Catatan penulis:
Pencarian data dan riset artikel ini dibantu dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI), ChatGPT.
Jakarta, 04/06/2025 – Sebuah rangkaian KRL (Kereta Rel Listrik) baru mulai melintasi jalur Jabodetabek. Desainnya lebih modern, interiornya lebih nyaman, dan fitur informasinya kini ditampilkan secara digital. Namun, di balik peningkatan kualitas layanan tersebut, ada fakta yang mencuri perhatian dan membuat masyarakat berpikir kembali. Kereta ini bukan dibuat di dalam negeri, melainkan didatangkan dari Tiongkok. Pengadaan KRL terbaru oleh PT KAI Commuter dari produsen asal China menimbulkan pertanyaan, antara optimisme akan modernisasi dan kekhawatiran atas ketergantungan pada impor.
Perjalanan KRL
KRL Commuter Line telah menjadi tulang punggung transportasi publik di Jakarta dan sekitarnya.
Sejak era 1970-an, wajah KRL Jabodetabek didominasi oleh rangkaian bekas dari Jepang. Mulai dari seri Rheostatik hingga seri 205JR, gerbong-gerbong ini sudah menemani lintasan urban selama puluhan tahun.
Saat ini, sebagian besar dari mereka telah mencapai usia pensiun. Beberapa di antaranya bahkan telah melewati batas optimal operasional.
Dilansir dari kompas.com, pertumbuhan penumpang KRL mencapai sekitar 6% per tahunnya, sehingga tak heran, PT KAI Commuter berpacu melawan waktu untuk memperbaharui dan menambah armada.
Langkah besar pun diambil. Awal tahun 2025, satu per satu kereta listrik baru berkelir merah-putih tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Bukan lagi dari Jepang, melainkan dari CRRC Qingdao Sifang, Tiongkok. Inilah generasi terbaru KRL Jabodetabek.
Dengan formasi 12 gerbong per rangkaian dan kapasitas angkut mencapai 3.400 penumpang.
Mengapa Memilih KRL?
Kalo kereta, kan, gak kena macet, ya. Terus, dengan harga Rp 3.000 – Rp 6.000 udah bisa keliling Jabodetabek. Cuman, ya, memang, kenyamanan dan keamanan kereta perlu ditingkatin, sih. – Ellena Maria (Pengguna KRL)
Di tengah kemacetan lalu lintas, naik KRL bukan lagi pilihan alternatif, tetapi solusi dan kebutuhan. KRL adalah moda transportasi publik yang efisien di wilayah megapolitan Jabodetabek, baik dari segi kapasitas, waktu tempuh, maupun dampak lingkungan.
KRL mampu memindahkan ribuan penumpang dalam satu waktu, jauh melebihi kapasitas bus maupun kendaraan pribadi.
Selain bebas hambatan lalu lintas, KRL juga lebih ramah lingkungan karena digerakkan oleh listrik. Dalam jangka panjang, KRL berpotensi menjadi kunci untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, menurunkan emisi karbon dan polusi udara yang menjadi masalah kronis kota-kota besar.
Bagi pekerja kantoran, pelajar, hingga pedagang kecil, KRL menjadi tulang punggung mobilitas. Meskipun, masalah kenyamanan dan keamanan tetap perlu dibenahi.
Apa Bedanya yang Baru dan yang Lama?
Kereta ini bukan sekadar pengganti rangkaian lama, tetapi membawa standar baru dalam hal teknologi, efisiensi, dan kapasitas.

Menurut liputan6.com, uji coba kerta baru ini telah dilaksanakan pada awal tahun 2025. Di tahun ini, KCI merencanakan pengoperasian bertahap hingga total 27 trainset baru (gabungan pesanan INKA dan China).
Salah satu pengguna setia KRL, Ellena Maria ikut menceritakan pengalamannya menggunakan kereta baru.
Sebagai pengguna KRL hampir setiap hari, ia merasa KRL adalah transportasi umum (transum) yang nyaman dan relatif cepat.
Hanya saja, pada beberapa rute kereta selalu penuh dan berdesakan sehingga kadang muncul rasa malas untuk menggunakan transum.
Namun, di tengah kehidupan elit dan ekonomi global sedang melemah ini, transum adalah moda transportasi yang efisien karena menawarkan harga yang murah. Selain murah, transum juga menjangkau banyak titik lokasi yang strategis.
Kehadiran kereta baru pada beberapa rute KRL merupakan sebuah kabar bahagia untuk Ellena. Selain menambah jumlah kereta yang beroperasi, kereta baru ini menawarkan pengalaman baru dalam transum khususnya kereta. Kenyamanan, kebersihan dan pengalaman layaknya menggunakan transum namun premium.
Mandiri atau Masih Bergantung?
Di balik antusiasme menyambut armada baru, muncul pertanyaan mendasar: apakah pengadaan ini mencerminkan kemandirian atau justru ketergantungan?
Saat ini, Indonesia masih belum sepenuhnya mandiri dalam memproduksi KRL secara massal. PT Industri Kereta Api (INKA) memang mampu memproduksi KRL dan bahkan mengekspor ke luar negeri, namun belum bisa memenuhi kebutuhan KAI Commuter dalam jumlah dan waktu yang cepat.
Oleh karena itu, untuk kebutuhan mendesak, pengadaan dari luar negeri dianggap sebagai solusi tercepat dan murah.
Namun pilihan ini menyimpan risiko jangka panjang: ketergantungan terhadap teknologi asing. Dari sistem kelistrikan, kontrol kereta, hingga komponen teknis utama masih harus diimpor. Tanpa transfer teknologi dan penguatan industri lokal, modernisasi ini bisa berubah menjadi ketergantungan baru.
Pemerintah menyatakan akan meningkatkan peran INKA dalam proyek-proyek selanjutnya, namun hingga saat ini, jalur produksi lokal belum menjadi tulang punggung utama.
Ini bukan sekadar perbaikan teknis tapi menjadi salah satu perubahan makna. Transportasi umum tidak harus menjadi siksaan, tapi bagian dari gaya hidup yang lebih manusiawi.
Masa Depan KRL
Kontrak pengadaan ini sendiri merupakan hasil tender internasional yang ketat. CRRC dipilih karena menawarkan harga lebih kompetitif dan waktu pengiriman lebih cepat dibanding Jepang dan Korea Selatan. Keputusan ini juga membawa konsekuensi strategis dari sisi geopolitik, ekonomi, hingga arah industri transportasi nasional ke depan.
Namun satu pertanyaan masih menggantung sepanjang jalur rel: apakah Indonesia akan terus berada di posisi sebagai pengguna teknologi, atau mampu bertransformasi menjadi produsen?
Bagi jutaan pengguna KRL, yang terpenting mungkin hanyalah perjalanan yang lebih nyaman, cepat, dan tepat waktu. Sedangkan bagi negara, situasi ini seharusnya menjadi momen penting, bukan sekadar untuk membeli gerbong masa depan, tetapi juga turut berperan dalam mengarahkan lajunya.