam konteks aksi #TolakRUUTNI lalu, dilaporkan bahwa terdapat kejadian di mana aparat mengejar massa aksi yang sedang membubarkan diri. Tak hanya itu, banyak massa aksi yang pada akhirnya harus dibawa ke rumah sakit akibat kekerasan yang mereka dapatkan. Bahkan, terdapat laporan bahwa aparat membatasi ruang gerak relawan medis yang sedang membantu massa aksi yang terluka. Hal ini berujung pada massa aksi selanjutnya untuk memakai alat perlindungan untuk melindungi diri mereka ketika mengikuti unjuk rasa.
Di sisi lain, respon pemerintah yang dianggap tidak pasti terhadap tuntutan demonstran juga mampu memicu frustasi dan memperburuk konflik. Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dilaporkan bahwa sekitar 200 mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Kupang. Namun, dikarenakan anggota DPRD enggan menemui massa, mahasiswa bersama dengan koalisi masyarakat sipil akhirnya memaksa masuk ke dalam gedung untuk mengungkapkan kekecewaan mereka secara langsung. Kasus serupa juga terjadi di Malang, Tasikmalaya, Siantar, dan beberapa kota lainnya.
Bagaimana regulasi aksi unjuk rasa di Indonesia?
Di Indonesia, hak terkait unjuk rasa dijamin dalam Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU menegaskan bahwa warga negara berhak menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak asasi mereka. Regulasi ini juga mengatur berbagai aspek dari unjuk rasa, termasuk hak dan kewajiban massa aksi, prosedur pengadaan aksi, serta tanggung jawab aparat dalam pengamanan.
Sebagai pelindung dari massa aksi, Polri juga diatur oleh peraturan dalam pelaksanaan unjuk rasa. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Negara RI Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Secara spesifik, peraturan ini membahas hak, kewajiban, dan larangan bagi massa aksi, serta tugas dan kewajiban dari aparatur pemerintah. Asas-asas seperti legalitas, perlindungan HAM, proporsionalitas, hingga keseimbangan menjadi landasan bagi aparat. Selain itu, peraturan ini juga menguraikan penanganan pelanggaran yang mungkin terjadi dalam aksi unjuk rasa, mulai dari jenisnya, tahapan penindakannya, hingga penyelesaiannya.
Dalam peraturan ini pula, tepatnya Pasal 23 dan 24, diatur mengenai standar penindakan pelaku pelanggaran dalam unjuk rasa. Standar ini menekankan kewajiban aparat untuk memperlakukan pelaku pelanggaran secara manusiawi, tanpa adanya penganiayaan, penyeretan, pelecehan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat pula ayat yang berperan sebagai pengingat bagi aparat untuk menghindari tindakan kontra produktif, seperti bertindak secara spontan dan emosional, melakukan kekerasan, menganiaya, melecehkan, melanggar HAM, melampaui wewenang, dan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Meski demikian, dalam praktiknya, regulasi ini seringkali dilanggar. Amnesty International, gerakan global yang bergerak di isu HAM, mencatat adanya pelanggaran pada aksi #TolakRUUTNI. Mereka mengungkapkan bahwa polisi menggunakan kekuatan berlebihan di beberapa titik unjuk rasa. Salah satu insiden melibatkan seorang pengemudi ojek onlinedi Jakarta yang dikeroyok polisi karena keliru dianggap sebagai bagian dari massa aksi. Pengemudi tersebut menderita luka-luka di kepala dan tangan. Selain itu, seorang jurnalis juga menjadi korban intimidasi, di mana ponsel dan kunci motornya dirampas secara paksa ketika meliput kejadian di mana polisi mengejar massa aksi.
Hal ini lalu menambah kekhawatiran terkait kemampuan aparatur pemerintah dalam menghadapi aksi unjuk rasa dengan bijak, sekaligus semakin meningkatnya penyalahgunaan kekuasaan yang mampu berdampak buruk pada kondisi demokrasi Indonesia.
Bagaimana cara melindungi dirimu, keluargamu, atau temanmu yang mengikuti aksi unjuk rasa?
Meskipun perundang-undangan Indonesia menjamin hak warga negara dalam memperoleh perlindungan hukum dalam aksi unjuk rasa, perlu diperhatikan kewajiban kita sebagai bagian dari massa aksi. Kita bisa berperan dalam menjaga agar unjuk rasa berlangsung aman, tertib, dan damai. Namun, perlu diingat pula bahwa potensi bahaya yang muncul dalam wujud kericuhan sangat mungkin untuk terjadi. Hal ini mendorong kita untuk selalu siap dan waspada sebagai kunci perlindungan diri dan orang di sekitar kita.
Sebelum berpartisipasi dalam unjuk rasa, pastikan Anda membawa perlengkapan yang mendukung keselamatan dan kenyamanan. Gunakan pakaian yang nyaman dan hindari pemakaian perhiasan dan barang berharga lainnya. Pakai tas ransel atau waist bagyang telah diisi dengan obat-obatan pribadi, makanan ringan, dan uang tunai secukupnya. Sebagai upaya untuk melindungi diri dari gas air mata, bawa juga masker, kacamata renang, dan pasta gigi. Situasi aksi memungkinkan Anda untuk terpisah dari rombongan, menjadi bagian dari massa yang tertangkap aparat, ataupun terluka, pastikan untuk membawa identitas diri, seperti KTP, dan tulisan yang berisikan informasi penting, seperti nama, kontak darurat, dan golongan darah. Informasi tersebut dapat membantu orang lain untuk memberikan pertolongan jika hal yang tidak diinginkan terjadi kepada Anda.
Jika Anda tidak dapat ikut serta dalam aksi unjuk rasa, Anda tetap bisa memberikan dukungan dengan menyebarluaskan informasi mengenai keselamatan massa aksi dan menjadi kontak darurat bagi mereka. Pastikan untuk terus memantau kabar teman atau keluarga yang berpartisipasi, mengonfirmasi bahwa mereka sudah sampai di lokasi dengan aman, mengikuti aksi secara damai, serta dapat dihubungi selama aksi berlangsung. Jangan lupa untuk memastikan bahwa mereka mampu kembali ke rumah dengan aman. Selain itu, Anda juga bisa memantau perkembangan aksi melalui media berita yang kredibel untuk memastikan unjuk rasa berjalan semestinya.
Ditulis oleh: Elaine Keisha, Bernadette Moureen Nathalia Indra, Muhamad Rafi Firmansyah Harun, dan Muhamad Ichsan Febrian
Sumber Data:
Why Protests Work? oleh The Atlantic
Perkap Nomor 9 Tahun 2008
Sovereign Chaos and Riotous Affects, Or, How to Find Joy Behind the Barricades oleh Aylon Cohen
UU RI Nomor 9 Tahun 1998
Amnesty International terkait aksi #TolakRUUTNI
Liputan Unjuk Rasa Omnibus Law oleh BBC Indonesia
Sumber Foto:
Poskota ‘Demo UU TNI, Mahasiswa di Malang Alami Patah Rahang, 4 Orang Hilang Tanpa Jejak!’